Seorang wanita bertubuh tegap dengan raut asia timur melekat diwajahnya, ia sering mengenakan kemeja hitam aku pikir dia lebih mirip sebagai malaikat pencabut nyawa dibandingkan sebagai dokter jiwa, aku berjalan mendekati sebuah kursi yang sudah disediakan tapi aku mendadak merasa tidak nyaman karena ruangan selalu mencekam dan pengap padahal fasilitas di ruangan ini tidak akan mampu kubayar dari gaji satu tahunku.
“Silahkan duduk” senyum tipis miliknya mencoba menafsirkan sesuatu yang akan terjadi entah dalam sekian detik atau setelahnya, ia melanjutkan perkataannya “Baik, kita mau mulai dari mana? aku baru ingat kontrakmu bentar lagi habis ya, apakah aku harus meminta agar atasan memperpanjangnya?”
“Tidak perlu, aku akan berhenti setelah ini” ia menuangkan minuman padaku lalu menghela nafas panjang, “Aku tahu ini berat bukan? Aku juga terpaksa menceraikan suamiku untuk ini.” Ia menatapku penuh arti, “Tapi sudah kukatakan Devin, harusnya kamu tidak menikahi Isti karena ia tak tau apa-apa.”
“Eri, yang terpenting adalah Dokter Tuti tidak tahu bahwa aku sudah menikah”
“Kau sudah membaca perjanjian itu bukan, kerahasiaan pekerjaan kita tidak boleh diberitahu oleh seseorang, bisa kau bayangkan andai istrimu tahu?”
“Aku tahu, kita memang telah bertindak seakan tidak ada kebenaran selain dari kita dan juga kita telah bertindak seolah kita adalah Tuhan yang baru”. aku meraih rokok dari sakuku dan menawarkan kepada perempuan yang telah menjadi rekanku selama aku mengabdi ditempat ini. “Aku tidak merokok, Dev”.
Aku menikmati sepuntung rokok, sedangkan kesunyian membengkak diruangan ini. Eri menyeruput secangkir kopi pahit sambil mengotak-atik lembaran kertas rahasia.
“Sepertinya kamu banyak perubahan” Eri acuh tak acuh.
“Devin, bisakah aku menanyakan sesuatu?”. Aku mengangguk pelan, wajahnya memberikan raut baru selama aku mengenalnya “Siapa yang akan kamu pilih jika hal tersulit terjadi, apakah aku atau istrimu?” ucapan itu mendadak membuatku kosong
“kau ingin mengambilku dari adikmu sendiri si Isti?”
Eri mengalihkan percakapan “cukup, lupakan saja” aku enggan mengakhiri topik menarik yang dia buat, ini pertama kalinya ia menanyakan pertanyaan yang harusnya dia lontarkan sebelum aku memilih hidup bersama pemilik hatiku Isti adik kandungnya.
“Apa kamu menginginkanku Eri?”. “Akh, aku tidak berkata seakan-akan aku benar salah jika hidup bersamanya. Dia tidak kalah darimu kok” sambungku mengejek dengan mengepulkan asap memenuhi ruangan biar semakin sumpek, sekaligus sedikit memancing agar dia tenggelam dalam nostagia yang kuhidangkan “jangan bercanda, aku gak suka” Eri melesat keluar ruangan. Lucu sekali, dia pasti sudah terjerembab padahal aku belum benar-benar memulai.
***
Waktu menunjukkan pukul tiga malam, Aku duduk memandangi wajah perempuan yang membuatku takjub, bahagia, bersemangat sampai aku ingin memindahkan gunung dan memetik bintang untuknya. Terlalu banyak yang kami lalui hingga kurasa malam ini aku benar-benar merindukannya sampai bumi ini terasa penuh dengan rinduku. Aku sengaja tidak pulang, mengatakan padanya bahwa pasien benar-benar membutuhkanku dirumah sakit jiwa, padahal jiwaku ini yang lebih sakit dibandingkan pasien.
Sedangkan dari kejauhan deru langkah kaki menyisiri lorong temaram, wanita yang kukenal itu menghampiriku dan bayangan membuntuti. Lampu gantung mulai meredup seiring wanita itu menghendaki sesuatu padaku.
“Dokter Tuti bilang akan menemuimu” sekarang dia bertindak mirip seperti pencabut nyawa saat gelombang suaranya menusuk telingaku apalagi tatapan hampa miliknya “tapi kau urus dulu pasien ini” wanita itu berlalu begitu saja meninggalkan teka-teki dan degup jantung teranyar untuk sepersekian detik selanjutnya terutama saat Eri bilang Dokter Tuti sekaligus direktur rumah sakit ini bakal menemuiku selepas mengurus pasien tidak dalam arti sebenarnya.
***
Ruang pengap dan kotor, Lelaki tua itu duduk dihadapanku. Aku mengeluarkan beberapa selebaran kertas biodata lelaki itu. “Apa kabar?” lelaki tua itu, aku hanya bisa menatapnya teduh “pernah berpikir dalam situasi seperti ini?” beliau memasang wajah datar dengan tatapan menggambarkan penyesalan yang dalam “apa bapak ingin mengatakan sesuatu?” bapak itu masih saja memasang wajah datar. Ia adalah pasien yang ke 13 agar diakhiri hidupnya.
