Ini cerita kami tahun 2016. Berwisata ke sebuah suku yang sangat alami yang tak tersentuh modernisasi. Sangat kuat menjaga adat. Apa yang mereka butuhkan tersedia oleh alam. Mereka tak butuh yang namanya sekolah, tak tergantung dengan HP, televisi, kendaraan, rumah megah dan lain-lain. itulah suku Baduy yang unik.
Untuk itu, kami memakai jasa sebuah agency untuk memandu kami ke sana. Karena untuk masuk ke perkampungan mereka tak bisa sembarangan. Kita harus di dampingi oleh seorang anak suku. Tanpa ada pendamping dari anak suku, kita tak diizinkan masuk ke wilayah mereka. Nah, untuk mengurus masalah admisnistrasi begitu, agency sudah paham. Mereka akan menemui kepala adat (Pu’un), membayar uang adat, izin dan lain-lain.
Pendamping kami adalah Pak Idong. Beliau berasal dari suku Baduy Dalam. Sedangkan perjalanan kami hanya sampai kampung suku Baduy luar. Untuk mencapai suku Baduy luar ini, start dari Desa Ciboleger, kabupaten Lebak Banten, membutuhkan 1 jam perjalanan. Jalan datar? Oh nooo…kita melintasi gunung gaes. So pasti jalannya mendaki dan menurun. Kalau lanjut ke kampung Baduy Dalam, maka perjalanan di tambah 3 jam lagi. Mendaki dan menurun lagi. mendengar 4 jam perjalanan melewati beberapa gunung, cukup membuat kami gentar dan memutuskan perjalanan kami cukup sampai di kampung Baduy Luar saja.
Tapi meskipun perjalanan kami selama 1,5 jam melewati gunung, mendaki, menurun, dan berkelok-kelok, terbayarkan oleh pemandangan yang indah, udara yang segar dan amat sejuk. Semua merasakan keriangan di antara nafas yang memburu.
Selama perjalanan kami sudah melihat keunikan masyarakat Baduy ini. Mereka tidak ingin menguasai alam. Tapi mereka hidup berdampingan dengan alam. Hal ini terlihat jelas dari sawah yang mereka kelola. Mereka sama sekali tidak mengubah kondisi alam dengan membuat sawah atau membuat terasering. Tanaman padi ditanam di antara pohon-pohon. Sesuatu yang unik melihat tanaman padi berada di antara pohon-pohon besar. Dan cara menanam padinya pun sederhana. Tidak dibajak. Cukup membuat lubang dengan bambu yang diruncingkan dan masukkan bibit. Sederhana bukan? Dan tentu saja alami tanpa pupuk maupun pestisida.
Sesampai di kampung Baduy Luar, kami lebih takjub. Melihat rumah-rumah sederhana dengan model yang seragam, rapi, dan lingkungan yang bersih. Setiap rumah memiliki tempat sampah yang seragam dari anyaman bambu. Bentuknya seperti bubu penangkap ikan yang di beri tiang agar ayam dan anjing peliharaan mereka tidak mengacak-acak sampah.
Hampir setiap rumah memiliki persediaan kayu bakar yang dipotong rapi dan tersusun rapi di sudut rumah.
Lumbung padi (leuit) berada di tempat yang terpisah dari rumah. Di seberang sungai. Lagi-lagi bentuknya seragam dan rapi serta bersih.  Baju mereka pun seragam baik model maupun warnanya. Suku Baduy Luar warna bajunya hitam dan suku Baduy Dalam berwarna putih.
Di sini tak ada aliran listrik, tak ada hingar bingar musik dari peralatan elektronik, tak ada emak-emak yang rebahan menonton sinetron, tak ada anak-anak yang heboh main game dari hp. Di sini terasa tenang dan damai. Kita seakan-akan di bawa lewat lorong waktu dan terdampar sekian ratus tahun sebelum masehi.
Kami menginap satu malam di sini di salah satu rumah penduduk asli. Mereka juga yang memasak makan malam dan sarapan kami. Urusan bayar membayar sudah diselesaikan oleh agency kami.
Tadinya saya pikir anak-anak akan mengeluh di sini. Bayangkan tak ada listrik, tak ada sinyal HP apalagi sinyal internet. Tiga hal yang tak bisa lepas dari anak milenial jaman sekarang.
Saya pikir mereka akan merengut karena tidur cuma beralaskan tikar pandan tipis, mau buang hajat atau berwudhu harus jalan kaki menuju ke sungai.
Alhamdulillah, sama sekali tidak. Bahkan mereka excited dengan segala keunikan di kampung ini.
Selama kami di sini, kami berjalan-jalan melihat pemandangan, melihat ‘teknologi’ mereka, melihat budaya mereka, seperti melihat kerajinan menenun songket, memintal benang dan lain-lain. Serta main air di sungai.
Salah satu teknologi mereka adalah membuat jembatan gantung. Tanpa semen, tanpa paku, tanpa sling baja, jembatan bambu yang mereka bangun amat kokoh. Begitu juga dengan rumah mereka. Bahkan dalam membangun rumah mereka tak dipusingkan oleh bahan bangunan dan upah tukang. Karena dalam membangun rumah mereka menggunakan bahan yang ada di alam mereka dan dibangun secara gotong royong. Keren ya?
Sungguh perjalanan ke sini sangat memperkaya bathin terutama buat anak-anak kami. Mereka bisa melihat kesederhanaan suku Baduy dan tangguhnya mereka dalam menaklukkan alam tanpa teknologi modern yang sangat memudahkan hidup dan bijaksananya mereka dalam mengelola alam.
Saya sengaja membawa mereka ke sini agar mereka bisa menjadi anak yang membumi. Mampu menikmati semua keadaan. Di bawa liburan mewah tidak norak, dibawa liburan ke tempat sederhana, tidak canggung. Dan memiliki empati kepada orang lain. Â
Semoga di lain waktu kami bisa bepergian ke belahan bumi yang lain.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”