Diawali dengan perjuangan yang menyakitkan untuk mendapatkan, bersusah payah bertahan, sempat menyerah untuk memperjuangkan semuanya. Hingga suatu ketika kau mampu membuka hati, membiarkanku masuk. Melukiskan bahagia pada tiap cerita, meski sesekali kita berselisih paham dan harus saling terdiam. Menunggu rindu yang datang untuk memulai kembali "bahagia".
Ya, tiap hari jarak menjadi suatu hal yang kita benci, karena rindu kerap datang tanpa henti. Dan pertemuan ialah kesempatan dimana kita berebut untuk saling menenangkan. Kau selalu cemberut ketika aku pamit karena malam telah larut atau teori yang harus aku cari, segera pamit pulang untuk kembali menenangkan rindu, setelah motor dinyalakan rindu bercahaya dari tatap nanarmu melepaskanku pergi, untuk nanti datang menemui.
Hanya sementara kita tak berjumpa, sebelum rengekanmu membangunkanku untuk lekas menemui, lagi. Hujan, gelap, kadang badai yang disertai petir mewarnai perjalananku hanya untuk bisa melihatmu tersenyum. Kita sempat merencanakan semuanya, kau berjanji untuk menungguku hingga nanti aku bisa untuk menikahimu, mengarungi hidup denganmu hingga maut yang akhirnya akan memisahkan, membicarakn tentang resepsi dan hal lain yang bukan perihal nyeri.
Semua memang hanya rencana, sebelum sadar. Jika waktu, bisa saja menjadi orang ketika yang akan memisahkan kita. Menjadikan kita saling terluka. Dulu, kau menjadi seorang yg selalu ingin aku bahagiakan, aku harus berpikir untuk mencari tema perbincangan kita melalu udara agar bisa mendengarmu tertawa, lalu terdiam hingga tertidur dengan suara nafas yang berisik.
Lantunan selamat pagi kau kirim setiap aku masih dalam keadaan bermimpi, membuatku tersadar kau adalah orang yang membuatku ingin bersemangat mengarungi hari. Ketika berjauhan kita saling mengkhawatirkan. Ya, aku akan selalu merindukan hari dimana kita tak harus diingatkan perihal kepergian, tak harus membuat dada kita sesak, lantas kemudian kau terisak karena menyesali yang memang sudah seharusnya terjadi.
Hingga saatnya tiba, kau mulai seringkali membahas untuk segera lekas melamarmu buru-buru, desakan dari orang tuamu perlahan membuat kita menjadi dua orang yang rentan menghadapi pertikaian. Keegoisan yang akhirnya saling kita tunjukan. Dan tepat di tanggal 4 Februari tanpa sebab yang jelas, kau mengirimi sebuah pesan menyatakan "kita, udahan" kau berkata "aku selama ini tak pernah memperjuangkan, kau merasa semua tanpa kepastian, aku berjuang sendirian" ucapmu dengan emosi yang telah mencapai puncaknya.
Kau memutuskan buru-buru mencari pengganti, mengizinkan ia masuk untuk mewujudkan semua yang selama ini sangat kau ingini. Membiarkan ia memakaikan cincin di jemarimu, membawamu mengenali keluarganya. Dan tanpa tahu perasaanku, kau pergi berdua membuat surat undangan pernikahan. Melupakan begitu saja semua yang pernah sama-sama kita korbankan untuk sesuatu yang kita anggap akan membahagiakan.
Kepedihan yang kini aku atau mungkin kau rasakan, aku dipaksa diam dan tak harus lagi tahu tentang kabarmu. Dan mungkin sebaliknya. Kita dipaksa menjadi asing, yang sebelumnya sama ingin saling bising, tak apa. Kelak, kita akan kembali biasa saja. Melupakan semuanya, dengan perasaan yang benar baik-baik saja. Tanpa perlu lagi berpura-pura merasa bahagia. Karena bahagia nyata telah nampak di depan mata.
Semoga kau bahagia dengan pilihan terbaikmu, tak perlu lagi menjatuhkan air mata. Tak perlu lagi menunjukan penyesalamln. Kau layak bahagia, meski dengan orang yang berbeda.
