Apa pula tentang persoalan hidup seseorang zaman sekarang? Bukankah ini era Z yang menghambakan kebebasan dan pemberontakan? Lantas, untuk apa urusan hati takutnya bukan main dikritik mulut nyinyir masyarakat yang sok peduli bertasanamakan norma dan budaya nenek moyang?
Ran menghela napas di sudut jendela kendaraan umum yang melaju tersendat macetnya ibu kota. Ia risih akan hatinya yang sudah memproklamirkan sebuah rasa di luar nalar waras manusia pada umumnya. Ia tidak berani curhat. Hanya kepada Tuhan ia berani mengadu, itupun tak yakin apakah tuhan sanggup tidak tertawa mendengar keluh kesahnya saat ini.
Ran hanyalah gadis polos yang kadang suka tertinggal gaul dari teman-temannya yang lain. Ia lebih senang bergelut dengan pikiran dan batinnya serta pecinta sunyi. Guru sekolah dasar kelas enam yang malah kalah dewasa muridnya ketimbang dia. Tidak pernah pacaran, suka pun juga jangan harap dia mampu mengutarakan dengan lugas dan berani.
Ia pernah berpikir, mungkinkah tuhan tidak ingin dirinya patah hati, maka dari itu sampai saat ini tak ada satu pun laki-laki yang pantas menerima cintanya. Ah, bicara soal mencintai, sekali Ran jatuh, dia akan terjebak dan tidak bisa keluar dari lubang dalam waktu yang sangat lama. Hingga berakhir sulit untuk memberikan kepercayaan dan menaruh harap kepada laki-laki.
Manusia memang langganan lowong untuk pekerjaan membuat kecewa. Jadi, jangan sekali-kali berharap kepada mereka jika tidak ingin mati lebih cepat.
Kendaraan yang ditumpanginya berhenti di tempat tujuan. Ran turun. Langkahnya terseret-seret lemas seperti suasana hatinya yang tak berenergi. Ia menyayangkan nasibnya yang sungguh miris. Perasaan yang terbentur fenomena perubahan budaya namun tak bisa lepas dari jeratan aturan leluhur yang masih dianggap tabu.
Jika tuhan tidak ingin dirinya patah hati, mengapa justru Dia menghadiahkan perasaan yang malah semakin membuatnya ingin bunuh diri saja?
Ran pernah tak sengaja bertanya mengenai hal ini di salah satu forum aplikasi sosial media. Dan rata-rata jawabannya menimbulkan secercah harapan bagi masa depan hatinya. Tapi ia berpikir lagi. Tak mungkin. Terkadang, jawaban dari mulut itu lebih mudah dibandingkan dengan faktanya ketika sudah menjalani. Nyinyir, tidak diterima, tidak dapat restu, serta benturan-benturan lainnya yang semakin menciutkan Ran.
Sudahlah, biarkan masalah ini mengalir, mengikuti arus waktu yang terus berlari egois ke depan.
***
Jim. Salah satu anak murid kesayangan — begitu kata muridnya yang lain — Ran yang pintar, komentator sejati, tukang rusuh, super iseng, menyebalkan tetapi memiliki hati yang jernih dan baik. Tahun ini dia sudah resmi menjadi anak baru gede berseragam putih-biru bersama teman seperjuangannya, Al. Ran juga dekat dengan Al. Anaknya super cuek dan seorang gamer, pokoknya tipe kids zaman now yang sedang trend sekaligus menjadi salah satu permasalahan sosial yang pro-kontra saat ini.
Ran tak sengaja bertemu keduanya saat ia hendak berangkat mengajar pagi itu, satu angkot dengan mereka. Ketiganya melepas rindu setelah cukup lama tak bertemu. Kadang Ran terbahak-bahak hingga mengalihkan perhatian penumpang lainnya. Jim pun seperti biasa, mengomentari hal-hal paling tidak penting dari Ran. Al menyahuti dengan sikap acuh tak acuhnya. Bersama merekalah Ran berani terbuka, melepaskan semuanya, menjadi Ran lain yang bebas.
Supir angkot mengerem dengan liar. Hampir menabrak beberapa murid berseragam yang hendak masuk ke bangunan sekolah.
“Miss, kita turun dulu ya!” pamit Jim. Ran mengangguk.
“Hati-hati ya. Belajar yang rajin, jangan tidur!” pesan Ran.
“Ngantuk tauk!”
Jim meloyor turun dengan ekspresi tengilnya mengejek Ran. Rasanya Ran ingin sekali menarik tas anak muridnya itu, gemas.
“Tidak mau salim tangan?”
“Kapan-kapan ya!” ucapnya dari pintu angkot. Bukan Jim namanya jika tidak berulah begitu.
