Glasgow dan Kontemplasi Romansa Masa Lalu

Glasgow dan Kontemplasi Romansa Masa Lalu

Sinar matahari di awal Februari itu masuk malu-malu melalui jendela yg dihiasi panji dan kotak kotak tartan khas Skotlandia. Rotasi bumi telah mencapai bulan Februari tetapi salju masih enggan pergi dari halaman rumah pria itu. Scott Alec William, menatap cermin layaknya Charlie Chaplin ketika dia berujar ucapan tentang cermin yg terkenal itu.

Advertisement

Percikan air di wajah pertanda hari sudah dimulai bagi pria itu. Dilihatnya sarapan telah tersaji oleh istrinya, bubur dan Kippers. Bagi orang-orang Skotlandia bubur adalah nasi seperti orang Indonesia yg wajib utk disantap setiap paginya. Sambil menikmati sarapan pagi itu dia melihat sinar mata anak dan istrinya, pertanda bahwa "Daddy go ahead and hit this day"

Scott William adalah buruh di daerah Govan, 20 menit dari tempat tinggalnya di seputaran Pollis. Bagi orang Glasgow, menjadi buruh kasar adalah sisa-sisa kejayaan masa lampau saat kota ini masih menjadi pelabuhan utama di arus derasnya Revolusi Industri yang sedang semaraknya di abad 18. Kemolekan Glasgow menasbihkannya sebagai kota paling besar di Era Victoria Britania pada Abad itu, tentu saja setelah London, ibukota si Inggris itu.

Walaupun tak pernah benar benar mengakui identitasnya sebagai orang Anglo, para Glaswegians ini harus sadar bahwa mereka adalah bagian dari United Kingdom of Great Britain. Tetapi hal itu tak mengerdilkan persaingan antara orang Celtics ini dan para otoritasnya di London sana. Mereka terus berkembang, industri kapal menjadi inti bisnis mereka. Arus urbanisasi menjadikan Glasgow semakin molek di tengah tengah Eropa.

Advertisement

Seperti pelajaran sejarah katakan, peradaban besar selalu bermula di sungai besar maka kompleksnya industri Glasgow berdegup kencang di jantung sungai Clyde. Sungai ini adalah arus utama ke Samudera Atlantik, menjadikannya sama pentingnya dengan pelabuhan Manchester, Liverpool atau Southampton di Inggris sana. Nafas industri ini memang tak jauh jauh dari yang sejarah tuliskan kalau Britania Raya adalah rulers of the waves. Saat anda mengunjungi kota ini dan melihat sungai Clyde anda mungkin beruntung bertemu salmon yang sedang bermigrasi.

Scott William cepat-cepat menyelesaikan sarapannya. Satu kecupan hangat untuk istri adalah tanda pamit untuk kembali sambil menggamit mimpi mimpi yg sedari tadi hilir mudik di sekitar meja itu. Romansa industri abad 18 itu mulai jarang berdengung di abad 21 ini. Scott melangkah keluar. Semilir angin dan salju menerpa wajahnya, dingin sekali pikirnya. Seharusnya Februari adalah awal musim semi di Britania, akan tetapi salju tebal itu sebenarnya adalah awal dari musim semi itu.

Advertisement

Aneh bukan? Anomali itu sejalan dengan filosofi to be born again, you need completely die first. Begitu yang terlintas di kepalanya, sambil menghibur diri mungkin. Scott berjalan menuju perhentian bus yang akan mengantarkannya ke tempat dia bertarung dengan nasib. Sambil menyapa tetangganya, salah satunya Bruce Robertson, Scott bertanya "Hoo are ye?" Yang kemudian ditimpali oleh Bruce dengan "naw baud at aw, an whit like yersel?" Alih alih mendengarkan bahasa Inggris orang Inggris yang teratur atau bahasa Inggris orang Amerika, maka aksen Scott dan juga Bruce adalah hal yg biasa terdengar di seluruh Skotlandia.

