Saat menginjak umur yang dianggap dewasa, orang-orang di sekitar kita dari keluarga sampai kerabat pasti menaruh ekspektasi kalau kita harus sudah ada di titik tertentu dalam hidup. Karena hal ini, banyak orang pasti merasa dikejar-kejar oleh “deadline” hidup. Tapi, coba kita lihat lagi, menjadi dewasa itu sebenarnya bagaimana? Memangnya kedewasaan itu apa, sih?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dewasa itu akil balig atau matang. Akil balig sendiri artinya tahu bedanya baik dan buruk. Tapi, kan, baik atau buruknya sesuatu tergantung sama persepsi budaya dan pikiran masing-masing. Kalau menurut hukum di Indonesia yang ada di KUHP Pasal 330, seseorang dianggap dewasa jika sudah berusia 21 tahun atau sudah menikah, seakan-akan seseorang yang berumur 20 tahun akan berubah “dewasa” dalam semalam setelah berulang tahun ke-21. Kalau zaman dulu, sih, pengertian dewasa lebih simpel. Kalau sudah pubertas, ya, dianggapnya udah dewasa.
Sekarang, dewasa itu lebih tentang mentalitas seseorang daripada umur. Malah, dewasa sendiri sekarang sudah menjadi sifat. Kita pasti pernah denger orang bilang, “eh, dewasa sedikit, dong!” dalam suatu argumen, atau mendeskripsikan seorang teman sebagai yang paling dewasa.
Secara tidak sadar, kita punya kriteria sendiri tentang apa yang dianggap dewasa. Biasanya, sih, kriterianya yang berhubungan dengan tanggung jawab, cara menyelesaikan masalah, atau cara berpikirnya. Seseorang yang dewasa dianggap sudah bisa bertanggung jawab, menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, dan bepikir rasional. Ironisnya, jika itu yang kita anggap dewasa, mungkin setengah populasi orang yang umurnya di atas 21 tahun di Indonesia cenderung nggak dewasa.
Walaupun kita punya kriteria “dewasa” seperti di atas, bukan berarti kita aman dari tuntutan masyarakat juga, terutama dari yang terdekat. Hampir mustahil jika nggak ada salah satu anggota keluarga yang melontarkan pertanyaan emas “sudah punya pacar belum?” atau “kapan nikah?” di suatu acara keluarga. Tuntutan ini juga cenderung mengekang. Contohnya: umur 22 tahun sudah harus lulus kuliah dan mulai bekerja, lalu 24 tahun mestinya sudah harus menikah, dan umur 30 tahun waktunya berinvestasi… Terus-menerus sepanjang hidup kita pasti akan dihantui oleh ekspektasi dan tuntutan masyarakat.
Eh, tapi, tenang. Menurut Dr Michael Stone, peneliti senior dari University of Manchester, kedewasaan atau adulthood itu hanya sebatas konstruksi sosial. Semua masyarakat di seluruh dunia pasti punya konsep kedewasaan yang berbeda. Makna “dewasa” itu sendiri juga bervariasi. Indonesia menganggap umur 17 tahun itu sudah dewasa dimana sudah dapat izin untuk mengemudi, berbeda dengan beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang menganggap umur 16 tahun aja sudah cukup umur untuk mengemudi, eh, tapi belum cukup umur untuk mengonsumsi minuman beralkohol. Standarnya jelas berbeda-beda.
Jadi, nggak usah lagi, deh, pusing mikirin ekspektasi dan tuntutan yang nggak ada habisnya. Mendingan ingatkan diri sendiri kalau their pace is not your pace. Masing-masing dari kita punya tempo sendiri dalam menjalani hidup dan kita juga bisa memaknai arti kedewasaan dalam persepsi kita sendiri.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”