Indonesia sejak kemerdekaannya pada tahun 1945 rasanya yang menjadi problematika adalah tentang kualitas sumber daya manusia. Bagaimana tidak jauh dari itu sejak zaman kerajaan Indonesia sudah jauh tertinggal pengetahuan dari bangsa lain. Secuil orang saja yang memiliki pemahaman dan tekad dalam menuntut ilmu. Bisa jadi karena mereka masih menganut yang namanya kasta. Sehingga kaum rakyat jelata memiliki pemikiran yang menganggap dirinya tidak harus pintar apalagi cerdas. Namun, yang diperlukan cukup tenaga yang kuat dan loyal, karena itu yang dibutuhkan kerajaan.
Tetapi, zaman kerajaan sudah memberikan pembelajaran yang berharga pada bangsa Indonesia. Bukan hanya tenaga yang kuat tetapi juga pemikiran yang hebat. Oleh itu zaman pra kemerdekaan berkat kemunculan organisasi-organisasi kepemudaan dan ormas-ormas keagamaan memberikan corak berbeda pada perjuangan bangsa. Masyarakat harus terdidik agar tidak mudah dibohongi dan orang terdidik harus kuat agar mampu melawan. Hal itu tidak lain adalah berkat guru-guru yang juga luar biasa.
Dari itu, guru dianggap sebagai pahlawan yang tanpa tanda jasa, tidak seperti angkatan bersenjata yang memiliki pangkat dan tanda jasa sebagai bentuk penghargaan. Guru tidak demikian. Ia selalu dan tetap menjadi guru yang tidak memiliki tanda jasa dengan perjuangan yang juga luar biasa. Tidak hanya guru yang berkerja di instansi pemerintahan atau guru negeri, guru swasta pun sama.Â
Peralihan menteri pendidikan atau peralihan kepala dinas juga menyebabkan perubahan pada kebijakan baik keuangan apalagi kurikulumnya. Hal ini menuntut guru harus bertransformasi dengan cepat, tetapi apa adaya kekurangan finansial juga ikut berperan dalam transformasi tersebut. Dengan pemberkasan yang seabreg sampai tidak selesai ketika dikerjakan di rumah ia tak mampu menambah kebutuhan saving dana untuk anak-anaknya kelak. Maka yang ia bisa adalah dengan mengambil tambahan saat jam kosong untuk menjadi driver ojol atau ikut menjadi panitia pemungutan suara ajang 5 tahunan saat pemilu.
Tentunya hal ini menjadikan cerita tersendiri, di mana derajat guru, saat berangkat datang ke sekolah dengan jalan kaki atau dengan motor bututnya kalah dengan orang tua siswa yang memakai mobil mewah. Bagi sekolah yang tidak memiliki visi kuat dalam pendidikan akhirnya menitik beratkan pada "yang penting siswa bernilai bagus". Lantas guru dan sekolah mendapatkan hadiah dari orangtua atau pendaftar selanjutnya lebih banyak karena dijamin nilainya bagus.
Ditambah lagi sekolah yang selalu memberikan doktrin pemberian kualitas pada orangtua harus prima, tetapi tidak memberikan kualitas yang prima pada guru-gurunya. Tidak mengetahui kebutuhan gurunya, tetapi beranggapan jika tidak mendengarkan nasihat berarti ada yang salah pada diri sang guru. Padahal bisa saja guru tersebut sedang menunjukkan protes atas sikap yang tidak kooperatif.Â
Oleh itu, guru butuh kejelasan di masa depan dan butuh layanan yang prima juga, agar ia fokus dalam mencerdaskan fikiran dan memperhalus budi pekerti. Guru boleh tanpa tanda jasa, namun dinas terkait pemilik sekolah swasta juga harus memperhatikan kebutuhan guru, bukan hanya pemikiran sendiri bahkan keinginan sendiri. Guru adalah ujung tombak. Jika ia tajam dan digunakan dengan tepat maka ia akan memberikan yang terbaik. Namun, jika ia disalahgunakan diberi beban lebih maka ia akan patah. Apalagi digunakan dengan cara tidak tepat atau bahkan tumpul. Jika seperti itu, pendidikan di Indonesia sebagus apapun kurikulumnya akan terkubur, karena pelaksananya tidak ada yang tajam.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”