Duhai Bapak dan Ibu mertua yang kuhormati,
Menerima pinangan anakmu adalah suatu keputusan terbesar dalam hidupku. Bukanlah hal yang mudah bagiku untuk memulai ‘berlayar’ mengarungi bahtera rumah tangga bersama anak tersayangmu. Sikap anakmu terhadapku yang begitu terpuji, mampu membuatku luluh dan dengan mantap mengikrarkan janji sehidup semati bersamanya. Kalian sebagai calon mertuaku pun terlihat sangat menerima kedatanganku dengan tangan terbuka. Betapa bahagianya aku pada saat itu.
Keadaan berkata lain saat aku dan anakmu telah sah menjadi pasangan suami istri. Dengan bekal pernikahan dan tabungan yang masih sedikit, kami berdua memutuskan untuk sementara tinggal berdampingan denganmu. Awalnya aku mengira hal ini tidak masalah dan justru aku merasa akan lebih dekat dengan orang tua keduaku. Tapi ternyata dugaanku salah. Perlahan rasa betahku di rumah ini hilang saat aku tahu bahwa rumah tanggaku seolah-olah diatur dan dikendalikan olehmu.
Mulanya aku tidak begitu menganggap serius. Bahkan saat anakmu lebih memperhatikanmu sebagai orang tuanya, aku merasa itu adalah hal yang wajar. Aku tidak mempermasalahkan gaji suamiku yang lebih banyak diberikan kepadamu dibandingkan kepadaku. Aku menganggap bahwa itu adalah salah satu bakti seorang anak kepada orang tuanya. Aku juga tidak pernah protes saat kau memperlakukanku layaknya asisten rumah tanggamu. Karena aku merasa bahwa itu sudah menjadi kewajibanku sebagai menantu yang menumpang di rumahmu.
Tapi kenyataan mulai terkuak kalau sebenarnya kaulah yang selama ini mengatur keuanganku dan suamiku. Kau mempengaruhi anakmu agar ia tidak memberikan nafkahnya secara utuh. Padahal, sudah jelas dalam janji pernikahan bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istrinya.
Selain itu, ada satu hal lagi yang membuatku merasa semakin lama ini bukan hal yang lazim. Caramu memperlakukanku sepertinya bukan layaknya mertua dan menantu, tapi mertua dan pembantu. Aku tahu, aku adalah orang baru yang kini bergabung menjadi bagian dari keluargamu. Tapi, apakah aku juga tidak berhak untuk sekedar menikmati peranku sebagai istri dari anakmu? Salahkah aku jika ingin pergi keluar sebentar saja sekedar untuk menghirup udara segar?
Tidak lama setelah itu, aku mengandung cucumu yang kuharap kehadirannya nanti bisa meluluhkan hatimu supaya kelak kau juga bisa menyayangiku. Tapi lagi-lagi harapanku harus pupus. Seluruh rasa cintamu kaucurahkan hanya kepada cucumu, dan tidak sedikit pun kepadaku. Aku tetaplah seorang pembantu di matamu.
Duhai mertuaku,
Aku hanya ingin diperlakukan seperti anak kandungmu. Aku sudah menjadi bagian dari keluargamu. Maka aku berharap, perlakukanlah aku selayaknya keluargamu. Jika memang ada kekurangan yang ada dalam diriku, kuharap kita bisa membicarakannya dengan baik-baik dan bukan dengan cara seperti ini. Aku menyayangimu seperti aku menyayangi orang tua kandungku. Dan aku berharap kau juga bisa menyayangiku seperti kaumenyayangi anak kandungmu.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”