Cintai Dirimu, Bebaskan dari Toxic Amarah yang Membelenggu Emosi Jiwamu

Karena amarah bukan jalan terbaik dari penyelesaian masalah

Terkadang penyesalan muncul terakhir setelah melakukan kesalahan yang fatal. Terkadang amarah menelan lebih cepat kebaikan dan menghanguskan arti kesabaran.

Advertisement

Terlalu sering gagal melawan amarah dan nafsu dalam jiwa, dengan mudahnya melempar kesalahan kepada orang lain. Membenci orang yang tidak salah. Ngomong pun selalu tancap gas. Wajah cemberut dan tidak menatap lawan bicara. Ujung-ujungnya tidak ada yang tertarik menjadi teman bercanda apalagi sekadar bertegur sapa.

Terbesit keinginan menyakiti diri sendiri, mengapa menjadi makhluk yang egois, pemarah, dan selalu mengikuti hawa nafsu. Meskipun berulang kali khilaf, penyakit itu muncul seperti hama yang tumbuh di halaman. Selesai dipangkas akan muncul kembali.

Hanya tidur cara termutakhir melepaskan beban, amarah sirna. Namun, saat terjaga penyesalan demi penyesalan muncul hingga berurai air mata. Waktu terbuang sia-sia dan tidak bisa mengurus diri.

Advertisement

Hanya soal amarah, permasalah menjadi runyam. Hal sepele jadi besar. Hati kacau, muncul rasa kurang percaya diri, hingga mudah menyalahkan orang lain. Mengapa tidak bisa mengalahkan amarah? Sementara orang di luar sana bisa tersenyum, bercanda dengan lainnya dan produktif melakukan pekerjaannya. Senyum di hadapan kamera, seolah berkata kepada dunia bahwa mereka bahagia. Sementara kita, duduk di pinggiran menatap tanpa mampu berbuat apa-apa. Perasaaan iri pun muncul, tidak suka dengan keberhasilan orang lain hingga membenci orang tersebut.

Rupanya marah semakin membara, setiap marah datang sering memberi makan dengan menurutinya. Mulai dari berkata kasar, melempar barang atau minta pulang. Marah membuat pikiran kerdil dan hati sempit. Tidak bisa membedakan mana kebaikan dan jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah.

Advertisement

Aku sendiri terkadang bingung, mengapa menjadi wanita yang tidak dirindukan Surga? Aku malu pada wanita shaliha yang memiliki paras meneduhkan juga tutur kata yang lemah lembut. Dulu aku pernah menjadi sosok seperti itu. Namun, semua berubah saat amarah merajai jiwa.

Salahkan seorang istri marah dan cemburu ketika suami lebih dekat dengan kerabatnya. Mengabaikan kehadirannya di tengah mereka. Salahkah seorang istri marah ketika ia pulang larut malam, demi bisa bermain dengan temannya.

Salahkan seorang istri iri dengan pencapaian orang lain, sementara dirinya hanya bisa menjadi tukang sapu, tukang cuci, dan pelayan suami.

Salahkan seorang istri tidak mampu sabar menghadapi kesulitan ekonomi yang melilit, namun tidak ada dukungan dan kasih sayang dari keluarganya.

Salah! Bagi orang yang menilai sifat buruk yang kini menjarah tubuhku. Seolah aku menjadi wanita paling bejat karena menelantarkan suami, karena pulang malam. Membiarkan suami kerja tanpa sarapan. Mengabaikan dengan muka masam saat ia hadir. Hanya karena masalah bagai sehelai rambut. Masalah meletup bagai percikan api yang mengenai jerami. Seluruhnya terbakar. Terkadang marah tanpa sebab memancing untuk berdebat.

Aku akui salah, ribuan maaf kulontarkan kepadanya. Tetapi, selalu mengulang dengan siklus yang sama. Ada yang tidak beres dengan diriku, mereka bilang itu wajar bawaan hormon. Haruskah hormon yang menanggung tuduhan karena amarah? Bukannya hati yang mengendalikan rasa?

