Rasanya saya mau tidur aja siang ini, tapi saya sebenarnya baru bangun kesiangan. Pelik rasanya ketika ku bangun dari mimpi panjangku, masalah selalu menyapaku. “Hai Ical, selamat bangun tidur, mari sapa mentari” kata batinku
Asalkan ada yang menyemangatiku aku mungkin lebih bergairah dalam menjalani hidup. Yang ada setumpuk omelan debt collector yang berdenyut-denyut di handphone-ku hingga selalu terbayang di atas ubun-ubunku ini.
Ya mau bagaimana lagi, aku terpaksa bangun, menyapa hari yang sudah setengah hari, rutinitas matahari yang tak kenal bosan ini atau bumi yang selalu berputar ini mengelilingi matahari membuatku sedikit heran, mengapa kok ngga bosen ya. Ya istirahat dulu kek misalnya kan cape juga sudah ribuan tahun bumi, matahari dan tata surya bertugas kok ngga cape-cape ya.
Lama terngiyang tentang bumi dan matahari, pundakku bergedik, aku segera mandi saja, walau semangat hidupku yang luntur ini, kan kupastikan aku paling tidak tidak dianggap meresahkan orang-orang sekitarku, lagian masih bisa mandi, jadi paling tidak ngga bau. Kadang kepikiran juga ada orang yang jadi gelandangan di tengah pandemi sekarang ini, hai Ical mau di bawa kemana hidupmu ini? Sialan angker juga ini pertanyaan.
Tak karuan perasaan jiwaku tak karuan pula hidupku, dulu masih stabil ditimpa masalah beginian, ya beragam masalah pun tak masalah, tapi nilai-nilai hidupku dan masalah yang kuhadapi juga berubah. Saya juga kini mempertanyakan kembali nilai-nilai hidupku, apakah hidup yang dimaksud itu seperti apa, toh nanti saya harus menikah, nanti bagaimana cari nafkahnya, sarjana juga lebih banyak yang menganggur, lalu saya harus ngapain sekarang, tunggakan hutang ini hutang itu belum lunas dan makin lama makin rumit.
Dulu sangat idealis, bahwasannya ngga perlu duit tapi ilmulah yang lebih penting, kataku dalam hati, dengan gagah dan berani bak seorang aktivis. Tapi ilmu juga banyak keless, ilmu mencari nafkah, mendapatkan rejeki, financial apakah diajarkan di sekolah-sekolah? nggak toh.
Bahkan saking bangganya dengan organisasi mahasiswa bisa mendapat sponsor sana sini yaa pada hakikatnya hanya jadi pengemis proposal yang elegan. Kalo mengajukan proposal dan bukan berstatus mahasiswa sudah beda cerita — Ada bapak-bapak bawa proposal pembangunan tempat ibadah dan ia sangat jujur dan santun dalam mengajukan proposalnya, secara alam bawah sadar kita akan menganggapnya pengemis, dan memberi supaya dia cepat pergi.
Pelik rasanya hidup ini, diriku bergumam mungkin interpretasi dari rasa kaget, sedih dan kesal juga. Ya memang hidup ini memang begini ini kata si Mbahku. Generasi sekarang banyak tak menyadarinya lebih dahulu, ya mungkin terlalu menikmati fatamorgana kehidupan modern, terlebih ada sosial media yang enak dan bikin iri terus sepanjang ngebukanya, nyatanya, tahulah engkau rasakan, Cal, gaya hidup yang di gembar-gemborkan lewat Instagram itu realitanya cuma 5% dari kehidupan kita, dan itu cuma di hari pas mau liburan saja – dan jangan harap orang kere bisa sering jalan-jalan liburan ke tempat instagrammable. Aduuh kacian deh.
Hidup adalah rentetan dari masalah ke masalah lainnya, kalau hidup harus siap menderita, harus siap susah, dan harus siap di uji.
Dulu keadaan Mbahku serba survive, generasi si Mbah dulu tak diberi sedikitpun waktu untuk mengeluh. Mengeluh, uring-uringan, galau yang terus dituruti pertanda jiwanya sedang padam.
“Orang kaya begitu lambat laun akan jadi orang yang ngerepotin sekitarnya, lebih-lebih jadi sampah masyarakat” pungkas Mbahku,
“Kobarkan lagi api jiwamu, galau janganlah di manja, secukupnya saja. Galih apa yang sebenarnya ingin engkau capai — jika usaimu mencapai usia Mbah, kalau udah tua sudah ngapain saja dalam hidup? Cobalah pikirkan itu, atau kalo sudah mati sudah ngapain aja dalam hidup ini “.
Katanya lebih lanjut, kalau semangat kita berasal dari luar, belum berdaulat benar atas hidup kita, dapat dipastikan kita cepat lunglai, di hantam ombak biasa saja bisa goyah ya bahkan putus asa lagi. Yang pasti semua orang pernah mengalaminya kok. Lakukan saja apa yang bisa dilakukan, galau biasa di sebabkan oleh disorientasi hidup, disposisi dalam peran atau fungsi sosial hingga berujung ke dismanajemen diri.
Saran si Mbahku, “Kalau memang sangat galau mungkin perlu di konsultasikan ke ahlinya, atau kalau sekedar galau yang tak kronis dan butuh teman cerita, curhatkan saja ke orang yang kita percaya.”
Galau yang kualami adalah soal rejeki, pada saat galau saya jadi banyak melamun. Apakah galau suatu proses alamiah? Ya, semua orang pernah mengalaminya, galau menurutku suatu proses hormonal atau neuron-neuron dan jiwa yang sedang membutuhkan keseimbangan baru dalam hidup.
Orang sedang galau biasanya tak mudah di deteksi, galau bisa di katakan suatu penyakit batin dan mental. Di Amerika orang mulai memperhatikan jenis penyakit ini dalam beberapa dekade ini, galau sering di anggap remeh. Tapi nyatanya membuat hidup jadi tak produktif, bahkan jika tidak segera di tangani bisa mengarah ke depresi dari sinilah mulai muncul penyakit-penyakit mental lainnya hingga mengakibatkan penderitanya ingin mengakhiri hidupnya.
Hidup semakin kompetitif dan individualis, untuk mencurhatkan bahwa ia sedang galau mungkin takkan mudah, ujungnya di remehkan bahkan di-bully. Kuharap kemanusiaan di zaman ini tak sekadar slogan, semakin banyak orang peduli pada kesehatan mental semacam ini di Indonesia, bukankah itu akan mempercepat proses pembangunan manusia Indonesia?
Apakah galau di biarkan begitu saja, atau mencoba mendiskusikan solusi jalan keluarnya? Yuk diskusi tentang kesehatan mental ini di kolom komentar.
Cirebon, 3 Nov 2020
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”