From FOMO to JOMO: Rasanya Membatasi Diri dari Media Sosial Demi Mencari Ketenangan Diri

Sudah sekitar 2 tahun lamanya semenjak saya sudah tidak terlalu aktif di media sosial. Dari yang awalnya selalu mengecek instagram setiap jam karena takut ketinggalan update-an teranyar, kini saya hanya membuka instagram seperlunya saja.

Advertisement

Sebelumnya, saya merasa tidak tenang kalau saya tidak membuka instagram sesering mungkin. Setiap ada update-an terkini dan saya telat membacanya, rasanya seperti tertinggal bis terakhir untuk pulang. Belum lagi kalau melihat teman-teman yang sering membagikan momen-momen bahagia dan baiknya hidup mereka, sedangkan saya di rumah tidak bisa melakukan apapun yang saya inginkan dan hanya bisa menatap iri. Membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain, bahkan dengan orang terdekat sekalipun tidak terhindarkan. Separah itu, sampai akhirnya saya sadar bahwa ini cukup melelahkan dan sangat tidak sehat.

Media sosial, dunia digital yang di zaman kini sudah sulit rasanya untuk dipisahkan dari kehidupan sehari-hari kita. Bahkan beberapa dari kita bekerja dengan memanfaatkan media sosial. Memang, media sosial tidak selamanya buruk seperti apa yang dikatakan orang-orang. Tapi juga media sosial tidak selamanya baik kalau kita tidak bisa memanfaatkannya dengan baik dan memanage-nya dengan pintar. Mungkin kebanyakan dari kita memanfaatkan media sosial ini untuk hiburan semata, tapi siapa tahu kalau media sosial ini justru bisa jadi salah satu penyebab buruknya suasana hati kita.

Salah satu kecemasan yang timbul dari penggunaan media sosial berlebihan adalah FOMO atau Fear of Missing Out. FOMO ini membuat pengguna medsos seringkali takut merasa tertinggal akan momen-momen atau informasi yang sedang terjadi. FOMO membuat kita lebih fokus pada apa yang dilakukan orang lain daripada dengan apa yang kita lakukan pada saat ini. Bukannya mendapatkan hiburan dan keuntungan dari media sosial, tapi malah rugi karena membuat kita lelah secara mental. Untuk mengatasi FOMO tersebut, ada beberapa cara yang bisa dilakukan, salah satunya yaitu JOMO atau Joy of Missing Out. JOMO adalah kebalikan dari FOMO, yaitu merasa nyaman dengan apa yang dimiliki saat ini, dan tentunya tidak khawatir akan ketinggalan tren terkini.

Advertisement

Transisi dari FOMO menjadi JOMO

Setelah saya sadar bahwa media sosial itu sudah memberikan dampak buruk bagi kesehatan mental saya, akhirnya saya memutuskan untuk puasa media sosial. Awalnya memang sulit, sering kali masih kecolongan untuk membuka media sosial sesering mungkin. Apalagi kalau misal diri sendiri sudah memberikan larangan untuk tidak buka media sosial, malahan semakin dilarang semakin tergoda untuk melakukannya. Tapi dengan berjalannya waktu, saya akhirnya bisa melepaskan diri dari belenggu kecanduan media sosial dan bisa merasakan ketenangan yang sebelumnya sulit untuk didapatkan, joy of missing out.

Advertisement

Membatasi media sosial, bukan berarti kita sama sekali tidak membukanya. Kita masih bisa dan boleh untuk membuka aplikasi medsos apapun, namun dengan mengurangi intensitas penggunaannya. Dari yang awalnya membuka setiap jam, secara perlahan dikurangi menjadi 3x sehari. Seperti dalam waktu istirahat, atau ketika benar-benar butuh hiburan.

Perubahan memang tidak bisa diterapkan secara paksa dan mendesak, perubahan yang baik seharusnya diterapkan secara bertahap sehingga hasil akhirnya pun akan lebih baik. Terlebih, tidak ada perubahan yang mudah, selalu ada rintangannya, itulah salah satu alasan kenapa perubahan harus diterapkan secara bertahap, alasannya karena untuk memberikan waktu bagi diri kita untuk beradaptasi dengan proses. Tidak apa-apa meskipun berjalan secara perlahan dengan tahapan kecil, menurut buku Atomic Habits, justru perubahan kecil lah yang bisa memberikan impact besar.

Meskipun sudah tidak aktif di media sosial, saya masih bisa mengikuti perkembangan dan tren terkini yang sedang hangat-hangatnya. Hubungan dengan teman-teman pun masih terjalin dengan baik tanpa rasa canggung. Dan saya pun sudah tidak membanding-bandingkan diri saya dengan orang lain lagi, mungkin bisa dikatakan self-love saya sudah meningkat semenjak saya memahami Joy of Missing Out ini. Yang jelas saya bisa mendapatkan ketenangan, bahkan ketika saya membuka media sosial. Kini, bagi saya media sosial benar-benar menjadi sarana untuk bersosialiasi di dunia yang sangat luas ini.

Memang, tidak semua bisa lepas dari media sosial. Khususnya bagi mereka yang harus bekerja dengan media sosial. Tapi tetap, kalau misal sudah ada dampak buruk dari media sosial ini, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mungkin kamu bisa membatasi medsos dengan cara tidak membuka aplikasi medsos apapun disaat waktu beristirahat. Apapun itu, kamu bisa sesuaikan dengan kondisimu.

FOMO bisa terjadi bukan hanya karena media sosial

FOMO ini bisa terjadi dimana dan kapan saja, tidak harus diakibatkan oleh media sosial. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun, ada kalanya kita kerap mengalami FOMO. Contohnya seperti dalam lingkup pertemanan dimana kita takut tertinggal gosip terkini tentang teman-teman, atau ketika ada informasi terbaru dari mulut ke mulut di tempat kerja. Apapun itu, ketika kita merasa bahwa sesuatu sudah tidak baik lagi, maka saat itu pula kita harus mencari akar penyebabnya dan mencari solusinya. Bukan untuk siapa-siapa, justru itu untuk menolong diri kita sendiri. Jika bukan kita, Siapa lagi yang bisa? Semoga kita semua selalu bisa melakukan semuanya sewajarnya saja, ya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Just a jurnal of Dina's ordinary days. Stay be yourself, love yourself, and be kind to everyone!