Belajar Jadi Generasi Minimalis Lewat NTB Zero Waste. Demi Selamatkan Bumi yang Terus Menangis

Generasi Minimalis untuk NTB Zero Waste

Sampah dan limbah plastik telah merajalela dimana-mana. Bumi seolah-olah telah menolak mentah-mentah untuk menelannya. Hal ini menandakan bahwa sampah bukanlah masalah yang biasa, kita sedang tidak baik-baik saja. Bumi tercinta telah meronta menahan asa, ingin teriak namun tak bisa, bumi sudah penuh dengan petaka yang telah diperbuat oleh kita semua, selaku manusia. 

Advertisement


“Bumi telah lama berteriak meminta bantuan manusia, namun kita seolah-olah berperilaku seperti sedang tak pernah terjadi apa-apa. Selama ini kita merasa bahagia, padahal tanah yang kita pijak sedang meronta karena terlilit oleh derita.” 


Menurut portal berita Republika edisi 28 Juni 2019, data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nusa Tenggara Barat menyebutkan bahwa volume sampah di sepuluh kabupaten/kota di Nusa Tenggara Barat mencapai 3.388 ton dan sampah yang dibuang per hari mencapai 76 ton. Sedangkan yang masuk ke tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) sebesar 641.92 ton. Data terakhir pada tanggal 28 Juni 2019 menyebutkan bahwa sekitar 83 persen sampah di Nusa Tenggara Barat tidak terkelola. 

Mari saya tekankan kembali, satuan berat yang di pakai dalam data tersebut adalah “Ton”, bukan kilogram lagi. Angka-angka yang disebutkan di atas memang sangat mengerikan. Namun saya yakin, fakta yang sebenarnya di lapangan jauh lebih menyeramkan dari apa yang kita pikirkan. Kita sebagai generasi muda harapan bangsa, sudah tak bisa menjadikan ini sebagai masalah biasa. Bumi Nusa Tenggara Barat ini sedang kritis dengan sampah yang dihasilkannya sendiri. Kita tak bisa membiarkan masalah sampah terus-menerus terjadi. Generasi muda sudah saatnya mengambil peran yang signifikan. 

Advertisement

Kita memang belum memiliki uang yang cukup untuk membeli alat canggih pengelola sampah seperti negara maju, namun kita bisa mengatasinya. Mulai dari sekarang, kita mulai dari diri sendiri. Generasi Minimalis mungkin masih kurang populer di telinga para kaum millennial NTB. Sedangkan di negara maju seperti Jepang, generasi ini sudah benar-benar sangat populer. Bahkan para pemuda negara Jepang sudah mulai berlomba-lomba untuk menerapkan gaya hidup minimalis. 

Hidup minimalis menurut Marie Kondo adalah hidup dengan barang-barang yang hanya bernilai guna untuk diri sendiri serta menghindarkan diri dari barang-barang yang tidak memberikan kontribusi dan nilai tambah untuk kehidupan. Menurutnya, kita selama ini terlalu banyak membeli dan menyimpan sampah di ruangan kita masing-masing. Apa yang kita beli sekarang adalah sampah untuk masa depan. 

Advertisement

Mari kita ingat kembali. Ada berapa banyak barang yang kita beli di Supermarket atau Epicentrum Mall selama satu bulan ini? Barang yang seharusnya tidak kita beli namun karena tergoda nafsu akhirnya terbeli juga. Kita kebanyakan membeli keinginan, bukan kebutuhan. Sehingga yang terjadi adalah barang-barang tersebut menjadi menumpuk di ruangan kita masing-masing. 

Mari bayangkan kembali, seberapa luas ruang kamarmu? Jika kamu merasa sempit, ini salah. Barang kali kita merasa sempit karena ada terlalu banyak sampah terselubung yang kita simpan. Satu lagi, ada berapa deretan baju lama yang masih kita simpan di dalam lemari masing-masing? Apakah kita sendiri yakin jika itu bukan sampah? Semua itu adalah sampah, selama kita tak pernah mengenakannya untuk memberikan nilai tambah untuk kehidupan kita sendiri.  

Tidakkah kita sadar bahwa selama ini kita telah diperbudak dengan barang-barang tersebut. Kita telah menyulap diri kita sendiri menjadi Budak Cinta (Bucin) untuk barang-barang yang tak bernyawa tersebut. 

Terbayang setiap hari harus membersihkan sepatu yang menumpuk. Buku-buku koleksi yang sudah terbaca habis namun masih tersimpan dan harus dibersihkan agar tak berdebu. Padahal kita berhak bebas dari benda-benda tersebut, namun ternyata selama ini kita telah terjajah oleh sampah-sampah tersebut.

Menurut teori ekonomi, kebutuhan secara intensitasnya dibedakan menjadi tiga tingkatan. Yakni kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi karena merupakan penunjang kehidupan. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang bersifat mempermudah dan melengkapi kehidupan manusia. Sedangkan kebutuhan tersier adalah kebutuhan akan barang mewah yang dapat membuat seseorang menjadi lebih merasa diakui oleh masyarakat. 

