Dear, Patah Hati Terburukku. Aku Masih Rindu!

Hai, apa kabar? Kamu pasti baik-baik saja tanpaku. Aku bisa pastikan hal itu saat melihatmu lebih banyak tersenyum daripada saat bersamaku.

Advertisement

Oh ya, selamat! Telah kunobatkan kamu menjadi patah hati terburukku. Kamu patut berbangga diri karena telah menjadi ‘berarti’ dalam hidup seseorang. Meskipun semuanya telah berakhir, kamu tetaplah seseorang yang meninggalkan kesan. Buktinya sampai saat ini aku masih sempat memikirkan apapun tentangmu di sela waktu kosong. Percuma menyuruhku berhenti, karena sekuat apapun aku berusaha, hatiku masih belum bisa menerima. Harapanku mungkin akan berhenti di suatu titik yaitu waktu. Karena sejatinya waktu adalah penyembuh luka. Jadi, mari berharap hanya pada itu saja.

Aku masih rindu. Kenangan tentangmu masih saja mengisi tiap bulir hujan yang ku lihat di luar jendela. Mungkin juga tiap bulir airmata yang jatuh di pipiku. Ini tak berlebihan, karena aku hanya mengizinkan diri mengenang tentangmu sepuasnya pada saat hujan turun. Bukan, kita tak pernah punya kenangan apapun tentang hujan. Hanya saja ketika hujan aku merasa tenang dan kamu serupa minuman hangat yang datang dan sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Masih teringat jelas guratan wajahmu yang terlihat sangat riang saat tersenyum. Deretan gigi yang rapi dan mata yang menyipit benar-benar satu paket yang komplit. Senyum itu.. Esok hari mungkin masih bisa terlihat lagi. Tapi, mungkin bukan buatku, bukan karenaku. Tentu saja. Dan.. Apa kamu masih ingat pada tiap kata “cantik” yang kau lontarkan padaku tiap kali kita bertemu? Kata cantik yang menjadi alasanku balas tersenyum. Tak peduli seberapa sulitnya meluangkan waktu untuk sekedar menata rambut, memoles bibir dengan lipstik, atau menyetrika baju agar terlihat sempurna di matamu kala itu.

Advertisement

Aku melihat ke arah cermin, ada kamu disana. Tanganmu melingkar erat di pinggangku seraya berkata “Kamu cantik kalau rambutnya digulung begini.” Aku tahu senyumku mengembang setelahnya. Saat itu dan saat ini. Aku menjadi candu terhadap setiap kata “cantik” yang keluar dari bibirmu.

Kualihkan pandangan ke persimpangan jalan di luar sana. Semuanya masih sama. Aku masih bisa melihat kendaraanmu melaju dengan lambat lalu berhenti tepat di depan rumah. Ya, waktu berlalu begitu cepat. Susah untuk lupa pada perasaanku yang dag-dig-dug tak karuan saat akhirnya kulangkahkan kaki keluar dari rumah dan kita menghabiskan waktu sebanyak mungkin setelahnya.

Advertisement

Bercandaan konyol kita, perdebatan tak berujung saat memilih tempat makan atau tempat apa yang akan dituju untuk menghabiskan waktu, semuanya masih terekam dengan baik di benakku. Seperti saat ini, aku tengah memutar ulang tiap kebersamaan yang telah lalu. Bagiku, setiap detiknya terlalu berharga untuk disebut sampah masa lalu. Betapapun sulitnya aku ingin membencimu, aku akan kembali ke detik bahagia kita. Merindukan semuanya.

Kembali ku kumpulkan semuanya lewat tarikan nafas yang dalam. Merasakan aroma parfummu yang masih bisa ku cium walaupun samar. Desak pelukmu yang tenggelam dalam tiap helai rambutku seraya berbisik “Aku kangen kamu.” Serasa tak ingin lepas, satu dekap lagi, lagi, lagi.

Perjalanan panjang kita yang tak berujung, serupa hubungan yang dalam tapi tak pasti. Kita tahu kemana harus pergi, tapi terlalu takut untuk melihat ke depan. Aku pernah bilang bahwa tak ada yang terlihat jelas di mataku, tapi kau menyuruhku melihat sekali lagi, katamu disana banyak kerlap kerlip bintang, melingkar terbias pada air laut yang luas dan tenang. Romantismu yang seperti ini yang membuatku tak dapat beranjak. Aku berbaring di lenganmu, kita lagi-lagi menyusuri jalanan yang penuh lubang.

Sampai pada suatu saat kutemukan diriku tertidur sendiri. Sepi. Terbangun dengan mata sembab dan wajah kusut. Kamu tak disini lagi. Kamu bukan milikku lagi. Inilah patah hati terburukku. Setelah beberapa edisi patah hati yang tak seberapa. Aku menjadi hilang akal beberapa kali, menyalahi diri sendiri atas berakhirnya hubungan ini. Sementara fakta bahwa kau bahagia-bahagia saja disana ku abaikan. Ingin kembali? Tentu saja. Perasaanku memang begitu memalukan. Tapi inilah kejujuran. Merindukanmu juga kejujuran.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pengamat ejaan pada papan reklame. Menulis berdasarkan 20% logika, 30% imajinasi, dan 50% emosi.