Masa SMA memang masa yang paling menyenangkan. Mungkin menyenangkan menurutmu, tetapi tidak bagiku. Awalnya, aku berteman sepi. Tak ada yang menemaniku dan aku tak keberatan. Sampai akhirnya, aku mengenal seseorang. Tingkahnya manis, benar-benar manis. Kami sering saling bersitatap. Saling menyimpan rasa.
Seakan dilindungi oleh laki-laki itu. Ia tak pernah menjahiliku di saat yang lain menjahiliku. Ia tak pernah mencoba untuk membuatku sedih, namun yang ia lakukan justru membuatku sedih. Aku dan dia saling tak pernah bicara secara langsung. Hanya saling tatap. Berkomunikasi lewat mata, seolah saling bertanya "Apa kabar hari ini?" atau “Bagaimana harimu?”
Aku menyukainya, tentu saja. Tapi aku tak tahu bagaimana perasaannya padaku. Ia terlalu jauh. Atau aku yang terlalu perasa karena ia memperlakukanku berbeda. Entah aku yang aneh atau dia yang orangnya memang seperti itu.
Hubungan kami benar-benar terbatas. Seakan ada tembok tak terlihat di antara kami, memisahkan kami, benar-benar asing. Kenal, tetapi tak kenal. Dekat, tetapi tak dekat. Jauh, tetapi tak terasa sejauh itu. Hubungan ini aneh. Mungkin kami berdua yang aneh.
Semasa SMA, tanpa sengaja aku dan dia mempunyai banyak kesukaan. Grup idola, anime, klub sepak bola, band kesukaan, begitu banyak. Kalau pun pernah mengobrol, mungkin kami hanya mengobrol tentang klub sepak bola yang kita sukai.
Hingga pada akhirnya, dirinya duduk di sampingku. Bukan sebangku, hanya tepat di samping barisanku. Kami tetap konsisten; tak pernah mengobrol satu patah kata pun. Tetapi dia ada. Aku tahu dia ada dan sering menggumam pelan di sampingku, entah apa yang ia gumamkan.
Perpisahan itu datang. Tak ada kabar apa pun lagi setelah itu. Kami tak pernah saling menghubungi, walau aku penasaran arti tatapannya selama ini. Aku pun tak pernah bertanya. Hatiku belum siap.
Tetapi, dua tahun pasca kelulusan SMA kuberanikan diri. Aku menyatakan perasaanku di pesan singkat karena aku tak tahu keberadaannya. Ia pandai sembunyi. Mengutarakan perasaan bukan hal yang tabu bagiku, jadi aku biasa saja setelah mengungkapkannya. Namun, tak ada jawaban.
Kubiarkan perasaanku menggantung tanpa jawaban hingga empat tahun lamanya, sampai aku tak tahan dan kuhubungi temanmu. Meminta tolong hanya sekadar menanyakan kabar. Aku rindu, kamu tahu? Percuma bila aku yang menanyakannya langsung karena pasti tak akan dibalas. Entah kenapa, ia memang jarang membalas pesanku.
Lalu kutitipkan salam dan meminta jawaban perasaanku. Jawaban itu datang. Ia hanya menganggapku sebagai teman. Baiklah. Mungkin memang hanya aku yang berharap dari tatapan-tatapan itu. Mungkin hanya aku yang terlalu berharap dia memiliki perasaan padaku karena sering memperhatikanku.
Mungkin hanya aku yang merasakannya. Lagi, aku berteman sepi, tanpa seorang pun menemani.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”