Tutur bicara yang tentu saja akan membuat bingung para pelancong yang bahkan nilai TOEFL nya 600 sekalipun. Akan tetapi apapun itu Scots Leids is English too Ladies and Gentlemen. Siapkan bahasa Inggris anda jika berkunjung ke tanah para Celts ini.

Scott telah berada di bus. Sesekali dia melayangkan pandangnya pada orang orang di bus. Rasa dingin tak mempu mendinginkan keramahan para Glaswegians ini. Sapaan hangat adalah tradisi yang tidak dapat dilupakan oleh siapapun yang pernah ke kota ini. Karakter keras khas buruh galangan dan keramahan yang terselip di dalamnya adalah paradoks yin yang paling nyata di dalamnya.

Hal kecil ini yang membuat Scott dan keluarganya tak pernah ingin beranjak meninggalkan kota dan negara itu. Tak jarang rekan rekan Scott di London sana mengajaknya untuk berpindah ke Inggris dan mengadu hidup di sana. Piccadily di London tentu lebih menarik Pollispark di Glasgow atau sungai Thames pastinya lebih mendunia daripada sungai Clyde milik Glasgow, akan tetapi Slogan Skill, Purpose, Intellect, Endeavour, Solidarity, Productivity benar benar diresapi dalam dalam para Glaswegians ini.

Scott bergerutu saat itu bahkan para pesepakbola Skotlandia yang mencari nafkah di Inggris kemudian ditawari membela Inggris di ajang internasional jumlahnya tak lebih banyak dari orang Rusia yang menginjakkan kakinya di bulan. Galangan kapal yang keras mengajarkan kehidupan bertenaga khas Highlander merasuk dalam ke jiwa jiwa seperti Scott dan orang orang di bus itu. Walau sekarang kehidupan jauh dari mental mental pekerja abad 18, tetapi prinsip-prinsip itu belum lekang oleh waktu. Terdengar klise tetapi bagi Scott dan sejawatnya hal itu adalah fetish, jimat hidup.

Bus yang ditumpangi Scott melewati Jalan Clause 73 area Cresswell Lane. Lamunannya tentang ajakan kawannya untuk hijrah ke London itu berhenti sejenak. Pandangannya fokus pada toko sepeda di jalan itu. Toko yang pastinya tak akan dilewatkan para Potterhead, karena sepeda sepeda magis khas film itu, Harry Potter. Scott melihatnya, seakan tak bisa menolak pemandangan itu. Toko itu baru saja buka tetapi sudah menjadi alasan satu lagi bagi para turis untuk mengunjungi Glasgow.

Toko itu adalah semacam pertanda bahwa perlahan wajah Glasgow sudah mulai berubah. Dari sebuah kota yang bertenaga pencipta kapal perang termahsyur HMS Victoria menjadi kota ekopariwisata khas postmodernisme. Tak banyak yang dapat dilakukan buruh galangan seperti Scott. Perlahan kemunduran industri alat berat itu memaksa para Glaswegians untuk masuk ke dalam pusaran ekonomi kekinian itu. Harry Potter dan kawan kawannya mungkin menunjukkan wajah baru pada Glasgow, bahwa dalam ketenaran sepeda biasa yang kebetulan mirip dalam film itu bisa menjadi viral dan menghasilkan uang.

Scott turun dari bus, perhentiannya jelas. Govan, satu saksi megahnya kehidupan Glasgow di abad Revolusi Industri. Setelah membayar beberapa pounds untuk perjalanan itu, Scott bertegur sapa dengan rekan kerjanya di pagi itu. Salah satunya Edmund Maitland, ayah 2 anak, yang tinggal tak jauh dari Govan. Berlindungkan jaket kulit tebal dia mengeluh tentang ekstrimnya dingin di pagi itu.