Tiba-tiba aku teringat lima tahun lalu bapak ini datang ke Rumah sakit, ia berniat menyumbangkan setengah dari harta yang ia punya sebagai bentuk rasa peduli. Semenjak tingkat pengidap skizofernia sangat tinggi Dokter Tuti berinisiatif untuk menjemput para pengidap skizofernia secara gratis untuk mendapatkan perawatan akibat Inflasi besar-besaran dinegeri ini sehingga selain masalah kelaparan meningkat tetapi kejiwaan banyak orang juga banyak mengalami depresi tinggi hingga muncul halusinasi.
Tapi tidak semudah itu, rumah sakit ini terpaksa menghimpun dana gelap untuk pasien, kami memulai sebuah bisnis diluar dugaan yaitu produk kepedulian kepada orang yang mengalami gangguan jiwa, keamanan uang dan pencitraan langsung mereka dapatkan. Para politikus menitipkan uang mereka kepada kami dengan ukuran tertentu untuk menghindari kecurigaan pihak manapun lalu kami simpan uang ke sebuah rekening bank atas nama rumah sakit ini dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa kami cuci uangnya.
Imbalannya, kami mendapatkan seperempat dari simpanan mereka. Mudah, tetapi tidak dengan resiko mereka. Hanya satu syarat saja dari lembar perjanjian yaitu tidak diperbolehkan kedok mereka terbongkar sebagai koruptor karena pasti akan menyeret rumah sakit ini. Kalau terjadi pihak kami mengambil alih. Tidak ada masalah, kalaupun ketahuan juga mereka pasti dihukum gantung oleh negara anggap saja kami membantu negara. Dari satu sisi berbeda.
“Bapak pasti sudah tahu apa resiko dari pelanggaran kontrak” beliau menjadi sangat tegang bibir cukup bergetar hingga terdengar suara gigi, “Uang bapak akan saya serahkan kekeluarga bapak atas nama sumbangan serta pastikan tangan kanan bapak melarang jasad bapak untuk di autopsi”
“Karena sebentar lagi Lembaga Pemberantasan korupsi akan mencari anda… kami tidak mau rumah sakit kami terbawa-bawa. Kami ingin tetap melindungi pasien-pasien kami”
“Terserah kamu dik… baca kertas ini setelah meninggalkan ruangan ini” beliau memberikan kertas padaku, wajah datar itu berubah penuh harap. “Kenapa bapak tidak sampaikan saja langsung ke saya?” beliau menggeleng hanya melukiskan senyuman lelaki tua untuk terakhir kalinya.
Lelaki muda berbadan tegap muncul diantara kami, ia adalah algojo yang menjamin Kematian beliau tidak akan menyakitkan, algojo menggunakan suntik mati didalamnya terdapat cairan yang biasanya digunakan oleh organisasi rahasia. “Ini tidak akan sakit, percayalah hanya mengalami kelumpuhan perlahan”
Aku menyaksikan dengan mata kepalaku bagaimana bapak itu diakhiri hidupnya . Setelah disuntik, maut perlahan merenggut tampak warna urat dikepala bapak itu menonjol dan si bapak mengalami sesak berberapa detik. Sisanya kuserahkan ke algojo yang juga seorang perawat.
Aku pergi keluar ruangan, ada dua orang perawat perempuan. Mereka bertugas memanipulasi data meninggalnya beliau dan juga menekan awak media untuk menggali lebih dalam kemeninggalan pasien. “Pastikan keluarganya menerima alasan kematian yang masuk akal, kalian harus menghentikan siapapun yang mencoba mencari alasan kematian sebenarnya.” .
***
Dokter Tuti ternyata sudah menungguku . “’Hallo dokter Devin, Bagaimana Harimu?”
“Seperti biasa Dok, penuh liku-liku” perempuan paruh baya itu tertawa kecil tapi malah mirip seperti menyeringai. “Ngomong-ngomong, seperti yang ingin saya sampaikan. Saya ingin berhenti dari kegiatan ini” ekspresi menyeringainya malah lebih pekat.
“Dokter mungkin tak mengerti. Sudah berapa orang yang dokter bantu mengakhiri hidupnya karena kedok mereka mulai tampak”
“Maksud Dokter Tuti?”
“Kita sudah terlanjur dititik ini. Jangan berhenti, saya akan memperpanjang kontrak dokter Devin karena saya fikir tidak ada dokter lebih profesional daripada dokter Devin”
“Saya pikir banyak yang lebih.”
“Anggap saja kita membantu negara dengan mematikan koruptor itu. Aku dengar dokter Devin punya istri? Apa dokter ingin sesuatu terjadi pada istri anda?”
“Anda keterlaluan Dok!”
Dokter Tuti menghela nafas, memandangiku dengan rasa sabar meskipun aku membenci itu. Seakan dia berada dipihak yang benar. “turuti apa yang saya katakan, atau istri anda korbannya” Dokter Tuti melesat. Mendadak aku teringat kertas yang kusimpan disaku, kertas itu tertulis pesan singkat yang tidak aku mengerti “Hey Dude, kita lihat siapa yang licik”
Aku merasa sesuatu menusuk hebat di leher kananku lalu raga ini melemah dan pandanganku semakin buram. Lantai menjadi tempat terkapar terakhirku. Oh tidak selamat tinggal
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Pengalaman dengan sebuah kata Hidup Dimulai dari Setiap Keputusan yang Kamu Buat
mengembalikan file yang terhapus