Mungkin kita terlihat rukun, tapi semua sulit dijelaskan; untuk kita yang berbeda prinsip. Dulu aku merasa kita tak terpisahkan. Bagai gula dan semut. Tapi kini aku sadar, bahkan semut pun kadang kecolongan. Ada saat-saat di mana semut tidak mendapatkan harta karunnya. Atau ada pula momen di mana sang Empunya sengaja memisahkan mereka, entah dengan kapur barus atau air. Begitu pula kita, yang kian lama kian tak sejalan.
Aku tahu komitmen adalah janji keramat yang tak bisa sembarang diucapkan. Tapi di sisi lain aku juga sadar bahwa cinta itu buta, dan saat itu mungkin aku terbutakan. Bagiku, bersamamu terlalu memaksakan kehendak. Semua terasa sulit. Ada banyak sangsi dari orang di sekelilingku, yang sedikit banyak menggoyahkan komitmenku padamu.
Kamu tahu apa yang kulakukan? Aku berusaha menyangkalnya. Jangan kira semudah itu aku meragukanmu, karena aku tahu kamu, dan mereka tidak. Tapi di lain sisi, aku juga menyadari bahwa ini adalah cara Tuhan menegurku.
Aku percaya Tuhan tak akan ingkar janji. Pun aku percaya bahwa Tuhan tak pernah lelah memberikan fatwa. Aku tak mau bandel lagi padaNya.
Perpisahan terlalu pilu, tapi harus terjadi. Semenjak saat itu, aku punya begitu banyak waktu untuk terluka. Aku punya banyak malam dan hari-hari yang harus ku tangani. Ketahuilah, menahan sepi tanpa tangis amatlah sulit. Sepi adalah waktu-waktu di mana aku berperang melawan perih. Saat itu pula luka akan meronta berkali-kali lipat lebih gila. Terlebih malam.
Malam terlalu panjang untuk terus menerus menyabarkan diri. Bahkan berdoa tak pernah terasa cukup. Kerjaanku semalam suntuk hanya menyeka tangis – menepuk dada – mengambil tisu, begitu seterusnya.Â
Intinya aku tak menyesalkan komitmen itu. Hanya saja cinta kita memang riskan dan merupakan kebodohanku telah membiarkan dirimu masuk dalam kehidupanku. Kalau saja aku bisa lebih sedikit bersabar pada waktu itu.
Kini kurasa, aku tak akan pernah sepenuhnya pulih. Luka itu masih menganga, bahkan hingga detik ini. Kamu mungkin tak tahu seberapa keras aku berusaha agar tangis ini tak menjadi raungan, agar tak ada satu pun orang yang mendengar. Atau agar bagaimana orang tak memandangmu ganjil atas perpisahan ini.
Jika kamu melihatku sudah banyak tersenyum, sejujurnya aku yang sekarang adalah hasil dari berpuluh-puluh kali penguatan yang kukumpulkan selama bertahun-tahun lamanya. Luka hati tak pernah sembuh seinstan itu.
Di dalamku ada hati yang terlalu ragu untuk membangun komitmen kembali, dengan hati yang lain, dengan identitas yang lain. Aku masih belum tahu kepada siapa hati ini akan kembali berlabuh. Aku bagai kapal yang terpontang-panting melawan ombak. Aku masih saja kewalahan. Pun aku masih belum tahu kapan hati ini siap berlabuh. Aku harap akan ada perempuan lain yang bisa menata kembali semua kekacauan yang pernah ku buat.Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”