Scott tidak berkomentar banyak, “kota ini mirip belakang kulkas Edmud, nikmati saja” lalunya sambil tertawa. Edmund menawarkan sepotong kue untuk sarapan yang ditolak Scott karena dia sendiri sudah menyantap sarapnnya. Sambil menghabiskan sarapannya sebelum mulai bekerja di pukul 9 itu, Edmund bercerita tentang anaknya yang diterima trial sepak bola di klub Glasgow Rangers, yang markasnya Ibrox tak sampai 1 mil dari tempat mereka bekerja. Sambil bercanda Edmund mengancam anaknya yang berusia 13 tahun itu, jika nanti diterima di tim utama Rangers dia tetap tidak boleh menundukkan kepalanya kepada Westminster.

Scott tersenyum mendengarnya. Romansa nasionalis seperti itu bukan hal yang jamak bagi para fans sepakbola di Rangers. Scott adalah die hard fans Glasgow Celtics, yang markasnya Celtic Park sekitar 20 menit perjalanan mobil dari Govan. Ibrox dan Celtic Park adalah tempat suci bagi para pemuja sepakbola ini. Sekeras apapun kampanye sepakbola jauh dari politik identitas, akan tetapi pertarungan Rangers dan Celtic benar benar pertarungan identitas yang sebenar benarnya.

Rangers dengan identitas Protestan distigmakan sebagai loyalis istana Buckingham sedangkan Celtic dengan mayoritas Katolik adalah para militan yang berjuang untuk kemerdekaan Skotlandia dengan Irlandia. Tidak ada narasi yang lebih dramatis dari pertarungan identitas agama dan politik seperti Celtic dan Rangers ini. Benturan fisik hingga kematian adalah kewajaran.

Animo masyarakat begitu tinggi, hingga Skotlandia seperti terpecah 2 saat keduanya bertubrukan. Akan tetapi seperti umumnya pertarungan besar lainnya, selalu ada potensi ekonomi di dalamnya. Rangers dan Celtic saudara sekota ini, dikenal sebagai pertarungan Old Firm tak ubahnya komoditas ekonomi yang begitu tua. Sekompleks apapun persaingan kedua klub, bagi para pengusaha mereka adalah Old (lama, tua) Firm (sumber pundi uang). Scott memahami itu.

Edmund juga, dia tertawa ketika mendengar Scott berkata Old Firm battle tak sesuci yang seharusnya. Itu adalah pertarungan sepakbola biasa yang menghasilkan uang. Sambil berjalan ke galangan yang menjadi kantornya, Scott beromansa dengan masa lalu dimana kakeknya juga pekerja di Govan, seorang pekerja keras di masa kejayaan Govan. Bagi para pekerja ini kemerdekaan total dari Inggris adalah mimpi yang terus dirapalkan dan mereka butuh alat untuk mempromosikannya.

Jadilah kakek dan keluarga Scott menjadi pendukung Celtic. Memori memori itu masih ada dalam ingatan Scott dan Bruce, tentang pertarungan Ibrox dan Celtic Park. Pertarungan kelas pekerja dengan doktrin agama dan politik, di mana Celtic mengharamkan pemainnya Protestan dan sebaliknya Rangers. Hingga Grame Souness, yang dipuja puja pendukung Liverpool, mendatangkan pemain Katolik, Mo Johnston ke Ibrox. Sontak para Rangers mengamuk. Selain agamanya, Mo Jonston sebelumnya adalah pemain kunci Celtic.

Beragama Katolik dan mantan Celtic pula, sejuta alasan Rangers menolaknya. Akan tetapi Souness bergeming, dia berkata saya membeli pemain bagus bukan membeli orang Katolik. Scott dan Edmund mengenangnya sambil tertawa di sela pukulan pukulan martil di hari itu. Walaupun yang dilakukan Souness adalah luka yang terus basah, akan tetapi hal itu adalah pertanda bahwa sepakbola adalah permainan yang menyenangkan, bukan pertarungan identitas.

Scott sangat memahami itu, sekeras apapun identitas kemerdekaan di langit Glasgow, hal itu sudah sulit terjadi di abad dimana semua bangsa saling membutuhkan seperti sekarang. Di balik kesibukannya Scott terngiang pada 2014

Setelah 307 tahun persatuan Britania Raya terbentuk, Skotlandia mengajukan referendum untuk memisahkan diri dari United Kingdom. Kampanye dimulai, tensi meninggi di mana setiap orang mulai meramal bahwa Skotlandia akan memenangkan referendum untuk berpisah dari Inggris. Euforia yang terkecuali melanda Glasgow.

