Hari ini aku rasa matahari malu-malu menyembunyikan sinarnya. Atau mungkin awan gelap yang terlalu berani memblocking jalan masuk datangnya cahaya. Dingin. Menggigil, tubuh ini meski hujan belum sedikitpun menapaki kakinya dibumi. Ku selimuti diriku dengan jaket tebal dan tetap gagal. Kuhirup pelan-pelan kopi panas sambil melingkari kedua telapak tangan pada gelas itu. Namun hasilnya masih sama, gagal. Kuputar-putar cara, agar aku tidak mati membeku. Hingga dipertemukanlah aku dengan satu cara, cara yang sesederhana itu. Apa itu? Mengingatmu, mengingat kita.
Hangat menjalar memasuki pori-pori kulit, dibawa oleh darah mengitari tubuhku. Menggerogoti dinding-dinding pembatas. Menelisik masuk dan berdiam di hati. Kembali lagi memori itu, mengenang dirimu dalam sudut pandanganku. Menarilah kepingan-kepingan puzzle, berputar-putar dan entah bagaimana, air lebih dulu jatuh dipipiku, padahal si awan mendung sampai saat ini belum berhasil menetaskan air barang sebutir. Aku menggumam, memanggil berkali namamu dalam pelan. Aku ulangi dan tak berhenti, sementara air mata semakin membanjiri pipi.
Sampaikah resah itu? Sampaikah kepadamu?
Tibalah keberhasilan si awan mendung mengguyur permukaan bumi. Bernyanyi-nyanyi sang air, separuh teriak. Seolah menemani rintih keperihan yang menyayat ulu hati. Seolah dia ingin meredam suara parau yang tak terkendali. Seolah mengizinkan aku meleburkan emosi dan dia berbisik “Menangislah sekencang kau mau, akan ku sembunyikan jeritmu. Ku turuti sajalah maunya, sampai-sampai terkulai lemas tubuh, roboh aku. Sang air rupanya menepati janji, semakin deras dia terjatuh serta mengikut dalam alirnya, lembar dedaunan ringkih.
Terbawa ingatanku jauh kesana. Rangkaian kisah tersulam pada kain yang tak berbentuk. Pola-nya berantakan, warnanya saling silang tak beraturan. Namun karya itu tetap terlihat indah. Seindah dirimu, yang tak pernah bisa kujabarkan. Kutengok diriku, aku hanya ibarat benang yang tak punya warna. Meleburpun tidak bernyawa. Kehadiran yang tak menyumbangkan apa-apa. Seperti halnya belukar ditengah-tengah rimba.
Sehingga, tanpa aku, kamu akan tetap indah.
Siapa yang tidak ingin memiliki kain lusuh yang telah disulap menjadi seindah itu? Aku kira hanya mereka yang matanya tertutup kabut, hatinya terselimut baja dan pemikirannya terkurung kemunafikan-lah yang akhirnya bisa berkata tidak menginginkannya. Begitu juga dengan keindahan dirimu. Kelembutanmu, teguhnya pendirianmu, kebermanfaatan hidupmu dan banyak lagi. Kamu begitu indah. Merugilah mereka yang lebih dulu menilai tanpa mengenalmu.
Sebaliknya, merupakan sebuah keberuntungan untukku, yang diberi kesempatan mengenalmu. Menemani sedikit dari hari-harimu. Sempat melihat senyum dibibirmu dan teduh dimatamu. Meskipun ternyata keindahan itu diciptakan oleh Tuhan bukan untuk aku milikki. Mungkin akan kuletakan kehadiranmu diatas sana, dilangit, sebagai bintang. Bintang yang kerlipannya paling indah. Bintang yang cahayanya paling terang. Bintang yang mampu membuat langit malam terlihat lebih menyenangkan dari biasanya.
Bintang yang akan tetap terus aku amati dari kejauhan, tanpa pernah bisa aku raih.
Sampai hujan ini berhenti mendera, bergulir doa-doa dari kalbu terdalam untuk bintangku yang jauh. Semoga dirimu tidak pernah merubah wujud keindahan. Berharap dirimu selalu bahagia dalam kesahajaan. Tetap memberi sentuhan lembut dalam setiap pergerakan. Tidak akan pernah berhenti mewarnai hari-harimu dengan kebermanfaatan. Senantiasa bersemangat melahirkan sejuta kebaikan. Kepalkan dalam tanganmu, harapan-harapan yang suatu saat nanti, aku sangat meyakini, kamu dapat menjadikannya nyata.
Aku serahkan rindu dan segala-galanya yang terasa, pada hujan. Ku harap dia menyentuhmu dalam diam.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.