Aku rasa kebahagiaan yang selama ini kucari, ternyata tak pernah meninggalkanku. Suatu hal yang sangat berharga, begitu dekat; mendekap tidur malamku. Yang membuatku tenang di saat tidurku tak senyenyak kemarin; perihal hidup yang terus membuatku jengah dan rasanya lelah: lelah menunggu. Seharusnya aku bersyukur karena ibu tak pernah lelah memintaku terus bersabar, meskipun itu dalam setiap doa yang beliau panjatkan tak bisa kudengar.
"Kalau boleh jujur, apakah kamu tahu alasanku sering datang kemari?"
"Apa emangnya?"
"Karena aku ingin melihat kamu bercanda dengan ibumu?"
"Maaf, Ger.. Aku enggak pernah bermaksud menyinggung perasaanmu. Aku pun merasa bersalah. Tak pantas mengeluh di depanmu, karena rasa sebal terhadap ibuku.”
"Seharusnya kamu bersyukur Her, karena kamu masih bisa makan masakan ibumu, masih melihat beliau bangunin kamu. Ibumu pasti punya alasan kuat tersendiri, jika sampai saat ini belum mengijinkamu pergi."
"Tapi, sampai kapan aku harus menunggu restu dari ibu, Ger? Apa aku enggak boleh wujudin mimpi aku di luar kota? Sampai kapan aku harus iri melihat teman-temanku bisa hidup enak gitu aja? Sedangkan aku masih belum ke mana-mana dan seperti tak tahu apa-apa hidup di dunia ini. Bahkan kesulitan sekali menemukan cinta sejati."
Sebelum Gery menjelaskan apa yang dimaksudnya, aku pun pergi begitu saja—meninggalkan amplop warna coklat, dengan isi di dalamnya keluar—berserakan. Diantaranya: surat lamaran pekerjaan, pas foto dan berkas lainnya.
Keesokan harinya aku pun bercerita pada saudaraku. Kurasa dia adalah orang yang tepat, karena lebih berpengalaman dariku. Dia lebih dulu merasakan bagaimana menjadi anak rantau. Iya. Aku rasa—mungkin aku juga iri padanya. Karena ia bisa merantau dan juga mendapatkan gaji yang lebih dariku sekarang, dan bisa kuliah seperti impiannya. Tapi kali ini aku tak ingin membahas soal itu. Percuma. Karena sampai kapan pun kehidupannya berbeda denganku. Dia bukan satu-satunya anak tunggal. Jelas saja mungkin itu pertimbangan orangtuanya yang akhirnya mengijinkannya pergi. Sedangkan aku adalah anak tunggal dari pernikahan yang telah usai—sebelum aku mengenal bapak kandungku sendiri.
“Kamu tahu? Meskipun bapakku sepertinya cuek terhadapku, tapi beliau yang sering kali bertanya kapan aku akan pulang. Sebenarnya mereka awalnya juga berat melepasku pergi ke luar kota. Apa kamu tahu—jika selama ini—aku juga iri terhadapmu, karena kamu bisa seperti sekarang ini.”
Sepertinya, aku telah keliru menyikapi sikap teman dan juga saudaraku. Mereka memiliki proses hidup yang berbeda denganku. Temanku Gery, telah kehilangan ibunya ketika masih usai 16 tahun. Namun, ia bisa berkesempatan kuliah. Meksipun kehidupan keluarganya juga penuh dengan lika-liku yang tajam. Sedangkan saudaraku, dengan berbagai hal yang bisa ia capai, masih saja iri terhadapku. Lantas apa yang sebenarnya aku cari di dunia fana yang penuh dengan asumsi yang salah?
Aku pun kembali melihat putaran waktu yang berjalan, tanpa bisa dengan tepat kumelihat perpindahan persekian detiknya. Perlahan kutarik nafas panjang dan melihat ke jalan. Kulihat tumbuhan yang awalnya hanya tunas kecil, kini mulai berbuah. Jalan yang setiap hari kulewati pun kini diperlebar dan terus diperbaiki. Tak lama lagi jalan yang sering kutatap setiap hari ini, akan semakin banyak kendaraan yang tak sabar dengan cepatnya sampai ke tempat tujuan—tanpa perlu mengantri karena perluasan jalan yang sampai saat ini masih berjalan.
Iya. Semua itu terjadi karena adanya proses menunggu yang harus dijalani. Demikian dengan hidupku. Aku sadar semua makhluk di bumi ini tidak akan pernah puas dengan apa yang dicapainya. Tak menampik juga jika kini terjadi dalam diriku.
Seharusnya aku bersyukur memiliki keluarga: ibu dan bapak tiri, serta saudara tiriku yang sekarang sudah berumah tangga, kini berada pada fase yang tak pernah kubayangkan. Yang dulunya kakak tiriku sering meminta uang pada bapak tiriku, kini dia sudah sadar akan tanggung jawabnya terhadap istri juga anak-anaknya. Dan itu bisa terjadi, setelah pernikahan ibuku dan bapak tiriku berjalan kurang lebih 10 tahun. Sangat lama—diluar perkiraanku. Waktu yang kutunggu juga ibu akhirnya Tuhan kabulkan. Meskipun aku tak pernah tahu, doa apa yang selalu diucapkan ibuku. Sekiranya setiap kali aku melihat beliau melipat tangan dan berdoa, aku hanya melihat keseriusan beliau. Ingin rasanya kumendengarnya. Tapi aku memilih untuk menahan apa yang ingin kutanyakan; menahan rasa egois yang datang.
Iya. Doa ibuku. Doa yang tak pernah setiap kalimatnya kutahui. Yang jelas dan kupercaya sampai sekarang ini: aku masih tetap bertahan menghadapi setiap masalah karena doa ibuku. Meskipun jika terkadang aku lupa mendoakan ibu, beliau selalu mengingatkanku melalui doanya. Sekali lagi: meskipun aku tak mendengarnya secara langsung.
Dan keputusanku saat ini adalah untuk menyelesaikan project buku tunggalku terlebih dulu. Untuk setelahnya, perihal aku jadi merantau atau tidak, kuserahkan pada Tuhan yang mampu membuat tepat waktunya, disaat aku benar-benar tak berdaya.
“Terima kasih untuk segala doa-doamu, Ibu. Maafkan aku yang tak pernah bisa peka dengan apa yang sebenarnya kau inginkan terhadapku. Ibu.. Bapak.. semoga sehat selalu sampai buku tunggalku terbit. Seperti aku yang selalu menunggu restu darimu."
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”