Apa artinya kesibukan kalau tidak bisa kita nikmati ?
Apa artinya pekerjaan bergengsi jika kita tidak pernah mensyukuri ?
Apa artinya kehidupan ini jika fase hanya terlewati tanpa bisa memaknai ?
Apa artinya kesuksesan jika kita tidak pernah puas hati ?
Seiring perkembangan zaman, kita sebagai manusia dituntut untuk melakukan segala hal dengan cepat. Tidak hanya cepat akan tetapi juga tepat. Perkembangan teknologi yang begitu pesat, perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu masif, membuat kita sebagai manusia harus selalu beradaptasi dengan perkembangan yang ada.
Kehidupan modern seakan tak henti mendambakan perubahan. Segala sesuatu yang ada di sekeliling kita terus bergerak maju. Teknologi kian hadir mempercepat pergerakan tersebut untuk melahirkan hal-hal baru. Kondisi ini menempatkan masyarakat pada fase kehidupan yang cepat dan penuh tuntutan. Tak ada lagi jeda untuk merenung, apalagi berefleksi. Sekali kita berhenti untuk sekedar menghela nafas, maka artinya kita perlu lari dua kali lebih cepat demi mengejar ketertinggalan.
Ketakutan akan ketertinggalan, akan hilangnya eksistensi, membuat manusia kurang mengenal dirinya sendiri. Merasa seakan tak ada waktu untuk mengenal diri dan mencari tahu apa inginnya hati. Kapan sebenarnya kita bisa berlari dan di lintasan manakah seharusnya kita berdiri. Akibatnya banyak sekali orang yang mengalami krisis akan identitas diri.
Kendaraan yang melaju sangat cepat, makanan cepat saji, waktu yang terasa berjalan sangat cepat, pekerjaan dan tanggung jawab yang meminta kita untuk berlari cepat, dan segala hal cepat lainnya. Seringkali membuat kita ada di fase di mana kita merasakan “Capek!”. Tentu saja iya. Bagaimana mungkin kita tidak merasa lelah ketika ‘dituntut’ untuk melakukan segalanya dengan serba cepat.
Menurut Dr. Stephanie Brown, psikolog asal Silicon Valley, masyarakat modern telah menetapkan kecepatan sebagai kunci kesuksesan. Bahkan sejak kecil kita sering mendengarkan istilah “Siapa cepat dialah yang dapat!”. Artinya siapapun yang tercepat dialah yang mencapai kesuksesan, yang bisa mendapatkan eksistensi dan kemenangan. Sedangkan yang lambat, dialah pecundang. Namun Brown menilai, kombinasi keduanya justru bisa menghantarkan kita pada kelelahan fisik maupun mental berkepanjangan.
Di sisi lain, gaya hidup serba instan juga dapat menurunkan kualitas hubungan sosial dengan orang-orang terdekat. Teknologi memang membuat kita berkomunikasi dengan lebih cepat, namun sering kali menghambat terjalinnya interaksi sosial yang lebih intim. Sering sekali kita merasa kesal ketika kita menelpon atau mengirim pesan kepada seseorang, tetapi orang tersebut tidak langsung mengangkat telepon atau membalas pesan kita.
Padahal, dulu sebelum telepon genggam atau ponsel pintar belum ada, media berikirim kabar hanya menggunakan surat. Butuh banyak sekali waktu untuk mengetahui kabar seseorang yang jaraknya jauh dengan kita bahkan bisa berbulan-bulan. Menunggu surat kabar datang dari pak pos adalah hal yang menyenangkan dan membaca surat kabar dari seseorang adalah hal yang membahagiakan. Namun saat ini, hanya menunggu beberapa menit atau bahkan beberapa detik saja kita tidak sabar. Ternyata dunia yang serba cepat ini tidak hanya menggerus dan menguras tenaga kita saja, akan tetapi menggerus nilai-nilai positif dari dalam diri.
Menjadi makhluk yang tidak sabaran, menjadi makhluk yang serba instan, membuat manusia seakan tidak menikmati kehidupan. Kesibukan demi kesibukan kita lakukan, hingga seakan tak ada waktu untuk sekedar kita menikmati setiap fase kehidupan. Semua berjalan begitu saja dan tak ada artinya. Ingin mengejar ketertinggalan dengan yang lain, tak mau dikalahkan, selalu diliputi kekhawatiran, begitulah manusia pada zaman ini, yang tidak lagi mengenal diri. Semua serba terburu-buru. Katamu, “ Waktu tidak akan menunggu dan kesempatan akan segera berlalu”. Menjadi orang sibuk adalah keharusan dan berjalan perlahan hanya akan menjadi beban serta penyesalan dimasa mendatang.
Mencoba berjalan di kala yang lain berlari dan mencoba melambat di kala yang lain cepat, seakan mustahil untuk direalisasikan. Sebagian orang akan menganggap bahwa dia hanya akan menjadi pemilik kegagalan dan tak punya masa depan. Tertinggal dan dilupakan, itulah yang akan dirasakan. Namun, bukankah terus berlari tetapi bukan pada lintasan yang tepat itu akan lebih berujung menyesakkan? Bukankah mengambil kesempatan yang itu bukan tempat kita akan berujung pada kesesatan? Menjalani fase hidup dengan hanya melewati tanpa memaknai bukankah itu sama saja hidup kita tak berarti ?
Waktu memang tidak akan menunggu dan kesempatan akan segera berlalu, namun kamu juga perlu mendengarkan apa kata hatimu. Jadilah cepat yang tak hanya cepat, namun juga tepat. Pun tak apa sesekali melambat, jika kamu tahu betul apa yang akan kamu perbuat. Menyisihkan waktu untuk mendengarkan kata hati dan mengenali diri justru akan menuntunmu untuk menemukan apa yang selama ini kamu cari. Menikmati hidup dan mensyukuri apa yang ada akan lebih membuat hati bahagia.
Mulai sekarang hiduplah dengan lebih sadar dan lebih sabar. Hargai setiap proses hidup yang ada. Kegagalan dan keberhasilan itu dinikmati tak hanya dilewati. Berilah apresiasi pada diri sendiri tidak hanya ketidakpuasan dan caci maki. Luangkanlah waktu untuk berefleksi tak hanya bekerja tanpa henti.
“ Hidup hanya sekali, jangan biarkan ia tak berarti dan tak bermakna apa-apa."
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”