Saya dapat menemukan sebuah paradoks ketika kita melakukan perjalanan. Pada awalnya kita melakukan hal tersebut agar dapat kehilangan diri kita sendiri, dan kembali menemukannya. Terkadang kita tidak tahu hal apa yang telah hilang dari diri sendiri. Berada jauh dari rumah dan bertemu dengan orang dan suasana baru untuk sesaat dapat membantu kita berefleksi mengenai kehidupan. Jadi, pada dasarnya kita melakukan perjalanan untuk menjadi muda lagi—untuk memperlambat waktu dan jatuh cinta sekali lagi.
Dapat saya katakan bahwa di setiap perjalanan yang saya lakukan, saya telah kehilangan diri saya beberapa kali. Tidak secara fisik, tapi lebih ke arah jiwa. Singkat cerita, saya tidak menjadi diri saya sendiri. Mungkin tidak sepenuhnya hilang, hanya sebagian saja. Namun hal ini menjadi lucu bagi saya karena setiap saya merasa ada yang hilang, saya selalu menemukan bagian yang hilang tersebut ketika saya melihat matahari yang terbenam di pantai. Atau bahkan ketika sedang berkontemplasi di bawah guyuran bintang di langit. Saya rasa ada sesuatu yang luar biasa dengan pantai, laut, dan suasana di sekitarnya. Atau dengan melakukan percakapan internal dengan diri sendiri pun terkadang juga cukup.
Memang terdengar klise, saya tahu. Tapi, hasil dari penemuan sebagian diri saya yang hilang adalah yang membuat saya berada di keadaan sekarang. Penemuan itu telah membentuk diri saya dengan baik. Dan saya sangat bersyukur akan hal tersebut.
***
Ketika itu saya sedang terduduk sendirian di pinggir pantai sambil menunggu matahari terbenam dengan sempurna. Angin yang berhembus sepoi-sepoi menambah ketentraman hati saya.Tiba-tiba saja, seorang sahabat saya dari kecil datang menghampiri, meninggalkan kerumunan teman-teman kami di belakang sana yang sedang bercanda gurau. Seketika saya teringat sesuatu tentang dirinya. Arus memori yang dengan deras mengalir membuat saya akhirnya melontarkan pertanyaan kepadanya.
“Saya teringat waktu itu kamu memiliki rencana untuk hilang di tengah-tengah gunung yang sedang kamu daki,” kata saya.
Saya ingat betul hari itu. Ketika saya sedang berada di dalam bus, sedang pergi menuju ke suatu tempat, tiba-tiba saja namanya muncul di notifikasi telepon genggam saya. Sebuah email darinya yang saya anggap cukup aneh karena kami tidak pernah saling mengirim email kecuali karena urusan pekerjaan. Tetapi toh saya tetap memaksakan diri untuk membuka dan membaca emailnya di tengah-tengah perasaan bingung meskipun sebenarnya saya tidak suka membaca saat berada di kendaraan yang sedang bergerak.
Saya membaca emailnya berkali-kali dan seketika kehilangan kata-kata. Emailnya cukup panjang dan kompleks. Satu hal yang saya tahu: kemungkinan ia merasa depresi. Tidak sebegitu parah, tapi bisa mengarah ke sana. Dua paragraph terakhirnya terus menghantui saya seperti dikejar oleh bayangan sendiri.
“Kalau saya tidak kembali, hanya untuk berjaga-jaga, saya meninggalkan uang di dalam sebuah boks yang berada di kamar saya.
Tapi. Tapi jika saya kembali, mungkin dalam 4 hari atau lebih, tolong jangan lihat saya sebagai orang yang berbeda. Mohon lihat saya sebagai orang normal yang mencoba untuk bertahan hidup di dunia ini.”
Kenyataannya ia telah merencanakan hal ini dengan amat baik. Tapi ia telah menaruh saya di dalam posisi yang berbahaya; satu-satunya orang yang tahu ia ke mana dan mau melakukan hal apa adalah saya seorang. Bahkan ia memohon agar saya tidak membocorkan hal ini kepada siapapun. Lalu bagaimana jika ia benar-benar menghilang dan semua orang tahu kalau selama ini saya menyimpan informasi mengenai rencananya? Mereka akan mulai menyalahkan saya pastinya, “Mengapa kamu tidak memberi tahukan kami dari awal?” “Mengapa kamu tidak berbicara apa-apa?” “Mengapa kamu tidak menghentikannya?” dan lain-lain.
Namun apa yang bisa saya lakukan jika itu memang keputusannya? Akhirnya saya memutuskan untuk diam dan membalas emailnya. Saya menuliskan bahwa ia membutuhkan bantuan dan dengan menghilang bukan satu-satunya pilihan yang ada. Ayo, pulang, saya mencoba mempersuasinya. Saya berdoa mudah-mudahan saja ia belum mematikan telepon genggamnya dan masih bisa membaca balasan saya sebelum ia mulai mendaki salah satu gunung berapi tertinggi di Indonesia.
***
Sangat melegakan melihatnya sekarang berada di samping saya. Lebih melegakan lagi ketika saya tahu ia sudah berada di rumah setelah hilang kontak lebih dari 4 hari. Saya harap ia sudah menemukan hal yang perlu ia temukan kembali.
***
Ketika mendengar lontaran kalimat saya, ia hanya tersenyum pahit. Tapi saya harus tahu ada kisah apa dibalik rencana untuk menghilang tersebut. Saya perlu tahu. Persahabatan antara saya dan dia yang sudah terjalin selama 18 tahun membuat kami memiliki koneksi yang cukup kuat. Mungkin karena hal itulah ia memilih saya menjadi orang yang satu-satunya tahu tentang rencananya. Mungkin setidaknya harus ada satu orang yang pantas tahu.
