Aku mengendarai motor di pagi buta, menembus dingin yang menusuk tulang, menuju Punthuk Setumbu, sambil mendengarkan arahan seorang wanita melalui earphone-ku.
"In five hundred meters, turn right!"
"Turn left!"
Sesekali aku berhenti untuk mengecek gawai, karena Google Maps seringkali memilih jalan alternatif yang cenderung lebih sempit. Jalanan masih sepi, hanya sesekali aku bertemu orang yang berangkat ke pasar.
Tepat ketika aku akan sampai di tujuan, ada dua orang berdiri di pinggir jalan. Mereka bertugas untuk menunjukkan arah masuk Punthuk Setumbu. Tidak lama setelah aku masuk gang, aku sudah sampai di tempat parkir. Biaya tiket masuknya yaitu sebesar Rp 20.000, sedangkan parkirnya Rp 3.000 untuk motor.
Perjalanan menuju puncak Punthuk Setumbu dari tempat parkir kira-kira 10-15 menit. Udaranya yang masih sejuk membuat langkah kaki ini tidak berat. Sepanjang perjalanan bisa ditemukan toko oleh-oleh, warung dan toilet.
Tidak banyak pengunjung yang kutemukan ketika aku sampai di puncak. Hanya ada empat sekawan laki-laki dan sepasang duo sejoli yang sedang mengabadikan sunrise lewat foto selfie.
"Wah, ini yang kucari. Sama persis seperti yang ada di foto dan bayanganku," gumamku. Aku mengelilingi panggung yang cukup luas, terbuat dari kayu dan pagar dari besi. Suasana pagi hari yang hening, udara yang sejuk dan kicauan burung-burung membuatku betah berlama-lama di sini. Segera kukeluarkan kamera DSLRku, karena kebiasaan burukku ketika terlalu menikmati suasana, aku lupa mengabadikannya lewat foto.
Kuhirup udara yang segar ini dalam-dalam. Mataku memandangi sekeliling dan pemandangan yang ada di depan mata. Borobudur yang megah terlihat kecil dari sini. Samar-samar warna putih tampak membungkus stupa Borobudur, akibat abu vulkanik dari Gunung Merapi yang sempat erupsi beberapa waktu yang lalu. Kabut putih menyelimuti pepohonan, burung-burung berterbangan, dan sang baskara yang masih malu-malu menampakkan diri menambah suasana pagi hari semakin syahdu.
Pelan tapi pasti, matahari mulai menampakkan batang hidungnya. Cahaya jingganya berubah menjadi warna kuning. Warna langit pun juga ikut berubah. Seketika semua pengunjung yang datang diam. Hening. Dua orang fotografer yang baru datang tidak menyia-nyiakan momen magis ini. Kamera yang sudah diatur dengan tripod tidak henti-hentinya mengambil gambar matahari terbit dengan segala latarnya. Aku pun juga tak mau melewatkan kesempatan ini.
Setelah puas mengambil foto sunrise dan Borobudur, aku pindah ke sisi kanan. Aku mendapati pemandangan suatu desa kecil. Tampak beberapa rumah, sawah dan pepohonan. Asap keluar dari cerobong asap salah satu rumah. “Sedang memasak” pikirku. Tampak damai dari kejauhan. Pemandangan yang sederhana ini cukup membuatku tersentuh.
Ketika berada di alam bebas, waktu cenderung terasa lambat. Asalkan gawai benar-benar disingkirkan. Seperti kebanyakan perjalananku yang lain, perjalanan ini juga membuatku merefleksikan banyak hal. Sebab pandemi Covid-19, sektor pariwisata benar-benar terpukul. Namun, di lain sisi memberikan waktu pada alam untuk memulihkan diri.
Setelah puas mengambil foto dan menikmati suasana pagi hari di Punthuk Setumbu, aku memutuskan turun. Pengunjung yang lain sudah lama pergi, meninggalkan aku sendiri di atas. Jumlah petugas yang menjaga objek wisata ini lebih banyak dibandingkan jumlah wisatawan. Mereka adalah warga kampung Kurahan, Karangrejo, yang bekerja mengelolah objek wisata Punthuk Setumbu.
Sebelum mencapai tempat parkir, aku mampir ke warung terlebih dahulu untuk sarapan. Bu Rubiyah (73) namanya, pemilik warung yang kuhampiri. Ia sudah lama berjualan di sini. Meskipun sudah menginjak usia lanjut, Bu Rubiyah tetap bugar naik-turun dari rumahnya ke warung ini. Sesekali anaknya juga ikut membantu berjualan, lebih tepatnya ketika akhir pekan.
Aku memesan mie goreng, es teh dan gorengan.
“Dingin-dingin begini minumnya es?”
“Iya, aku suka minum es. Hihihi.”
Bu Rubiyah bercerita bahwa ketika awal-awal pandemi Covid-19, Punthuk Setumbu tutup selama 4 bulan. Setelah dibuka kembali, lama kelamaan jumlah pengunjung mendekati normal. Hari biasa memang cenderung sepi, seperti hari ini. Tapi cukup ramai jika akhir pekan. Bu Rubiyah juga bercerita bahwa Minggu kemarin banyak pengunjung datang, meskipun hujan.
"Hari ini aku beruntung lagi," bisikku pada diri sendiri. Tidak hujan hari ini, padahal rencana awal, aku mengunjungi Punthuk Setumbu pada hari Minggu. Namun karena berbagai alasan, aku mengunjunginya hari ini. Aku pun tersenyum lebar, sambil menikmati mie goreng dan gorengan yang masih hangat.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”