Klimaksnya pun terjadi, referendum dimenangkan oleh mereka yang memilih untuk bertahan dengan Commonwealth. Animo nasional mandiri yang diglorifikasi sebelunmnya ternyata tidak lebih dari ekses kepentingan. Walau di Glasgow pendukung kemerdekaan memang menang, tidak demikian di wilayah lain. Hal itu dijadikan pemantik untuk meningkatkan daya tawar politis para wakil parlemen Skotlandia di Westminter.

Jika semuanya adalah kepentingan politis maka untuk apa Rangers dan Celtic bertarung, untuk apa ada kubu Loyalis dan Kubu Konservatif, “ahh sepakbola itu terlalu menyenangkan untuk dibumbui hal demikian. Biarlah Old Firm battle menjadi komoditas pariwisata. Biarlah Ibrox dan Celtic Park jadi panggung yang menunjukkan bahwa walaupun berbeda tujuan Glaswegians selalu sama.

Scott paham hal itu, karenanya dia tidak pernah menganggap rival di sepakbola menjadi rival benaran dalam kehidupan nyata. Rival bagi Scott dan teman temannya sekarang adalah pemandangan yang dilihat Scott di Cresswell tadi. Jantung Glasgow bukan lagi pada detak Buruh di Govan dan sekitarnya.

Angka kemiskinan yang mulai perlahan terelevasi sejak akhir prtengahan abad 20 menjadi sinyal bahwa Revolusi Industri tidak seseksi dulu lagi. Glasgow dan idealis hidup Spartannya ibarat tato tua yang mulai memudar. Sekali lagi kota ini harus berevolusi untuk mempertahankan eksistensinya.

Pandangan nanar Scott dialihkan oleh panggilan bosnya. Ada temannya yang cedera, dia harus menggantikan. Waktu sudah hampir sore, Scott berusaha menyelesaikan hari itu sebaik dan secepat mungkin. Dalam hatinya dia tahu bahwa pekerjaan sekarang bukanlah proyeksi ideal masa depan. Seni galeri di Kelvinhaugh, Universitas Glasgow, Buchanan Street tempat para Apple fan boy mencari ketenaran gadget, Cresswell yang dilaluinya adalah denyut nadi Glaswegians sekarang.

Bahkan Necropolis yang merupakan kuburan para bangsawan menjadi tempat orang berkumpul merayakan wisatanya. Menjual kemolekan sejarah adalah pilihan yang paling baik. Tidak ada lagi pelabuhan, tidak ada lagi kapal penakluk ombak. Scott menolak Glasgow semakin mirip dengan Edinburgh, menolak Glasgow menjadi Sparta yang ke-Athena-an.

Sirine sore berbunyi. Scott beranjak pulang. Sinar jingga sore selalu menjadi harapan bahwa hari esok akan ada untuk mereka mereka yang telah berjuang. Tampak di kejauhan lampu lampu di tengah George Square mulai mengiringi malam yang menjelang. Menghibur setiap mata yang melihat, tak terkecuali Scott. Di jalan yang dilaluinya matanya menangkap pandangan bunga Thistle yang tumbuh.

Khas Tartan dengan warna purple-nya. Bunga yang diadopsi oleh Skotlandia sebagai simbol nasional dengan arti “no one attacks me with impunity”. “Ahh, khas Higlander sekali”. Diiringi. Suara bagpipes sepanjang perjalanan, sebuah puisi tentang Glasgow terngiang di kepala Scott. Dia berusaha mengingat seluruh baris sajaknya, tetapi usahanya hanya sampai mengingat stanza awalnya “Oh where is the Glasgow where I used to stay? White, wally closed done up wi’ pipe clay? Where you knew everybody, first floor to third and to keep your door shut was considered absurd”

#ayokeUK #WTGB #OMGB

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini