Angin berhembus cukup kencang, mengibarkan pakaian-pakaian yang dijemur oleh orang-orang Dusun Butuh, Kaliangkrik. Tapi pakaian-pakaian tersebut tidak berterbangan, lalu jatuh ke tanah, karena gantungan bajunya cukup unik, ada teknik tambahan, sehingga pakaian-pakaiannya tidak akan lepas, walaupun diterpa angin yang cukup kencang. Aku mengambil gambar tersebut. Cuacanya cukup cerah, hingga banyak orang menjemur pakaian di depan rumahnya masing-masing.
Namanya Nepal Van Java, wisata di Magelang yang cukup populer akhir-akhir ini.
"Awalnya itu dari turis Jerman, yang mendaki ke Gunung Sumbing. Dia membawa kamera drone, merekam dusun ini. Eh, gak lama kemudian, banyak orang-orang berdatangan" jelas Mbok Yan berapi-api tentang asal mula wisata Nepal Van Java.
Mbok Yan (29) duduk di sampingku, bersama kedua temannya menunggu anak-anaknya yang sedang mengambil tugas di TK (Taman Kanak-Kanak). Ia mengaku bahwa masih sering berfoto di Teras Nepal dengan latar rumah warna-warni dengan teman-temannya, walaupun dia sendiri merupakan penduduk asli Dusun Butuh. Dia dan mayoritas penduduk Dusun Butuh bermata pencarian sebagai petani. Produk andalan Desa Butuh adalah loncang (daun bawang).
Setelah puas mengambil foto di spot Teras Nepal, aku berpamitan kepada Mbok Yan dan teman-temannya untuk keliling kampung. Tidak lengkap rasanya jika berkunjung ke Nepal Van Java tanpa mengelilingi Dusun Butuh itu sendiri. Aku melangkahkan kaki dengan pelan, aku memiliki banyak waktu. Sinar matahari masih belum terik dan cuacanya masih dingin, membuat langkah ini ringan walaupun jalannya agak mendaki.
Sepanjang perjalanan, aku bertemu dengan beberapa orang Dusun Butuh yang terus tersenyum kepadaku. Ada yang pergi ke sawah. Ada pula yang menjemur pakaian di beranda rumahnya. Aku juga menemukan beberapa mural di dinding rumah penduduk. Tidak hanya di sawah, sebagian besar penduduk juga menanam loncang menggunakan pot plastik di depan rumahnya.
Aku mengambil banyak foto. Rasanya di setiap sudut dusun ini memiliki cerita yang patut untuk diulas. Ketika aku mulai turun kembali, aku mendapati anak-anak SD yang pulang sekolah. Di masa pandemi ini, lamanya proses belajar-mengajar tidak penuh, pun setiap jenjang kelas memiliki jadwal masuk sendiri, tidak 6 hari dalam seminggu.
“Mas, mau nebeng ke bawah?” seorang laki-laki paruh baya yang mengendarai motor menawariku tumpangan. “Gratis kok!” tambahnya.
Aku menolaknya dengannya halus. “Oh, gak usah Pak. Saya masih ingin jalan kaki. Terima kasih.”
Ketika turun, aku bertemu kembali dengan Mbok Yan di pertigaan jalan. Ia dan anaknya yang sudah mengambil tugas, pulang ke rumah. Mbok Yan menawariku untuk mampir ke rumahnya. Mbok Yan tinggal berlima, bersama suami, anak, dan kedua mertuanya. Suaminya bekerja sebagai tukang bangungan, sedangkan kedua mertuanya adalah petani. Aku juga diajaknya untuk melihat-lihat sawahnya.
Kira-kira jarak rumah dan sawahnya adalah 2-3km. Iyan (5), anaknya Mbok Yan juga ikut ke sawah. Aku bertemu dengan kakek dan nenek di sawah, mertua Mbok Yan.
Selain lanskap rumah yang menyerupai pedesaan Namche Bazaar di Nepal, Nepal Van Java juga menawarkan hal yang lain. Hamparan sawah dari berbagai jenis tamaman sayuran, dengan latar belakang Gunung Sumbing yang agung. Cerita dari masyarakatnya yang ramah juga tidak kalah menarik.
Keluarga Mbok Yan menanami sawahnya dengan berbagai macam tanaman, mulai dari loncang, kubis, kentang, kembang kol dan masih banyak yang lain. Meskipun matahari sudah meninggi, angin sepoi-sepoi dan udara yang masih dingin membuatku tetap betah berlama-lama di sawah, memandangi para petani dan megahnya gunung Sumbing.
Dua orang petani tampak dari jauh sedang mencangkul. Tidak hanya rumah yang berwarna-warni, sawah pun juga tampak berwarna-warni, dengan berbagai jenis sayuran. Gradasi warna hijau yang mendominasi. Ada pula warna coklat dari sawah yang belum ditanami. Latar belakangnya adalah Gunung Sumbing, dengan awan yang menutupi bagian puncaknya, bak topi.
Pemandangan ini mengingatkanku akan salah satu mimpiku, yaitu memiliki rumah di daerah pegunungan, menghabiskan sisa hidupku sambil menjalankan berbagai macam hobiku. Minum kopi di pagi hari sambil membaca koran, selimutan di pagi hari yang dingin, jalan kaki mengelilingi desa, bercocok tanam dengan metode permakultur adalah sedikit dari sekian banyak bayanganku ketika tinggal di daerah pegunungan nantinya. Selain karena hobi dan pekerjaan, aku terus melakukan berbagai perjalanan untuk mencari rumah idaman, tempat tinggalku di kemudian hari. Tiba-tiba Magelang langsung masuk ke dalam salah satu daftar tempat yang ingin kutinggali nantinya.
Setelah puas mengambil foto dan mengobrol banyak hal dengan keluarga Mbok Yan, aku pamit pulang. Lagi-lagi aku ditawari sesuatu oleh Mbok Yan, yaitu hasil tanaman mereka. Mbok Yan dan Nenek memberikanku loncang, kubis, kentang dan kembang kol yang dimuat dalam dua kantong plastik besar. Sebagai oleh-oleh, katanya. Mereka juga mengantarkanku ke tempat parkir sepeda motor.
Mbok Yan memelukku, sambil berkata, “Kapan-kapan mampir ke sini lagi ya. Pokoknya ingat saja, rumahnya Mbok Yan di sebelah sana.”
Aku tersenyum. “Aku pasti akan ke sini lagi” bisikku pada diri sendiri.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”