Memasuki usia ke-19 pada tahun lalu merupakan pengalaman yang berbeda dalam hidupku. Ya, untuk pertama kalinya merantau ke kota yang jauh dari kota asalku, yaitu di Kota Surakarta. 29 Januari 2021 aku menginjakkan kakiku di Surakarta dan memulai fase baru dalam hidupku.
Ya, fase yang benar-benar baru dalam hidupku, karena seumur hidupku aku tak pernah mondok, sekolahku mulai dari SD, SMP, dan SMA semuanya di dekat rumah, jadi sangat tidak memungkinkan bagiku untuk mempunyai pengalaman merantau.
Nah, awal tahun lalu aku keadaannya memang sudah kuliah, namun pembelajaran masih dilakukan secara daring. Lalu kenapa aku tetap berangkat merantau walaupun perkuliahan masih dilaksanakan  secara daring?
Hal ini karena aku mendapat amanah dari ustaz yang memberiku tempat tinggal gratis selama di Surakarta. Tugasnya yaitu aku harus menempati Rumah Tahsin yang biasa ia gunakan untuk mengajar. Tidak hanya mengajar, aku juga diamanahi untuk membersihkan Rumah Tahsin setiap mau ada kegiatan.Â
Yah kegiatan yang aku lakukan mirip-mirip seperti marbot. Tapi aku tetap berusaha menjalankan tugasku dengan sebaik-baiknya. Disini aku tidak sendiri, aku tinggal berdua bersama dengan teman kampus. Informasi tambahan, temanku inilah yang menawariku untuk tinggal di Rumah Tahsin, sehingga aku bisa tinggal di tempat yang gratis hingga sekarang.
Pada hari pertama aku tinggal di Rumah Tahsin aku tentu sangat canggung karena harus tidur sekamar dengan orang yang sebelumnya hanya bertemu secara virtual dan baru bertemu pertama kali pada hari itu juga. Itu merupakan pengalaman yang tak terlupakan bagiku. Hari-hari berikutnya aku sudah lebih enjoy.
Pada pekan-pekan pertama perasaan homesick tentu ada karena merantau sama dengan meninggalkan zona nyaman. Jika sebelumnya di rumah ada kamar pribadi, kini harus berbagi. Sebelumnya makan sudah disediakan, kini harus masak sendiri atau nyari makan di luar. Sebelumnya baju ada yang mencucikan, kini harus mencuci baju sendiri.
Jujur aku akui pada saat itu aku merasa keberatan, bawaannya ingin pulang. Tapi dari hal itu aku jadi belajar ternyata ini toh yang dirasakan  ibuku setiap hari selama puluhan tahun, dan ia tak mengeluh di hadapan anak-anaknya selama ini. Tentu aku yang baru sebentar belajar merantau ini tentu lebih tidak layak untuk mengeluh.
Lalu soal makan. Di perantauan ini aku memang diberikan uang saku yang bisa dibilang standar bagi diriku, yaitu sebesar lima ratus sampai enam ratus ribu sebulan. Aku bebas menggunakan uang itu selama di perantauan.
Namun aku segera tersadar bahwa biaya makan di Solo tak semurah yang kukira. Setidaknya perlu 20 ribuan sehari jika sarapan, makan siang, dan makan malam di luar. Kalo masak  nasi sendiri bisa jadi lebih murah, 10 ribu sehari bisa. Pagi masak nasi, beli lauk 6 biji, sayur empat ribu bisa tuh tahan sampai malam, asal rajin aja ngangetin makanan.
Dari perkara makan-makan di perantauan ini aku jadi tahu kenapa orang tuaku dulu sering mengingatkanku agar jangan  terlalu sering jajan di luar, selain tidak sehat, sering jajan di luar ternyata boros juga. Aku pun jadi belajar untuk memanajemen mana keinginan dan mana yang kebutuhan.
Aku belajar mengatur keuangan agar bisa bertahan sampai akhir bulan, sehingga aku tidak membebani orang tuaku karena kehabisan uang di tengah bulan. Oh ya, sebelumnya di atas aku sudah menyebutkan bahwa aku adalah marbot di Rumah Tahsin.
Sebagai marbot tentu waktuku lebih banyak kuhabiskan di rumah karena banyak kajian yang dilakukan di tempat ini, dengan begitu aku tidak punya banyak waktu jika di luar. Aku awalnya agak kecewa dengan situasi seperti ini, karena dulu dalam bayanganku ketika aku merantau nanti aku bisa pergi kemana pun dan kapan pun sesuai dengan keingnanku.
Namun setelah tinggal beberapa waktu di tempat ini aku dipertemukan dengan orang-orang baik, dilibatkan dalam kegiatan yang bermanfaat, dan juga manfaat-manfaat lainnya. Aku yang tadinya tidak terlalu suka dengan situasinya, lama-lama mulai nyaman dan terbiasa.
Dari sini aku belajar bahwa hidup tidak hanya soal senang-senang saja. Kadang kita harus membiasakan diri dengan sesuatu yang tidak kita sukai. Awalnya memang tidak nyaman, namun seiring dengan berjalannya waktu kita pasti akan terbiasa juga.
Setelah satu tahun hidup sebagai perantau aku jadi paham bahwa merantau termasuk fase yang kita alami untuk membentuk diri menjadi lebih dewasa, karena baik buruknya kita, sehat atau sakitnya kita, senang atau sedihnya kita di perantauan adalah hasil dari keputusan dan tindakan kita sendiri, dan begitulah yang disebut dengan proses pendewasaan diri.
Dari tulisan ini aku harap tak hanya berisi pengalamanku saja namun juga bisa memberi manfaat dan juga dorongan semangat bagi SoHip lainnya, terkhusus Sobat Hipwee yang sedang merantau.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”