Angkot kembali melaju ke destinasi berikutnya. Angin panas ibu kota yang menelusup melalui jendela angkot membawa kabur helaan berat napas Ran sepanjang perjalanan. Teringat lagi.
***
Apa definisi perasaan, hubungan, serta segala macam tetek bengeknya? Bukankah sebenarnya yang kita butuhkan adalah kenyamanan? Cinta tumbuh dari perasaan nyaman itu. Lantas, apa yang salah? Mengapa hubungan seorang kakek tua dengan gadis muda jadi bahan kritik pedas masyarakat? Jika keduanya yang menjalani tiada paksaan dan mereka bahagia, mengapa tidak?
Selama belum melanggar hukum agama dan merugikan banyak pihak, seharusnya semua itu baik-baik saja. Persepsi negatif orang-orang terkadang memang suka memutuskan tali jodoh orang lain. Toh, omongan mereka bukan penentu kebahagiaan diri.
Pertarungan batin yang tengah dimenanginya ialah Ran menyayangi terlalu dalam Jim. Anak baru gede itu sungguh spesial di matanya. Awalnya Ran berontak keras, berusaha menyinkronkan hati dengan logika bahwa akan banyak masalah yang terjadi jika dia berani menyatakan satu perasaan paling tidak waras itu!
Ran sadar, sangat menyadari usianya dengan Jim terpaut jauh. Sepuluh tahun. Jim masih sekolah, bahkan baru lulus sd kemarin. Sedangkan Ran? Dirinya sudah memasuki usia yang cukup ideal untuk pantas menikah, 20-an. Gila, bukan?
Tuhan melawak. Mengapa Dia main lempar batu sembunyi tangan menuliskan kisah cintanya semengenaskan ini? Sudah tidak tepat waktu, ceritanya konyol pula! Bisa-bisa jika Ran tetap keukeuh dan berani mengadu pada orang tuanya, habis sudahlah dia.
Ingin melupakan tapi Ran sudah terlanjur jatuh terperosok sedalam-dalamnya lubang. Yah, menikmati sajalah.
Bukan Ran jika tidak kepala batu. Hatinya adalah miliknya. Dia berhak merdeka. Peduli apa dengan orang lain? Setelah berpikir panjang dan matang, Ran memutuskan untuk tetap melanjutkan. Sekarang dia sudah berani meyakinkan dirinya, bahwa dia mencintai Jim.
Dunia ini sebentar lagi kiamat. Maka lakukan sesuai hatimu bicara, sebelum menyesal dan mati penasaran. Banyak pula kasus tentang hubungan wanita lebih tua dari pasangan prianya. Banyak pula kelebihan yang dimiliki dari hubungan ini, salah satunya lebih terbuka dan tidak main kode-kodean tahi kucing selayak hubungan pada umumnya.
Lalu, apa yang istimewa dengan anak ingusan itu?
Hanya satu. Jim mampu membuat Ran merasa bebas. Tertawa bebas, berkomentar bebas, berekspresi bebas, menangis bebas, bermuka jelek bebas dan sederet kebebasan lainnya. Apa kita masih berhak untuk mencibir keputusan hidup orang lain padahal mereka sudah sangat bahagia menikmatinya?
Matilah kau dikoyak-koyak omongan netizen!
***
Tak apa Ran yang harus mengalah untuk menunggu. Toh, waktunya itu sambil dia gunakan untuk terus meraih semua yang belum tercapai hingga saat ini. Impian kecil, harapan, keinginan hingga cita-citanya.
“Aku tinggal!” Jim mengayuh pedal sepeda, membawa pergi sepeda Ran dan meninggalkan gadis itu yang kualahan dengan barang bawaan di kedua tangannya.
Tak berapa lama kemudian, dari kejauhan tampak anak itu kembali lagi.
“Sini aku bantu!” Dia mengambil sebagian barang dari tangan Ran.
Satu lagi. Meski Jim mencoba untuk meninggalkannya, Ran selalu tahu, bahwa anak itu akan kembali datang kepadanya.
***
“Hai, apa kabar?”
Ran menoleh ke asal suara. “Hai??” protesnya.
Tergelak. “Aku kan sekarang sudah menjadi pria dewasa!” ucapnya semringah.
“Bangga sekali kamu!”
Ia kembali tertawa.
“Itu berarti aku sudah bisa menumpahkan semua isi perasaan ini yang sempat harus tertunda sangat lama!” alisnya bermain. Gayanya tidak berubah, tetap tengil.
Ran menunggu kalimat berikutnya.
“Ran. Aku ingin memanggilmu Ran…”
***
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”