Cerita tentang Dua Hati yang Telah Berpisah, Lalu Sepakat Menjalani Takdir yang Berbeda

dua hati berpisah menjalani takdir

Tepat pukul 07.30 malam itu, ada panggilan masuk yang menuliskan namamu dari seberang sana di ponselku. Setelah empat kali berdering dan aku terima, terdengar lirih suaramu di sana. Dan kamu bertanya, apa aku ada di rumah atau tidak saat itu. Singkatnya saat aku membuka pintu, sudah jelas kamu berdiri di depan sana, sambil melemparkan senyum.

Advertisement

Hati memang tidak pernah salah, ia selalu tahu pada siapa ia bisa berdegup kencang. Hampir sama seperti sekitar empat tahun yang lalu, saat cinta dan rasa itu menggebu dan membuat jantungku berdegup cepat. Hari ini kamu berdiri di depanku, dua orang yang sama, dengan status berbeda, namun siapa yang pernah tahu, mungkin saja rasa di hati masih sama seperti yang dulu. Suara lirih yang pertama terucap dari bibirmu, dengan ragu kamu bicara sambil menyodorkan sekotak hadiah untukku, hadiah yang tidak seberapa dan semoga kamu suka, itu kalimat pertama yang kamu katakan, sambil melayangkan tanganmu untuk memberiku selamat.

"Selamat ulang tahun semoga kamu selalu bahagia dengan dia dan maaf terlambat, ucapmu lagi"

Kalimat pertama yang begitu asing di telingaku, setelah sekian lama tidak punya kesempatan bertemu empat mata denganmu. Aku mencoba tersenyum, mencoba membuat semuanya terlihat baik. Rasa yang bercampur aduk di dada dan di pikiranku, sambil sesekali ingin sekali bisa mengulang semua waktu yang pernah kita punya dulu. Waktu kita masih terlalu kekanakan untuk bisa memaknai apa artinya menjadi dewasa.

Advertisement

Empat tahun kita menjalaninya, di kota yang sama namun hampir tidak pernah bertemu. Masih dengan nomor ponsel yang sama, dan masing-masing dari kita tahu itu, namun tidak pernah ada yang bisa mulai untuk menghubungi.

Entah, mungkin gengsi yang terlalu tinggi yang masih saja betah kita pelihara. Empat tahun itu aku sibuk mencari cintaku, berkelana mencari di mana sebetulnya tempatku berlabuh, dan kamu, masih betah sendiri. Cuma kamu yang tahu kenapa, aku bahkan tidak berani bahkan hanya untuk sekedar menebaknya. Apalagi berpikir bahwa kamu masih berharap kembali padaku hingga membuatmu masih betah sendiri sampai hari ini. Sungguh aku tidak berani berpikir seperti itu.

Advertisement

Semoga saja waktu tidak cepat berlalu, atau kalau bisa matikan saja semua perputaran waktu di bumi ini, hingga dalam waktu yang tidak terbatas. Semua cerita yang ingin kubagikan selama empat tahun belakangan ini tentu tidak akan cukup jika kita hanya punya waktu yang terbatas oleh aturan jam malam.

Kamu masih seperti dulu, tidak banyak berubah. Kamu masih dengan kameramu, dunia fotografimu, model menyisir rambut yang sama, jaket longgar yang menutupi badanmu yang kurus dan sandal santai andalan yang biasa kamu pakai untuk naik motor.

Berkali-kali kamu bilang, bahwa sekarang aku sudah ada yang punya. Aku tahu dan sadar tentang itu. Satu yang aku tangkap dari sana, semua rasa kehilangan itu kamu tumpahkan di sana. Aku hanya bisa diam dan tersenyum.

Aku hanya ingin menatapmu lebih lama, seolah bisa menggenggam tanganmu lagi seperti dulu. Tapi mungkin tidak seerat genggamanku yang dulu, karena mungkin dulu aku menggenggammu terlalu erat, sampai pada akhirnya kamu terlepas juga dari pelukanku.

Seandainya waktu bisa diulang, seandainya dulu kita sudah cukup dewasa untuk memutuskan untuk menuliskan kisah bersama. Aku rasa mungkin akhirnya tidak akan seperti hari ini. Ketika aku sudah dengan yang lain, tapi serpihan hati itu masih ada tersisa di ruang-ruang kosong yang kamu sediakan untukku. Masih teringat jelas bagaimana salah paham yang akhirnya membuatmu diam untuk sekian lama dan menghilang, dan aku yang juga memutuskan pergi mencari hati yang lain.

