Fenomena naiknya angka perceraian di sejumlah negara, sempat bikin aku bergidik. Pernikahan yang sakral dan tidak main-main saja bisa dengan mudah pisah sejak pandemi dan situasi ini dapat semakin diperparah oleh stress dan kecemasan terkait pandemi.
Penyebab angka perceraian itu meningkat, karena mereka terlalu lama di rumah, yang pada akhirnya mengakibatkan mereka berdebat, sering bertengkar, kemudian berpisah. Awalnya aku merasa tidak bisa membayangkan ada di posisi itu, hingga pada akhirnya aku terlibat menjadi salah satu dari mereka, walau hanya sekadar simulasi kecil-kecilan, yaitu pacaran.
Iya, hubunganku bersama dia baru saja putus setelah menjalaninya selama kurang lebih dua tahun. Sebenarnya, ini murni hanya kesalahan komunikasi saja. Namun, aku bingung bagaimana menjelaskan kepadanya.
Pacarku, ralat mantan pacarku ini seakan tidak bisa berhenti menaruh curiga pada salah satu orang temanku. Ia berkata bahwa aku telah mengkhianati kepercayaannya. Aku membela diriku, jika aku hanya berteman tidak punya interaksi berlebihan dan tidak ada perasaan.
Aku pun masih memegang keyakinan bahwa aku tidak selingkuh. Alhasil yang tersisa hanyalah lidah kelu dan helaan nafas panjang sebagai pengantar pesan maaf yang menjelma menjadi ucapan selamat malam yang aku kirimkan tanpa protes, walau aku sadar kontakku telah diblokir olehnya.
Bisa dikatakan, dengan aku tidak memberikan pembelaan atas tuduhannya, aku telah menjadi seorang yang naif dengan mempersilakan diriku begitu percaya diri dan mensugesti bahwa hubungan kita akan segera diperbaiki, aku menatap nanar layar ponsel dan berbicara pada diri sendiri mungkin saja ia hanya emosi.
Tapi, akan menjadi berbeda ketika ekspetasi berbanding pada realita, kan? Kamu tahu artinya apa? Ya, kecewa. Aku menaruh sebuah penyangkalan terhadap duniaku sendiri dan berakhir pada ketidakmampuanku membendung perasan sedih ketika ia sudah tidak peduli apa yang terjadi. Dan disinilah aku. Menjadi mahasiswa tingkat 5 yang berdiam diri di rumah, tidak bisa kemana-mana dan pilihannya hanya menyimbukkan diri dengan pekerjaan yang ada sambil menambah deret kesedihanku di umur ke 20 tahun ini.
Umur bertambah, bukan berarti aku otomatis berubah menjadi dewasa yang siap menerima apa saja, kan? Aku belum menjadi dewasa yang dapat berlapang dada pada setiap kisah suka duka atas perjalanan yang ada.
Tentunya, sejak insiden aku diputuskan setelah hari ulang tahunku, aku marah besar kepada diriku dan dirinya. Â Mengapa aku diputuskan pada saat pandemi? Aku pikir, ini adalah situasi yang sangat buruk, hubungan kami putus dengan cara tidak benar. Ibuku bilang mantan minta putus karena dia sedang tertekan. Corona sangat memukul kegiatan yang sudah ia agendakan. Tapi, aku rasa kami akan tetap putus, tak peduli apa alasannya. Dia memang sudah meragukan hubungan kami, jadi corona bukan penyebabnya.
Putus di tengah pandemi itu menyebalkan. Aku merasa sangat kesepian dan kehilangan. Hal ini diperparah dengan kondisiku yang ada dalam masa tekanan pekerjaan dari klien agar sesuai harapan serta cari cara bagaimana aku mengobati patah hati jika terjebak di dalam rumah.
Kalau banyak orang beranggapan, putus di tengah pandemi memberikan banyak hikmah, seperti mendapatkan banyak waktu untuk menyibukkan diri dengan membaca puisi, mencoba resep masakan atau mempelajari alat musik baru, itu sangat tidak berlaku untukku.
Aku yakin, nasihat tersebut sangat tidak pas untukku. Karena, aku bekerja di kreatif agensi yang melayani social media management. Itu berarti, mau tidak mau aku tidak bisa deactive Instagram dan aku harus berusaha sangat keras untuk tidak tergoda melihat profil mantan pacarku yang beberapa kali akunnya muncul di linimasaku.
Tidak hanya itu, putus di tengah pandemi juga menyiksaku, selain aku tidak menyukai chemistry yang seakan dipaksakan bersama klien pada saat rapat virtual melalui Whatsapp Group, hal lainnya pun menuntut aku untuk berdamai pada kenyataan bahwa nama kontaknya masih aku sematkan di bagian pertama sebagai bentuk ia adalah prioritasku.
Semua pertanyaan yang ada dalam pikiranku, harus aku simpan dalam-dalam, sebab aku tidak ingin membuat diriku konyol. Aku pun sangat mengetahui diriku, jika aku berani untuk menenggelamkan diri hanya untuk memuaskan rasa penasaran, dapat dipastikan aku hanya akan berakhir dengan menatap tembok dari pagi hingga petang dan menunda semua pekerjaan.
Padahal, dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat ingin tahu, apa yang saat ini dirasakan oleh pacarku? Apakah ia merasakan kesulitan? Apakah hari ini ia bekerja terlalu keras hingga tidak sempat makan? Apakah ada cerita lucu di tempat KKN? Dan pertanyaan terakhir, apakah ia masih mencintaiku?
Putus di tengah pandemi saat ini, membuat aku merasa benar-benar merasa tertekan, aku sangat ingin keluar rumah, pergi ke coffeshop, duduk berjam-jam sambil menikmati menu non-coffee yang disediakan supaya rasa kecewa di dada hilang, harus mampu aku tahan. Sebab, aku juga masih merasa takut pergi keluar rumah, karena peluang aku terpapar virus akan sangat besar.
Aku saat menulis ini sangatlah hancur, impian-impian yang sempat kami rajut, seakan sudah pasti menjadi daftar perjalanan diri masing-masing. Impian kami untuk penelitian, mengikuti berbagai macam perlombaan, menjadi pendampingnya saat wisuda, janji antara aku dan dia untuk berhenti melakukan pencarian cinta, juga seakan sirna. Tapi, aku berjanji pada diriku bahwa aku akan melaksanakannya bersama dirinya yang lain, entah itu berwujud temanku atau rasa sepiku.
Bagian terpentingnya adalah, the life must go on. Do the best. Hahaha, lagi-lagi itu kalimat yang aku ucapkan kepadanya. Aku sangat ingin cepat-cepat move on, tapi waktu seakan berhenti. Aku khawatir sakit hatiku baru bisa diobati setelah dunia kembali normal.
Memang sudah saatnya, aku harus belajar melewati patah hatiku tanpa adanya pengalih perhatian.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”