Empati……
Saat dimana kita turut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Rasa Empati kita perlukan untuk bertahan hidup. Orang yang tidak memiliki empati cenderung akan sulit beradaptasi di lingkungan sosial. Tidak bisa dipungkiri manusia adalah makhluk sosial yang hidup berdampingan dengan orang bahkan makhluk hidup lain.
Darimana rasa empati itu berasal dan mengapa tingkat empati antara satu manusia dengan manusia lain bisa sangat berbeda telah banyak dikaji oleh para peneliti. Berdasarkan jurnal yang berjudul Dissecting the Neural Mechanisms Mediating Empathy yang terbit pada tahun 2011 menyatakan bahwa perasaan empati yang muncul dapat dipengaruhi oleh pemrosesan emosi yang terjadi pada otak, kepribadian individu yang berbeda,dan  tingkat kesehatan mental. Carter, S. S., Harris, J., & Porges, S. W dalam penelitiannnya yang berjudul Neural and evolutionary perspectives on empathy juga menyebutkan bahwa hormon oksitosin dan vasopresin adalah mediator munculnya rasa empati.
Empati dan Simpati adalah dua perasaan yang berbeda. Menunjukkan empati membutuhkan lebih banyak waktu dan usaha. Empati tidak hanya ikut merasakan emosi atau perasaan orang lain tetapi juga memunculkan motivasi untuk membantu. Seorang psikopat tidak memiliki rasa simpati. Mereka tahu orang lain menderita tetapi mereka tidak peduli.
Empati dimulai dengan empati kognitif: membayangkan apa yang dialami orang lain. Â Siapa yang mereka kalahkan? Seberapa dekat mereka dengan orang ini? Selain perasaan sakit dan kehilangan, bagaimana kehidupan mereka sekarang akan berubah?
Setelah itu berkembanglah empati emosional. Mencoba mengaitkan emosi orang lain dengan diri sendiri. Jika aku ada di posisinya saat ini, bagaimana perasaannku ?
Akhirnya, empati penuh kasih menggerakkan untuk mengambil tindakan. Contoh mengajaknya pergi untuk menemani mereka agar mereka tidak lagi merasa kesepian.
Itu adalah salah satu contoh bagaiman empati bekerja. Faktanya, setiap interaksi yang kita lakukan dengan orang lain adalah kesempatan untuk melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda, untuk berbagi perasaan, dan untuk membantu.
Memiliki empati memang sangat berguna karena seringkali membantu untuk memahami orang lain, kita merasa berguna dan berdaya saat kita dapat menawarkan bantuan kepada orang lain, dan kita dapat menjalin pertemanan yang lebih kuat. Tetapi terkadang kita harus mampu mematikan perasaan empati kita untuk melindungi hidup kita sendiri dan orang lain. Kita harus membuat batasan antara emosi kita sendiri dengan orang lain. Jika kita terlalu menyerap emosi orang lain kita sendiri akan kewalahan.
Kurangnya kemampuan mengatur emosi mengakibatkan gairah emosional yang merusak dan salah mengidentifikasi emosi, menghambat kemampuan untuk berfungsi secara adaptif dan tepat. Kita jadi sulit memposisikan dan menempatkan diri. Tidak semua orang juga butuh untuk kita berikan empati. Terkadang diam dan memberi ruang untuk dia sendiri adalah solusi yang pas.
Memiliki sikap terlalu berempati terhadap orang lain dinamakan emotional sponge. Seperti sponge yang menyerap, begitulah juga keadaan orang yang terlalu empati, menyerap emosi orang lain hingga masuk kedalam dirinya.
Berdasarkan jurnal yang berjudul Balancing the empathy expense account: Strategies for regulating empathic response yang menggambarkan bagaimana seorang profesional seperti dokter, psikolog, psikiater, maupun professional medis lainnya harus mampu menyeimbangkan emosi demi keselamatan pasien ataupun kliennya.
Jangan sampai dengan memperhatikan kondisi pasien atau klien yang sedang mengalami trauma atau rasa sakit dapat menguras sumber daya emosional mereka dan ironisnya mengurangi kapasitas mereka untuk dapat memberikan perawatan yang tepat. Empati dapat dilihat sebagai pedang bermata dua, memfasilitasi kepedulian dan kasih sayang tetapi pada saat yang sama menimbulkan kerentanan terhadap emosi kita sendiri.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”