Kisah Gadis yang Baru Mulai Dunianya di Usia 28. Tak Apa, Hidup Tak Harus Sesuai Kata Orang

Bangkit dari keterpurukan

Mendung tak hanya menutupi langit yang membawa derasnya rintik hujan. Namun kali ini mendung sedang menutupi hidupku, begitu pekat hingga seakan tak terlihat. Mendungnya kehidupan ini diiringi derai tangis setiap hari.  Suram seakan tak ada cahaya harapan ataupun kehangatan, dingin. Awalnya aku hanya merasa sedikit hilang dan tersesat, namun kuabaikan semua rasa dan aku makin tak tahu arah. Sudah lulus kuliah tapi makin tak kenal diri yang parah. Ingin kuberlari dan menyerah. Berharap hanya ingin segera menikah.

Advertisement

Bingung aku yang tak tahu arah membuat takdir seakan tak mengizinkanku berpindah. Aku hanya terus berlari dari  masalah. Abai akan diri, abai akan mimpi, abai akan rasa dan asa. Terus saja aku berpikir menikah akan jadi solusi. Setiap tahun berlalu, harapan menikah selalu jadi urutan nomor satu. Hasrat menikah yang menggebu mebawaku belajar ilmu baru, ilmu tentang bagaimana menjadi seorang ibu. Saat itu aku juga masih bekerja yang tak tentu.

Harapan gadis baru lulus kuliah yang hanya menikah tanpa arah. Saat ditanya dengan siapa,  hanya bisa pasrah. Kerja juga berpindah-pindah. Tak berhenti di situ, setiap lelaki yang mendekat sering berakhir menyerah. Harus bagaimana lagi? Bingung sendiri akan hidupku, aku malu. Seakan bukan diriku, aku makin tak tahu apa yang kumau. Belum sampai pemahamanku dengan ilmu pengasuhan dasar, namun sudah coba ku hardik orang tuaku. Seakan orang tuaku jadi sumber masalahku. Kulimpahkan ketidakmampuan atas kontrol hidupku. Menyalahkan orang lain sebagai pembenaran diri adalah tindakan paling mudah waktu itu. Konsekuensi retaknya keutuhan hubungan dengan keluarga harus kutanggung karena ulahku.

Beberapa tahun berlalu dengan hidupku yang tak tentu itu. Akhirnya mau tak mau ku harus hadapi takdir di depanku. Ku harus menerima senyatanya kenyataan pahit yang menimpaku. Menyadari bahwa aku merasa dalam fase terendah kehidupan. Tanpa pekerjaan, tanpa pasangan, tanpa harapan dan hubungan dengan keluarga yang berantakan. Harus bagaimana lagi?  Sekitar setahun kukurung diriku dalam sangkar rumah dengan tangis yang parah. Hampa. Hilang. Jatuh.

Advertisement

Aku coba mengakuinya, menerima seapaadanya kenyataan di hadapanku. Ingin menyerah dan hanya bisa pasrah pada Tuhanku. Tentu dengan kekuatanNya kudiberikan keberanian mencari pertolongan. Hingga takdir mempertemukan pada teman sekolahku yang ternyata seorang profesional. Butuh keberanian ekstra kurasa, untuk mengakui dan menerima bahwa ada batin yang cedera, ada rasa yang terluka dan ada diri yang butuh diakui.


Apa lagi langkahku?


Advertisement

Kubawa kekalutan hidupku itu pada profesional. Tentu saja sudah berbekal sedikit ilmu pengetahuan akan kesehatan mental. Sudah coba kuanalisis sendiri selama beberapa tahun terakhir. Memang sedikit memberi dampak berarti, tapi tetap saja kubelum menyadari apa yang sesungguhnya terjadi. Salahku adalah sering berasumsi dengan sedikit ilmu dasar itu sehingga apa yang dibutuhkan diri belum sepenuhnya terpenuhi. Tak bisa menghindari untuk tak mendiagnosa dengan ciri-ciri yang dialami. Masalahku  masih berputar-putar seperti benang kusut yang tak tentu. Bismillah, ucapku meyakinkan diri berikar untuk menghadapi masalah ini dengan bantuan ahli. Psikolog tak semenakutkan itu dan diriku pun juga tak selemah itu.

Kuhanya memilih cara yang berbeda setelah beberapa usaha tak juga menunjukan progresnya. Tentu pilihan sepenuhnya ada di tanganku dan dirilah yang bertanggung jawab dengan segala tindakan yang akan dilakukan. Psikolog hanya membantu menguraikan benang kusut pikiranku. Memancing dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku berpikir ulang. Memberikan sudut pandang baru dari sisi keilmuan secara utuh. Benang itu mulai terurai dan selanjunya giliranku untuk mengeksekusi langkah baru. Jangan dikira bisa sembuh dengan sekali bertemu, semua itu tergantung masalah yang dialami tiap individu.

Dengan masalah seberat itu bagiku, ternyata ada kenyataan yang tak kusadari bahwa kubisa menyelesaikan kuliah tepat waktu dengan IPK yang cukup walaupun ku tak suka dan merasa tak bisa dengan jurusanku. Kata-kata psikolog menguatkanku “Kamu aja bisa lulus dengan IPK segitu walaupun tak suka, bagaimana jika kamu melakukan hal yang kamu suka?”. Entah mengapa kata-kata itu memberikan energi tersendiri untukku berpikir kembali. Apa iya kuhanya ingin menikah saja? Apakah menikah hanya menjadi pelarian diri? Semakin kugali ternyata banyak mimpi-mimpi yang muncul dan minta diakui. Namun keraguan masih menghantui dan kurasa umurku sudah tak muda lagi. Lebih dari seperempat abad. Apa bisa?

Masih coba kukumpulkan keberanian diri, kemudian kutanya lagi “Kalau tidak sekarang, kapan lagi?” Kapan lagi ku bisa memperjuangkan mimpi-mimpi pribadi? Kapan lagi tanggung jawab hidupku masih seringan ini?  Kapan lagi?  SEKARANG!

Tiap kita berada dijalur berbeda dengan waktu yang tak sama. Jadi jika baru mulai memang kenapa? Selamat memperjuangkan mimpi-mimpi yang baru, terima kasih psikologku. Alhamduliah Allah. Mulai langkah dengan bismillah.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Komunitas yang concern utamanya terkait dengan kesehatan mental

Editor

Not that millennial in digital era.