Kita yang terlalu egois dan gengsi untuk belajar tumbuh jadi dewasa. Aku juga pernah menunggumu untuk waktu yang cukup lama. Tapi dalam masa penantian itu, aku merasa hanya aku yang berharap sendiri, hingga pada akhirnya aku melanjutkan lagi perjalananku mencari hati yang lain. Sungguh aku tidak menyalahkanmu jadi orang yang harus disalahkan. Aku hanya merasa lelah menunggu sampai di titik terkuatku untuk menunggu, walau akhirnya cerita kita dulu tidak bisa lagi diulang.

Waktu pun tetap berjalan, sama seperti saat aku menuliskan tulisan ini di tengah kesibukan harianku. Masih banyak yang ingin aku tulis, yang mungkin bisa membuatmu bosan membacanya saat menemukan tulisanku ini. Ini aku, yang masih seperti dulu, walau mungkin sekarang kamu melihatku sudah bukan yang dulu lagi.

Aku tetap perempuan yang ketika hatinya jatuh, akan sungguh-sungguh mencintai sejatuh-jatuhnya. Perempuan yang dengan bodoh berusaha mati-matian dengan cinta setengah matinya. Tapi aku juga perempuan yang belajar untuk tidak menangis di depanmu. Aku ingin jadi perempuan yang tegar, walau kamu tentu tidak pernah tahu rasanya di dalam hatiku, rasanya jadi aku yang pernah mencintaimu setengah mati.

Sulit bagiku menarik bibirku untuk tersenyum di depanmu dan terlihat ceria untuk menunjukkan bahwa semuanya seolah baik-baik saja. Kamu tentu tahu itu, bahkan tanpa perlu dengan jelas aku mengatakannya seperti dalam tulisanku ini. Karena sebaik-baiknya luka yang sudah disembuhkan, akan tetap menyisakan bekas.

Ketika mereka di luar sana sibuk mengatakan bodohnya aku karena menggilaimu begitu dalam. Aku tetap terus sibuk mencintai dan merindukanmu dalam diamku, tanpa peduli apa yang mereka katakan. Ini hatiku dan aku berhak seutuhnya atas rasa yang ada di hatiku. Bukan soal siapa yang ada di luar sana atau tentang apa yang mereka katakan. Aku dengan hatiku yang tentu selalu akan diriku jaga dengan baik, walau kadang membuatnya bekerja keras belakangan ini.

Berkali-kali kamu meminta pamit untuk pulang, walau aku tahu, bukan itu yang dirimu mau. Kamu masih ingin banyak bercerita dan aku masih betah menatap matamu. Saat semua obrolan bergulir, bahkan kamu pun menesteskan air mata dan aku hanya bisa terdiam.

Tenggorokanku sesaat menjadi terasa kering, aku tidak bisa berbuat banyak buatmu seperti dulu. Tidak bisa lagi aku memelukmu, tidak bisa lagi aku mengusap air mata yang mengalir di pipimu. Bahkan untuk alasan sekedar sebatas teman saja pun aku tetap tidak bisa begitu padamu. Ada hati yang mencintaiku saat ini, seperti hati yang dulu aku punya untukmu, yang pernah mencintaimu dengan sungguh-sungguh.

Tidak akan ada pernah habisnya, saat pada akhirnya kita hanya menyesali apa yang sudah terjadi di belakang kita. Tidak akan ada yang bisa diulang, menyesali dan tidak pernah bergerak maju pada akhirnya akan mebuat kita semakin terpuruk dengan keadaan kita saat ini. Aku sungguh percaya, bahwa setiap manusia dilahirkan dengan takdirnya masing-masing. Dan siapapun jodoh kita di akhirnya, aku juga yakin bahwa tidak akan ada yang tertukar pada saat mereka boleh dipertemukan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penyuka rintik hujan juga aroma hijau pegunungan sambil menantikan dia yang digariskan semesta untuk menua bersama dalam tiap kesederhanaan perhatian & hangatnya sebuah pelukan.

Editor

une femme libre