Dilan dan Ketidakmampuan Menjadi Seorang Pria

Dilan hanya tahu cinta perkara suka dan bahagia saja sebelum akhirnya menderita.

Film Dilan 1991 sudah tayang di seluruh Indonesia. Bahkan konon katanya mencatatkan rekor untuk penonton terbanyak pada minggu pertama. Kepopuleran si Dilan memang tak bisa dianggap remeh. Selain di adaptasi dari novel yang sudah diketahui oleh masyarakat luas (khususnya remaja), pemerannya pun menjadi magnet tersendiri. Dilan untuk secara sementara ini dalam satu dekade menjadi tokoh yang mengalahkan tokoh laki laki lain di film lain yang sejenis. Salah satu tokoh yang kalah saing sekarang adalah Rangga.

Advertisement

 

Mengenai seru atau tidaknya film sekuel ini saya terus terang tak dapat mengatakan secara jelas. Saya belum pernah menontonnya, baik yang edisi pertama dan tentu saja yang baru ini. Selain karena tak terlalu suka dengan genre romantis, alur ceritanya juga saya kurang suka karena benar benar seperti kepedihan cerita romantisme saya.

 

Advertisement

Hanya karena saya tak pernah menonton Dilan bukan berarti saya tak tahu apa apa mengenai Dilan. Setidaknya dulu saya sempat menggemari quote quote dari Pidi Baiq yang didapat secara tak langsung dari internet. Salah satu quote yang masih saya ingat adalah “aku menyukaimu. Mau kau menyukaiku atau tidak, itu urusanmu”. Saya pun sangat senang dengan quotes tersebut dan menerapkannya sebagai landasan bertindak untuk mendapatkan perempuan incaran saya. Pokoknya saya suka kamu, mau kamu suka atau tidak, itu urusanmu. Meski pada akhirnya ia memang tidak suka kepada saya. Quote itu saya hapus sekarang. Kala itu saya masih dikategorikan bucin.

 

Advertisement

Menilai sosok Dilan dari sudut pandang orang awam seperti saya yang hanya mengetahui kata kata romantisnya saja, pastinya ada satu hal yang patut digarisbawahi. Yaitu, sadar atau tidak kita pernah menjadi Dilan. Umumnya terjadi ketika sedang kasmaran. Seperti yang saya jelaskan barusan diatas, saya pernah terjerumus dalam hubungan menyakitkan yang tentunya diawali dengan kebahagiaan. Ya memang seperti itulah iming imingnya.

 

Gombalan-gombalan receh dan kelakuan kelewat batas nalar juga kadang dilakukan. Meski saat itu saya tak pernah hitung hituangan massa jenis dari sebuah rasa kangen, tetapi rasanya malu juga kalau di ingat setiap gombalan yang dulu. Kita pernah bucin bersama.

 

Dilan secara sempurna menggambarkan sosok remaja yang haus cinta. Setidaknya Dilan hanya tahu cinta perkara suka dan bahagia saja sebelum akhirnya menderita. Barang tentu sudah kita pernah menjadi sosok Dilan ketika berseragam putih abu abu.

 

Di saat terpesona melihat ukhti-ukhti yang nyanyi lagu Melly Goeslow dengan efek video cut and trim lalu muncullah benih benih (abnormal) dari hati. Mencuri waktu di sela sela pelajaran hingga membuat semut merah keheranan atau paling umum menuliskan namamu dan namanya pada sebuah dinding sekolahan. Betul saja, Dilan mewakili para lelaki yang dulu dibudak asmara.

 

Lain Dilan lain lagi si Jack. Kenapa malah ke si Jack sih? Jadi begini, salah satu film romantis terbaik menurut penontonnya dan penggemarnya film Titanic adalah film Titanic sendiri. Ya iyalah. Ketika hanya menyisakan satu momen pengharapan, ketika hanya sepasangan mata saling bertatapan dan seolah tak ingin dipisahkan, Jack mesti mengorbankan nyawanya dalam dalam ke dasar samudera.

 

Sosok Jack terkesan gentle sekali. Mainannya bukan motor dan jaket bendera negara adikuasa terbalik, ia hanya seorang pemuda yang pintar melukis (meski pada akhirnya jadi lukisan erotis). Kenyataannya, pembuktian dari tekadnya kepada sang tambatan hati begitu heroik. Nyawa bukan masalah bagi Jack. Meskipun pada beberapa teori mengatakan si Rose mestinya bisa berbagai tempat dengan Jack. Tapi ya sudahlah, biar memorable aja.

 

Rangga memang bukan kaka kandung dari Dilan. Meski filmnya lebih dulu tayang, tetapi setting tahun masih didahului abang Dilan. Tetapi kalau bicara kejantanan, maka Rangga jangan dipertanyakan. Sastrowardoyo pun bertekuk lutut olehnya. Rangga adalah sosok yang lebih dewasa. Kegemarannya dalam hal sastra mengantarkan sebuah pandangan umum bagi beberapa perempuan. Bahwa lelaki romantis adalah yang pandai bersastra, seorang pujangga. Kalahlah sudah lelaki ketua basket dan pandai gitar.

 

Entah Dilan, Rangga atau Jack, menjadi lelaki yang normal ketika merasakan cinta adalah hal yang tidak normal. Apalagi jika kasusnya seperti cerita ketiga sosok tadi. Disaat sedang membutuhkannya dan merasakan pada akhirnya sensasi saling mencintai. Itulah awal dari segala perlakuan diluar nalar manusiawi.

 

Berbagai cara kadang dilakukan untuk menaklukan hati sang idaman atau juga mempertahankan hubungan. Bagaimana perempuan tidak klepek klepek jika diperlakukan seperti itu. Masalahnya adalah lelaki tak selalu seperti itu dan cinta kadang juga tak selalu seceria itu. Pada akhirnya, kedewasaan dalam memandang cinta adalah hal yang perlu. Namanya juga remaja, wajar sih kalau Dilan kadang kangen berat padahal baru sebentar ditinggal angkat jemuran.

 

Menjadi Dilan atau siapapun yang mewakili segala ketidakmampuan seorang lelaki dalam mengontrol diri. Seperti kata netizan “bucin”. Meski pada akhirnya dan semestinya lelaki harus menjadi pria yang memandang cinta tak sekedar gombalan dan segala ucapan saja. Tak jatuh hanya sekali patah karenanya. Memang seperti itulah, cinta kadang tak berbentuk simetris.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang yang menatap langit yang sama denganmu