Ditemani suara deburan ombak dan udara yang menghembuskan rasa asin air laut, saya mulai bertanya kepadanya, “Saya sangat terkejut ketika menerima email darimu saat itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Ada alasan apa di balik rencanamu untuk mendaki gunung dan berniatan untuk hilang di sana?”
“Saya tahu hal itu cukup mengejutkan. Tapi saya pikir akan selalu ada satu waktu di kehidupan orang-orang di mana mereka telah mencapai suatu batasan, dan mereka tidak bisa pergi lebih jauh lagi. Saya berada di posisi itu. Saya mengalami masa yang cukup sulit. Ada satu hal yang membuat saya yakin kalau saya tidak memiliki umur panjang, dan itu membuat saya menjadi khawatir. Saya merasa belum memiliki pencapaian apapun, saya takut hidup saya akan sia-sia.”
Keheningan menyelimuti kami sejenak. Lalu ia meneruskan, “Apa yang saya harapkan untuk ditemukan kembali, adalah sesuatu yang besar dan signifikan mengenai hidup saya. Jika memang benar, kalau saya tidak berumur panjang, saya perlu menemukan suatu hal; suatu jaminan kalau hidup saya tidak akan sia-sia. Saya mengatakan hal ini kepada diri sendiri, bahwa saya akan menemukannya apa pun dan ke mana pun saya akan diarahkan oleh semesta.”
Saya mencoba menyerap semua informasi tersebut. Takut hanya menjadi orang yang sia-sia? tanya saya dalam hati. Padahal ia adalah salah satu orang yang pandai dan sejauh ini telah menjalani hidupnya dengan baik. Lalu saya bertanya, “Tapi mengapa kamu memutuskan untuk pergi sendiri? Padahal kamu tidak lebih dari seorang pemula dalam hal pendakian. Apakah kamu tidak takut?”
Sambil bermain-main dengan pasir di genggamannya, ia menjawab, “Bukannya tidak ada orang yang bisa saya ajak. Tapi ide untuk pergi sendiri, mencari tahu apa yang terjadi kepada diri saya, melakukan percakapan internal dengan diri sendiri, terlihat lebih baik. Meskipun perjalanan ini terlihat sangat menantang, tanpa ada yang menemani, saya menemukan keberanian dari titik terlemah dalam hidup saya.”
“Apakah kamu menemukan hal yang perlu kamu temukan kembali?”
Ia tersenyum simpul, masih bermain-main dengan pasir. Dengan suara pelan ia menjawab, “Iya, saya menemukannya. Tapi hal-hal yang saya temukan bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa hanya sekedar pengingat tentang mengapa dan bagaimana saya harus menjalani hidup…”
Kemudian saya mengajaknya berdiri dan berjalan-jalan menyusuri garis pantai sebelum matahari benar-benar terbenam. Sesekali kami memungut kerang yang berbentuk unik dan memiliki warna menarik. Saya melontarkan satu pertanyaan lagi kepadanya sembari kami berjalan, “Apakah ada momen di mana kamu merasa ingin menyerah? Seperti pikiran kalau kamu sudah tidak sanggup menyelesaikan pendakian tersebut?”
“Ada. Namun hal itu terjadi ketika saya hendak turun dari puncak. Tiba-tiba saja hujan turun dan saya baru saja sampai di pos pertama, belum makan dari siang. Tubuh saya mulai melemah, pundak dan lutut saya terasa nyeri. Saya merasa seperti sedang diuji,” katanya sambil tertawa sarkastik. “Kacamata saya berembun sehingga tidak bisa melihat jalur di depan dengan jelas. Saya jatuh dan terluka berkali-kali. Untungnya, ada seorang pendaki handal lainnya yang secara terus-menerus mengingatkan saya untuk berjalan perlahan dan pasti. Saya menyuruhnya untuk mendahului saya, tapi ia tetap bertahan di samping saya, menolak untuk meninggalkan saya di belakang. Hanya ada kamu berdua dan hutan yang lebat ditambah guyuran hujan deras. Tidak dapat saya bayangkan kalau tidak ada pendaki tersebut, pasti saya akan lebih memilih untuk berhenti sampai malam dan tidak tahu mau ke mana.”
Tiba-tiba langkah kakinya berhentu dan ia menghirup udara laut dalam-dalam. “Pada akhirnya saya berhasil mengatasi segala rasa sakit, delusi, dan berhasil kembali ke bawah, dipenuhi dengan berbagai macam perasaan.”
Kami bertatapan sejenak dan senyuman merekah dari kedua bibir kamu. Hal itulah yang ia cari. Saya sangat senang ketika tahu dan sadar bahwa ia menemukan kembali sebagian dirinya yang hilang. Mungkin memang tidak sepenuhnya karena usaha sendiri, tapi juga karena ada orang lain yang setia di sampingnya selama ia mengalami kesulitan di dalam perjalananya.
***
Setelah langit mulai gelap dan bintang-bintang mulai menampakkan dirinya di langit, kami memutuskan untuk kembali ke gerombolan teman-teman kami. Seperti yang sudah saya duga, saya tidak melihatnya sebagai orang yang berbeda. Saya melihatkan sebagai orang normal yang mencoba bertahan hidup di dunia ini.
***
“Hanya karena seseorang tersandung dan kehilangan arah, tidak berarti mereka hilang selamanya. Kadang-kadang kita membutuhan sebuah bantuan.”
(Profesor X – X-Men: Days of Future Past)
bisa berupa cerita pendek ya?