Aku mungkin kuat dalam menunggu. Tapi aku sungguh lemah dalam menyimpan perasaan.
Maafkan aku yang seharusnya diam dan menanti, tetapi malah mengungkapkan yang tidak semestinya.
Aku seharusnya tetap sabar di sampingmu walau aku tahu di sekitarmu tidak hanya ada aku. Aku seharusnya tetap setia menemanimu walau aku tidak tahu sebenarnya siapa yang kamu tunggu.
Aku memahami laki-laki sepertimu banyak dikagumi perempuan, dan banyak pula yang dekat denganmu. Kamu laki-laki dewasa. Kamu baik, mandiri, menyenangkan, cerdas, dan bisa diandalkan. Tentu saja kamu pun memiliki standar tersendiri dalam memilih perempuan.
Aku tak tahu apakah aku termasuk dalam kriteria kesukaanmu. Aku hanya berusaha selalu ada di sampingmu.
Aku percaya doa yang aku gemakan akan memantul pada hatimu.
Sayangnya, sepertinya itu tidak terjadi. Saat aku tahu objek perhatianmu tidak hanya aku, kecewalah diriku.
Bukannya aku lelah mengaitkan lenganku padamu, bukannya aku jemu memendam rindu, bukannya aku letih menunggu kabarmu, bukannya aku bosan mengadu di sepertiga malamku. Hanya saja, kasihan hatiku. Dulu, jauh sekali sebelum mengenalmu, aku pernah terjatuh sebegitu dalam.
Bertahun-tahun terlewati hanya dengan memikirkan satu nama. Sayangnya nama itu memilih berpaling, dan aku harus berhenti tanpa kejelasan. Akhirnya aku terpuruk, tanpa bisa kamu bayangkan seberapa buruk. Lalu aku mengenalmu.
Kamu laki-laki kedua yang membuatku merasakan getaran yang sama. Tapi kamu yang pertama membuatku seperti ini.
Berharap bisa bersama, namun dengan melangitkan doa. Berharap menjadi yang kau pilih, namun dengan memantaskan diri. Berharap menjadi tempatmu pulang, namun dengan sujud tak terbilang. Berkali-kali aku menahan diri untuk tidak menghubungimu, dan berkali-kali aku gagal.
Berkali-kali mencoba untuk tidak mencari perhatianmu, dan berkali-kali pula aku gagal. Ini tidak seharusnya terjadi, aku seharusnya kuat, aku seharusnya menyimpannya rapat-rapat, namun tetap melayanimu dengan hebat, menemanimu dengan taat.
Dan lagi, aku gagal. Aku bukan perempuan yang tabah berada di situasi friendzone macam ini, hingga akhirnya ku beranikan diri mengungkapkan perasaanku padamu, menanyakan posisiku di hatimu.
Meskipun ku tahu, mengungkapkan sama seperti merentangkan jarak. Membangun tembok beton. Yang akhirnya akan menjadikan kita kembali asing.
Dan ketika kuterima jawaban berupa satu senyuman darimu, hanya satu senyuman, remuk redam asaku. Ku pastikan lagi dengan menjelaskan maksudku, berharap kamu paham aku tidak nyaman menjadi satu di antara sekian teman dekatmu dan ingin menjadi satu untukmu, namun kamu memilih berpaling.
Memilih melepaskan genggaman yang sejak awal sudah aku sisipkan perlahan. Baiklah, maafkan aku yang egois memilih mundur, tak mampu menyimpan perasaan, dan memilih menyelamatkan hatiku sendiri. Namun ini cara terbaik agar aku tak terjatuh lagi dalam keterpurukan, karena kamu tak kunjung memberi kejelasan, atau bahkan pelukan menenangkan.
Kamu mungkin tak merasa kehilangan, karena aku hanya satu dari sekian.
Sedangkan aku merasakan sedihnya perpisahan, karena kamu satu yang ku pilih dari sekian.
Tak apa, aku baik-baik saja. Kelak jika kita bertemu di perjalanan, sempatkan menoleh padaku. Karna aku akan kembali tersenyum padamu. Dengan ikhlas, tulus, dan hangat. Terima kasih. Ade berdoa yang baik-baik buat kaka, :)
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”