Kita memutuskan pergi, dengan perasaan yang masih saling mencintai.
"Kau berikrar berjanji untuk sehidup hingga mati, dengan pilihan terbaikmu
Melepaskan kita, yang sempat meronta tidak ingin dulu tiada.
Tapi waktu, tak pernah setuju. Dengan gagah membawamu bergegas melupakanku.
Di sini, sepi mulai hadir. Temani hari-hari yang penuh haru dan nyeri.
Malam yang mengembalikan kepedihan begitu terasa mengerikan ketika terbayangkan".
Dan untuk saat ini kekuatan terbaik ialah datang ke pernikahan orang yang paling dan masih sangat dicintai, meminta maaf pada ibunya, bersalaman di pelaminam, mengucapkan selamat di hari bahagia. Meski, terbata. Ibunya berkata dengan menahan airmata "maafkan, dan tetap sabar. Bukan jodohnya, sudah takdirnya" *dalam bahasa sunda
Sebelum datang, batin berdebat apakah kaki akan kuat melangkah, atau hanya bisa sampai pada depan rumahnya saja. Tapi, keinginan untuk melihatnya sekali lagi, akhirnya mampu menguatkan berjalan.
Selesai bersalaman dan berpamitan, kemudian ibunya menarik untuk jangan buru-buru pergi, menawari makan. Tapi aku menolaknya karena tak ingin menahan pedih terlalu lama, "Jangankan makan bu, megang rokok saja aku gemetaran" Menahan pedih menyaksikan dia duduk berdua. Memalingkan muka, sambil sesekali mengusap air mata.
Ibunya menyuruhku menunggu karena ada bingkisan pernikahan yang akan diberikan. Sambil menunggu ibunya masuk aku memperhatikan ia yang sudah bukan miliku lagi, dia tak ingin lagi menoleh karena kutau dia juga menahan sesak yang sama. Dia menundukan kepala, menahan air mata yang sudah ingin tumpah. Menghapus senyum kebahagiaan yang harusnya ia pamerkan pada semua orang.
Kini, semuanya telah hilang, benar-benar hilang. Kabarmu sudah bukan lagi yang harus aku tunggu, kau telah sangat sibuk menikmati semuanya dengan suamimu. Tak ada lagi aku dihari-harimu, tak harus lagi bertanya "lagi apa? Lagi di mana? Sudah makan apa belum?" Dan hal engga penting lain yang membuat bahagia pada masanya.
Kepergianmu begitu menghancurkanku, membuatku selalu terjaga lebih lama, kantuk yang tiba terhempas begitu saja dengan perasaan nyeri yang terjadi tiap detik, setiap hari ketika aku dipaksa membayangkanmu berdua dengan suamimu. Ya, inilah aku sekarang, berusaha melawan segala kepedihan setelah ditinggalkan. Kebiasaan kita dulu, terpaksa dilenyapkan.
Kadang aku ingin menyapa dan bertanya? Apa kau sudah bahagia? Sudah bisa lupakan semuanya? Makan berduanya enak? Tidur berduanya nyenyak? Gimana rasanya mandi pagi-pagi bangetnya? Dingin? Pertanyaan-pertanyaan konyol yang tak akan pernah terjawab selamanya.
Aku tahu, semuanya perlu waktu sebelum aku benar-benar mampu untuk biasa saja ketika mengingatmu. Namun, rasa pedih sekarang memang harus tetap aku hadapi dan jalani sendiri, tanpa teman yang mampu mengerti, aku tak ingin buru-buru mendekati wanita manapun, karena aku yakin untuk sembuh itu butuh waktu, bukan buru-buru mencari pengganti.
Kata orang, puncak rindu itu ketika dua orang tak saling sms, chat, telepon dan lain-lain. Tetapi keduanya diam-diam masih saling mendoakan. Paling tidak, sebelum semua ini terjadi kita pernah bertahan untuk tak saling meninggalkan. Dan sekarang aku sadar, tidak semua kisah akan berujung indah, beberapa perjuangan memang harus berakhir dengan ditinggal nikah. Dan aku pun turut mendoakan, semoga sakinnah, mawadah, warohmah.Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”