Aku mencermati dan memilih beberapa sarung yang akan kubeli untuk dipakai lebaran besok. Yah, setidaknya single mungkin lebih baik untukku saat ini. Aku jadi lebih bisa menikmati hari-hari tanpa ada yang merasa tersakiti lagi.
Seorang pelayan toko menemaniku memilih beberapa sarung, hanya bayang-bayang badannya yang terlihat di dekatku karena mataku lebih tertuju pada sarung-sarung bermotif cantik yang akan aku beli.
Ia terpatung di dekatku, entah apa yang ia perhatikannya sekarang. Aku atau sarung yang akan aku beli? Lama ia terpatung membuatku sedikit bertanya apakah saat ini ia sedang memperhatikan barang yang inginku beli atau malah matanya sedang tertahan memandangku.
Keadaan yang sedikit aneh membuatku melirik ke arahnya sekilas saja untuk memastikan apakah ia sedang memperhatikan belanjaanku atau malah memperhatikanku. Senyumnya tipis bak seorang pelayan yang sedang melayani pembeli, aku kembali acuh dan melanjutkan memilih dan mempertimbangkan satu dari beberapa sarung yang ada di etalase toko tersebut, yang akan kupinang pulang.
Aku hampir menetapkan bahwa ada satu sarung yang akan menjadi pilihanku. Tetapi entah kenapa pelayan ini enggan untuk memberi jarak agar aku leluasa bergerak. Ada yang aneh dengan tingkahnya, bayang-bayang mukanya terus mengarah padaku meskipun aku masih sungkan untuk melihat kembali keanehan pada si pelayan saat ini.
Seperti bulan-bulan dan tahun-tahun sebelumnya, aku sungguh mengenal gelagat ini. Malah sering kujumpai pada beberapa wanita dengan keadaan yang sama. Tepatnya dengan suasana dan gerak gerik yang aku sangat kenal betul dari beberapa wanita yang pernah ada dalam hidupku. Tapi aku tidak ingin terlalu percaya diri dan aku juga tidak menginginkan hal itu saat ini.
Wajah cantik si gadis pelayan sedikit terngiang di pikiranku. Seperti cerita yang kemarin-kemarin. Dan apakah ceritanya juga sama? Selalu sama? Akhirnya aku menetapkanku pilihanku pada satu sarung yang sekarang sudah berada di genggamanku—
Aku menyerahkan sarung tersebut pada gadis pelayan ini, untuk nanti dibayar di kasir.
Ya benar, senyuman itu muncul lagi dan itu adalah senyuman yang beda, senyuman itu bukanlah senyuman pelayan pada seorang pembeli. Senyuman itu adalah senyuman yang pernah aku kenal dari beberapa wanita sebelumnya. Memang pandangan ini selalu menyuruhku untuk mendapatkan seseorang, atau ini hanya sekedar nafsu untuk memiliki? Nafsu untuk mempunyai? Dan berakhir pada kebosanan dan pada akhirnya yang mencintailah, yang akan tersakiti?
Aku menepis semua pikiranku, baru saja dua bulan aku putus dengan pacarku dan sekarang lebih baik dan lebih nyaman untuk sendiri, lagi pula tidak ada yang tersakiti nantinya jika aku sendiri. Aku ingin lebih fokus untuk berbelanja saat ini.
Toko Al-hikmah ini memang lengkap menjual barang-barang yang berbau religi. Pikiranku teringat pada buku novel islam yang sangat ini kubaca.
“Disini jual novel islam juga?” tanyaku pada pelayan tersebut.
“Kalau novel ndak ada. Buku-buku selain novel saja yang ada.” mulutnya berkata ‘tidak’ namun kenapa jawabannya itu menurut saya tidak singkron dengan rautnya yang saat ini lagi-lagi tersenyum ke arahku. Ia bahkan enggan beranjak dari tempat aku berdiri sekarang. Gelagatnya seakan berkata, “aku ingin perbincangan yang lebih panjang lagi, ajak aku bicara!”
Namun aku tidak ingin nafsu untuk memiliki sesaat akan berujung pada akhir yang tidak menyenangkan, terlebih pada sakitnya hati dari salah satu pihak. Memang aku menyukai gadis ini namun aku belum merasakan adanya cinta yang murni dariku untuk gadis ini.
Lagi-lagi ia menantiku di kasir. Kembali senyum itu semakin merebak. “Kain ini bagus untuk kamu,” katanya tersipu.
“Terima kasih,” ungkapku membuka senyum membalas senyumannya.
“Tapi lebih baik kau memakainya sekarang!”
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Celanamu robek,” ceplosnya terkikik.
Whaaatt! Aku melihat celana kainku robek dari pantat sampai pangkal pinggang dan aku baru menyadarinya. Baru Minggu kemarin aku menjahit celana ini dan sekarang robek lagi. Iya, celana ini memang terlalu ketat untukku.
Aku membayar lalu dengan sigap memakai sarung itu kemudian bergegas meloncat ke sepeda motorku. Tetapi sebelum aku pergi aku berkata kepada pelayan tersebut. “Apa aku boleh meminta nomormu?”
“Maaf, tidak!” sahutnya dengan menggelengkan kepala.
Aku ngebut kocar kacir. Dan itu terakhirku ke toko tersebut.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”