Faktanya, generasi millennial NTB zaman sekarang sedang berlomba-lomba untuk memuaskan kebutuhan tersiernya demi memenuhi kebutuhan Instagram Story-nya sendiri. Contohnya; membeli sepatu untuk keperluan koleksi, aksesoris elektronik dan tubuh yang berlebihan, makanan dan minuman junk food mahal yang berwadah plastik, dan sampah-sampah potensial lainnya. Secara tidak langsung, kita telah melakukan investasi sampah untuk masa depan.  

Sudah saatnya kita beralih menjadi generasi minimalis. Hidup dengan sedikit barang namun dipenuhi dengan banyak makna. Hidup dengan sedikit barang berarti telah membantu bumi kita tercinta untuk terhindar dari ribuan ton sampah masa depan yang semakin kejam menggerogoti perut bumi yang sudah tak berdaya ini. Hidup kita terlalu indah jika harus dihabiskan dengan benda-benda yang sebenarnya tak berguna dalam kehidupan. 

Benda yang kita miliki tak seharusnya diberi perlakuan seolah-oleh memiliki jiwa. Itulah yang justru membuat kita menjadi selalu ingin menjaganya, walau benda-benda itu sendiri sudah tak berguna. Menahan nafsu untuk tidak ingin berusaha memiliki segala adalah salah satu langkah untuk membuat bumi kita ini terjaga. Bahwa ingatlah, dalam agama pun kita selalu diingatkan bahwa segala barang yang kita miliki saat ini kelak akan dimintai pertanggung jawabannya masing-masing.

Kita semua percaya bahwa hidup ini hanyalah sementara. Meninggalkan dunia tak akan membawa apa-apa, kecuali amal ibadah selama hidup di alam semesta. Menjadi generasi minimalis mengajarkan kita untuk selalu bersyukur, bukan malah terus takabur. Walau benda yang kita miliki hanya sedikit, tetaplah merasa cukup. Hidup minimalis akan selalu menjadi pengingat bahwa ini semua sudah cukup.


“Barang apa yang kita pakai dan miliki saat ini bukanlah cerminan dari kepribadian. Baik dan buruknya kita bukan terukur dari benda-benda fana tersebut, melainkan melalui etika dan perilaku kita kepada diri sendiri dan orang lain.”


Kita yang ada di masa sekarang, kelak di masa mendatang akan menuai sendiri semua hasil yang telah kita tanam. Daripada membeli barang-barang yang kurang berguna, lebih baik menginvestasikan uang tersebut ke dalam investasi saham dan reksadana, yang sudah jelas memberikan berkah di masa yang akan datang.

Nusa Tenggara Barat sudah semakin paham dalam hal pasar modal. Saatnya sebagai generasi millennial minimalis, menjadi lebih melek lagi dengan produk-produk pasar modal. Hidup ini memang tidak akan kekal, namun jangan pernah lupa untuk menyiapkan bekal, agar masa depan tidak mental. 

Inilah saatnya untuk mewujudkan provinsi kecil kita tercinta ini menjadi Nusa Tenggara Barat yang asri dan lestari. Masa depan provinsi tercinta ada di tangan kita semua. Jika terlalu sulit untuk membantu pihak pemerintah provinsi untuk mengurangi dan menanggulangi sampah, setidaknya kita bisa membantu pemerintah melalui langkah kecil namun nyata dan berkontribusi besar untuk kehidupan di masa depan, yakni melalui hidup sebagai generasi minimalis. 

Hidup kita sudah terlalu terjerat, bumi sudah melarat, sampah sudah semakin berat, kebiasaan sudah semakin keparat, dan sekarang kita dihadapkan oleh dua pilihan berat. Hidup sebagai generasi minimalis atau membiarkan masa depan provinsi terbanjiri sampah hingga menangis. 

Himbauan dan ajakan ini memang terkesan sangat puitis dan dramatis, namun jika kita tak bertindak dari sekarang, provinsi ini akan terjangkiti masalah sampah hingga kronis, dan masa depan kita akan berakhir tragis. Menjadi generasi minimalis memang pilihan. Namun hidup di bumi tercinta ini bukanlah pilihan. Bumi hanya satu, jadi sudah bukan saatnya lagi bertindak seolah-olah kita sendirilah yang menjadi manusia. Sudah bukan saatnya lagi untuk saling menyalahkan satu sama lain.


“Kita sudah tidak ada waktu lagi untuk saling menuduh, karena tempat untuk berteduh sumpah hampir rapuh. Bumi kita sedang kritis di ambang batas. Kini sudah saatnya menepiskan ego, melonggarkan nafsu, dan menjulurkan tangan untuk menyelamatkan Nusa Tenggara Barat dari miliaran sampah yang terus meronta-ronta membuat masalah.”


Kita memang boleh lelah, pasrah kepada tuhan pun bukan masalah. Namun jangan sampai hati menyerah. Karena Nusa Tenggara Barat tak boleh punah karena sampah. Kita akan segera pulih. Kita akan baik-baik saja. Kita akan merdeka dari perbudakan barang-barang yang selama ini hanyalah sampah. Menjadi budak cinta untuk barang sendiri harus segera hilang demi Nusa Tenggara Barat Gemilang, untuk masa yang akan datang, untuk generasi yang cemerlang. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Financial Analyst and Novelist

Editor

Not that millennial in digital era.