Terkadang amarah hadir bukan karena wataknya yang keras dan arogan. Tetapi ia kurang diperhatikan, kurang kasih sayang dan merasa sendirian. Pernahkan engkau membayangkan rumput pada padang yang gersang. Ia bisa mudah terbakar karena setitik percikan api dari panas matahari, namun jika padang rumput senantiasa mendapatkan siraman mata air, ia akan tumbuh subur dan lebat. Menjadi hunian banyak hewan dan tumbuhan kecil lainnya.

 

Amarah bukan teman yang baik untuk diri, berhenti ‘memberi makan’ ego yang justru mengikis kemampuan hati untuk peduli kepada sesama. Amarah juga merusak jiwa dan pikiran, pikiran dipaksa untuk mengeluarkan banyak energi negatif. Membuat fisik cepat lelah dan terkadang menyakiti hati sendiri.

 

Masalah tidak benar-benar tuntas dengan marah, marah hanya memperkeruh keadaan. Tidak jarang perseteruan dengan orang lain dipicu dengan rasa marah yang memuncak. Bahkan karena marah persahabatan jadi lepas, pernikahan berakhir dan urusan pekerjaan terlantar. Jelas marah menjadi toxic dalam rantai hubungan. Hubungan yang penuh cinta menjadi bermusuhan karena tidak bisa mengendalikan amarah.

 

Sampai kapan akan membiarkan toxic marah dalam dirimu? Sampai semuanya benar-benar berakhir dan tinggal sebatang kara karena sifat tidak mau mengalah maupun sabar. Mulai sekarang, jika marah kembali hadir, coba mengalihkan dengan kegiatan fisik yang membakar kalori. Energi untuk marah lenyap. Karena saat engkau sudah merasa lapar. Rasa marah akan berkurang. Berganti pada penyesalan, mengapa harus marah? Jika masalah bisa ditangani dengan kepala dingin.

 

Ayo, mulai untuk menyayangi dirimu. Guyur api dengan air, begitu juga dengan marah dihapus dengan ketenangan. Menenangkan diri dengan ibadah cara paling ampuh untuk meredakan amarah. Mengurangi sifat marah, iri, dan dengki pada hal yang tidak disukai. Marah hanya menganggu kesehatan fisik terutama jantungmu.

 

Jika masih belum bisa mendapatkan kepercayaan untuk menghilangkan rasa marah, mulai mencintai diri. Bebaskan diri melakukan kegiatan bermanfaat untuk hilangkan rasa sebal maupun marah. Beri apresiasi diri dengan memperbaiki penampilan dan tersenyum pada cermin. Bahwa engkau berhak untuk berdamai dengan dirimu. Menerima keadaan dengan rasa syukur dan menghadapi segala kesulitan dengan sabar.

 

Satu langkah untuk menumpas amarah hanya dirimu, mulai dari take action, memaafkan diri dan meminta maaf kepada orang-orang yang menjadi korban atas rasa marahmu. Mulai saat ini, berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Bandingkan saja dirimu yang lalu dengan hari ini, apakah sudah menjadi pribadi yang lebih baik? Pribadi yang bebas dari sugesti negatif maupun hati yang penuh penyakit.



Setiap orang berhak menapakkan kaki pada pilihan hidupnya, pilihlah hidup yang membawa pada kedamaian. Hidup yang bersih dari toxic hubungan maupun amarah. Ingatlah, dirimu juga berhak bahagia. Mulai bahagiakan dirimu dengan putus hubungan dengan toxic amarah.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Wanita muda yang suka fotografi, Editor freelance, bookstagram. Suka menulis cerpen, novel dan blog. Bukunya yang sudah terbit DARAH: sepuluh cerita psikopat dan September Wish. Menulis membuatmu ada.