Hai! Bagaimana kabarmu hari ini?
Kudengar, katanya kamu lagi bahagia sekali. Aku tau Juni ini banyak hal yang terjadi dan tahun-tahun lalu banyak pengalaman yang mengiringi. Aku harap komunikasi kita akan selalu seperti ini. Sungguh, aku mengirimimu surat hari ini karena aku sayang padamu. Tahukah kamu? Dari puluhan rasa yang kamu sediakan, aku suka mencoba mereka satu persatu diam-diam. Bukan, bukan mauku seorang. Tapi kadang hidup dan pengalaman menyuruhku jalan duluan dan mencobanya perlahan-lahan. Tapi lihatlah, kali ini pengalaman benar.
Kamu jauh lebih kuat dari sebelumnya, mereka hanya batu kerikil yang mampir dan tak lama akan tergelincir. Betulkan? Hanya rasa kecewa? Putus asa dan lainnya? Dengan bangga kukatakan..”Aku sudah pernah melewatinya”. Sepintar-pintarnya kamu, jauh lebih pintar pengalaman. Ya, dia memang guru, tapi Ia tidak pernah sekuat kamu. Ia begitu karena memang tugasnya sebagai guru, melatihmu. Tanpa kamu, aku bukan siapa-siapa. Aku akan sedatar kertas yang sama sekali tak punya rasa. Tanpa kamu, tak akan ada cerita yang akan kubagikan kepada mereka. Kamu patut diberikan penghargaan terbaik lebih dari kota yang diberikan adipura.
Tanpa kamu, aku tak akan pernah naik ke level selanjutnya, ke level-level yang masih ada lanjutannya. Kamu adalah tempat dimana aku selalu bertanya. Bahkan, kadang pertanyaan tersusah dariku pun kau jawab hanya dengan diam. Tanda setuju bahwa kamu sudah mengiyakan. Kadang memang aku terlalu cepat menyimpulkan, dan tak jarang aku mengacuhkan alarm yang kau bunyikan. Aku tahu, tak selalu ku turuti apa maumu. Kadang aku justru berlari meninggalkanmu dengan pola pikiranku. Kamu terlalu banyak mengalah dan tak jarang merasa bersalah.
Seperti halnya melihatmu dari kejauhan seperti membuat daerah pertahanan. Bertahan sampai batas yang tidak bisa ditentukan. Melihatmu dari kejauhan seperti menghadirkan suatu pertemuan tanpa kamu harus melihatku duluan. Melihatmu dari kejauhan sebenarnya hanya ingin mengurangi rinduku perlahan lahan, dan tidak membiarkan perasaan itu hilang. Dari dulu hingga sekarang, bukannya selalu begitu kan? Melihatmu dari kejauhan sambil terus mengulang kebisuan. Melihatmu dari kejauhan, itulah caraku mencintaimu diam-diam.
Ribuan orang bilang, ini suatu kesalahan. Namun, setiap rasa yang kurasakan jatuhnya lebih besar dibanding semua keraguan yang kupikirkan. Melihatmu dari kejauhan adalah caraku mencintaimu seperti Tuhan. Yang lebih banyak memperhatikan dari kejauhan, yang lebih banyak menjaga dari tempat yang tak ketahuan. Tuhan ada sama seperti aku. Hanya saja kamu belum perlu tahu keberadaanku. Mungkin karena terlalu sering memperhatikan, jadi lebih tahu tentang dirimu dibanding kamu. Melihatmu dari kejauhan kadang menyenangkan dan kadang menyedihkan.
Tapi aku selalu mengerjakannya dengan ketulusan, tanpa menyesal karena ada kerugian.
Mencintaimu seperti pergi ke dunia mimpi dan membawa banyak peri yang mengajariku belari dengan satu kaki atau menari dengan pelangi, yang tak pernah kulakukan setiap hari sebelum bertemu mimpi dan para peri. Dengan melihatmu dari kejauhan, hatiku tak pernah mau pulang. Karena disitu tempatmu seorang yang membuatku merasa terang dan nyaman. Melihatmu dari kejauhan, mungkin hanya itu sekarang yang bisa kulakukan. Tapi ketika waktu sudah penuh dengan kebisuan, dan di mana harus ada perhentian, mungkin kita akan ada di dalam suatu pertemuan yang disatukan Tuhan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”