Menyoroti berbagai permasalahan, mulai dari skor kesopanan daring yang rendah, sikap nasionalisme meluntur, budaya hedonisme dan konsumerisme mencuat, hingga parahnya kasus kenakalan dan kriminalitas remaja saat ini. Fakta jelas hadir di depan mata, menyuguhkan seonggok delima mengenai eksistensi norma yang berlaku di masyarakat. Seakan, dinamika moralitas menurun dari abad ke abad. Pemerintah tentu tidak tinggal diam, sebab generasi muda yang memegang nasib bangsa di masa mendatang. Upaya preventif terus dilakukan, tetapi mengapa kasus kebobrokan moralitas seperti ini masih terus terjadi, bahkan kian hari kian bertambah?
Akar permasalahan saling berkaitan satu sama lain, satu bagian akar tumbuh menghasilkan cabang yang lain. Seperti masalah ini, banyak faktor yang menyebabkan degradasi moral memperlebar sayapnya. Namun, keluarga, lingkungan, dan institusi pendidikanlah yang mengambil peranan paling penting dalam menunjukkan jalan insan muda bangsa.Â
Pemerintah tidak bisa berdiri di atas kaki sendiri. Seluruh lapisan masyarakat perlu bersinergi mengatasi pekerjaan rumah bangsa ini. Pun, butuh waktu yang lama untuk mengantarkan anak bangsa menuju kejayaan dengan moralitas emas. Tidak seperti cahaya yang melaju dengan kecepatan 3 x 108 m/s, perbaikan moralitas mustahil rampung dalam waktu sekejab.
Setelah menganggap agenda penutupan lubang dekadensi moral adalah program jangka panjang, upaya-upaya preventif pun tetap dilanjutkan. Institusi dan sistem pendidikan ditekankan melalui pembentukan guru yang berkualitas dan kurikulum efektif. Penguatan pendidikan karakter yang dikoar-koarkan tidak hanya digalakkan di lingkungan sekolah, tetapi juga dalam lingkungan keluarga.Â
Orang tua juga butuh pengarahan tentang eksistensi moralitas yang merosot sehingga mereka sadar, bukan hanya anak tetangga saja yang perlu dikomentari, melainkan juga anaknya sendiri.
Seandainya setiap anak mempunyai ibu peri yang menuntunnya untuk tidak berbuat salah, tentu pekerjaan ini menjadi lebih mudah. Konsep ibu peri ini mengajarkan setiap insan erat kaitannya dengan prinsip moralitas. Keluarga atau pendidik bisa mengawasi anak belia melalui kebiasaan dan tingkah lakunya.Â
Terdapat batasan tertentu, seperti jam bermain gadget, konten atau informasi yang dilihat, dan lingkungan pergaulan. Apabila anak kebablasan, teguran diperbolehkan asal tanpa kekerasan. Selain itu, feedback dari anak diperlukan untuk mengevaluasi metode teguran sesuai dengan kepribadian anak atau tidak.Â
Kebutuhan psikologis anak, utamanya ketika pandemi berbeda karena ruang gerak akan semakin sempit, sebagian dari mereka melarikan diri ke dunia maya. Di sinilah peran orang tua muncul sebagai penengah antara buah hati dengan mesin penyedia informasi alias gadget dan segala pernak-perniknya. Saat anak melakukan kesalahan berupa tindakan yang tercela, orang dewasa terdekat, terutama keluarga layak memberikan punishment dengan kadar normal.Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”