Streotip yang menyatakan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki menyebabkan masih adanya ketimpangan dalam hal kesetaraan gender terutama dalam dunia kerja. Oleh karena itu, hingga saat ini kedudukan perempuan tidak pernah bisa sejajar dengan laki-laki karena perempuan hanya dianggap sebagai peran kedua karena kurangnya kemampuan penyesuaian mereka dengan pekerjaan laki-laki. Sehingga, para pekerja perempuan sering diperlakukan dengan semena-mena oleh perusahaan.
Ada banyak sekali bentuk diskriminasi kepada perempuan dalam dunia kerja, salah satunya dalam hal perlindungan kerja bagi kaum perempuan yang sudah menikah atau memiliki keluarga. Status pernikahan bagi perempuan dalam dunia kerja masih terus dipermasalahkan, karena dikhawatirkan peran ganda yang dijalankan oleh seorang perempuan akan mempengaruhi produktivitas di tempat kerjanya, terlebih pada usia lanjut. Tidak dapat dipungkiri bahwa perlindungan bagi pekerja perempuan memilki perbedaan yang cukup besar terutama dalam pemberian cuti, seperti cuti hamil, cuti melahirkan, dsb yang tidak mungkin untuk diperoleh oleh pekerja laki-laki. Dalam hal ini, bagaimana kesetaraan gender dapat diterapkan dalam hubungan industrial? Akankan budaya diskriminasi terhadap perempuan masih berlanjut?
Terlepas dari semua permasalahan tersebut strandar perburuhan tentang kesetaraan gender yang dideklarasikan pada Konvensi International Labour Organization (ILO) menyatakan bahwa, prinsip kesetaraan gender mengacu pada pemenuhan hak-hak, kesempatan dan perlakuan yang adil oleh laki-laki dan perempuan dari semua kelompok umur di segala tahapan kehidupan dan pekerjaan, yang berarti bahwa semua manusia bebas mengembangkan kemampuan pribadi mereka dan memilih tanpa dibatasi oleh stereotip dan prasangka tentang peran gender atau karakteristik laki-laki dan perempuan baik dalam hal pemberian upah hingga perlindungan bagi setiap pekerja.
Menilik pada kasus yang terjadi pada tahun 2020 silam, ratusan pekerja PT. Alpen Food Industry (Perusahaan produsen merek ice cream AICE) di Bekasi yang melakukan mogok kerja akibat kesenjangan perlindungan bagi para pekerja. Salah satunya pelanggaran terkait pembagian waktu kerja bagi para buruh perempuan yang sedang mengandung atau hamil. Dalam hal ini, perusahaan menuntut baik setiap buruh laki-laki atau perempuan dapat bekerja sesuai pembagian waktu kerja yang telah diberikan yaitu mempekerjakan buruh perempuan yang sedang mengandung hingga shift malam. Hal tersebut tentu melanggar hak perlindungan para pekerja perempuan, meskipun pihak perusahaan berdalih bahwa kebutuhan bagi para buruh perempuan yang sedang mengandung selama mengerjakan shift malam diberikan supply makanan bergizi.
Mengacu pada Pasal 72 Ayat (1), (2), (3), dan (4) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yang memberikan beberapa keringanan bagi pekerja perempuan. Salah satunya berisi tentang larangan pengusaha mempekerjakan pekerja perempuan hamil masuk pada shift malam (23.00-07.00) jika menurut keterangan dokter ini berbahaya. Selain itu, terkait kewajiban perusahaan untuk memberikan makanan dan minuman bergizi, Kepmenakertrans 224/2003 mengatur sebagai berikut: Pasal 3: Makanan dan minuman yang bergizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (l) huruf a. harus sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori dan diberikan pada waktu istirahat antara jam kerja. Makanan dan minuman tidak dapat diganti dengan uang. Hal tersebut sepatutnya dilakukan oleh perusahaan demi keselamatan si ibu hamil dan bayinya, sehingga nantinya tidak ada pihak-pihak yang akan dirugikan jika terjadi suatu kecelakaan kerja, akibat kelalaian perusahaan dalam memberikan perlindungan bagi para pekerja perempuan yang sedang hamil.
Akankah budaya diskriminasi dalam kesetaraan gender ini masih terus berlanjut?
Tentu saja akan terus belanjut, terlebih dalam proses pelaksanaan daripada UU Ketenagakerjaan tersebut dirasa masih diabaikan oleh perusahaan dan jauh dari harapan, selama tindakan semena-mena yang dilakukan perusahaan kepada para pekerja perempuan masih membudaya. Oleh karenanya, tepat di momentum Hari Buruh yang diperingati setiap tanggal 1 Mei peran pemerintah untuk mempertegas peraturan tersebut sepatutnya terus-menerus dikaji secara mendalam agar perusahaan dapat memenuhi perlindungan kerja khususnya bagi para pekerja perempuan terlebih bagi mereka yang sudah berumah tangga, agar tindakan diskriminasi terhadap pekerja perempuan dapat dihapuskan, sesuai dalam Pasal 3 Konvensi Konvensi International Labour Organization (ILO) No.183 tahun 2000 yang mengatur lebih lanjut bahwa pemerintah dan pengusaha sepatutnya mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin bahwa pekerja perempuan hamil tidak diwajibkan melakukan pekerjaan yang dapat membahayakan kesehatan ibu dan anak dalam kandungan.
Mempekerjakan seorang wanita pada pekerjaannya yang mengganggu kesehatannya atau kesehatan anaknya, sebagaimana yang ditentukan oleh pihak berwenang, harus dilarang selama masa kehamilan dan sampai sekurang-kurangnya tiga bulan setelah melahirkan dan lebih lama bila wanita itu merawat anaknya. Mengingat peran perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan sangat diandalkan, perlindungan bagi pekerja perempuan dan tindakan diskriminasi yang ada harus segera dihapuskan, agar tidak ada lagi pihak-pihak yang dirugikan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”