Malam ini aku diminta berbicara tentang hati. Padahal saat aku berbicara pun aku harus menggunakan hati. Kenapa tidak membicarakan tentang yang lain saja? Padahal hati bisa memandang kebaikan? Kenapa tidak hati diminta untuk memandang kebaikan saja? Ah aku jadi bingung berpendapat tentang hati. Kebingunganku adalah sulit memilih dari sudut pandang mana aku harus memandang hati dari ketulusan, kebahagiaan, kasih, sayang, ataukah ketenangan hati.
“Ayolah Amang aku butuh pemikiranmu untuk mengetahui bagaimana kamu memandang hati?” Tiba-tiba Nata memintaku lagi.
“Haruskah aku memberikan pendapat terhadap hatiku sendiri, haruskah hatiku memandang hatiku, atau aku harus memandang hati ini dengan akal Nat?” aku mencari keinginannya.
“Ya terserah kamulah Mang. Tapi aku minta yang tentang kasih dan sayang saja deh. Aku ingin tentang hal itu.”
“Ealah kasih dan sayang. Tentang cintakah yang kamu maksud? Tentang asmara?”
Aku terpaksa meceploskannya. Kemudian aku melanjutkan, “Aku tidak bisa memandang hati tentang kasih dan sayang untuk saat ini. Aku hanya bisa memandang hati dengan ketulusan. Mungkin ketulusan berkaitan dengan kasih dan sayang. Tapi tergantung substansinya, tergantung momen dan penempatannya Nat.”
“Jujur saat ini aku bingung dengan hatiku sendiri. Setiap seorang yang menghinggapi hatiku. Aku menganggap bahwa dia adalah yang aku cintai. Aku mengharap dia akan menjadi pasanganku. Tapi pas dia punya yang lain saat aku penuh harap, membuat hati kecewa.” Nata tersenyum-senyum.
“Hallo, koe ngopo to Nat? (Kamu kenapa Nat?) Cinta kok jadi masalah. Cinta kok jadi kebingungan. Setiap orang yang menghinggapi hatimu kok jadi bingung.”
“Ih Amang. Mengejekku.”
“Tidak Nat. Aku hanya kaget luar biasa. Tapi kalau aku memandang tentang cinta dan mencintai. Kalau mau aku berbicara tentang cinta dan mencintai mbok dari tadi Nat. Biar aku langsung menjelaskan.” Aku kesal dengan sikapnya.
“Ah, masak langsung tutup poin saja. Perlu pengantar dong.”
“Aku tidak tahu tentang hati itu terkait dengan cinta atau tidak. Yang aku tahu cinta adalah makhluk yang membawa kedamaian, kebahagiaan, ketulusan.” Aku memutarkan HP-ku.
“Tapi terkadang cinta itu menyakitkan Mang.”
“Cinta tidak pernah menyakitkan. Yang menyakitkan itu adalah harapanmu. Cinta tidak pernah menyakiti siapapun, cinta akan selalu memberikan nikmat, perlindungan, kebahagiaan, ketulusan, bahkan cinta tidak pernah meminta untuk pamrih. Kalau kamu sakit hati itu karena disebabkan oleh harapanmu, bukan disebabkan karena cinta. Bagi saya cinta itu kasih, sayang, tulus, dan ikhlas. Cinta itu tidak pernah berharap. Orang meninggalkan kenyamanan, kebaikan, dan kebahagiaan karena cinta.” Aku berbicara serius dan menaruh HP di atas mejaku.
“Seriuskah? Berarti apa yang membuatku sakit hati, benci terhadap orang yang pernah aku cintai atau aku sukai bukan karena cinta ya?” Nata menatapku serius.
“Iyalah Nat. Cinta kok menimbulkan benci? Bagaimana sih? Sopo sing muruk i koe (Siapa yang mengajari kamu)? Konsep cinta yang kamu dapatkan itu tidak tepat Nat. Cinta itu memberikan perlindungan ketenangan bukan kebencian.”
“Aku mau tanya lagi Mang. Kan tadi kamu bilang yang menimbulkan sakit hati itu adalah harapan. Bagaimana maksudmu?”
“Sepertinya kamu masih bingung ya? Begini saja deh. Sekarang umurmu berapa?”
“25 tahun.”
“Ternyata kamu tua banget. Belum menikah lagi.” Aku mentertawai dia. “Kamu pernah pacaran belum sih?”
“Pernah dulu pas SMA, tapi sekarang tidak boleh pacaran. Karena pacaran mendekati zina dan kita dilarang mendekati zina. Makanya aku tidak pacaran.”
“Bagus itu, kamu gak pacaran lagi. Nah sekarang aku mau tanya ke kamu. Pertanyaan ini mengungkit masa lalumu sih. Pas kamu pacaran, kamu pernah berharap pacarmu akan menjadi suamimu?”
“Ya. Itu pasti.”
“Nata pasti sakit hatikan kalau diputusin pacarmu dulu. Pasti kamu menangis berdarah-darah karena kamu berharap pacarmu jadi suamimu.”
“Bukan berdarah-darah lagi Mang. Tapi hatiku sobek-sobek. Sakit banget Mang. Ha ha.” Nata mengenang masa lalunya sambil tertawa.
“Nah yang membuatmu sakit apa Nat? Apakah karena cinta atau harapanmu?”
“Karena harapan dia yang akan jadi suamiku.”
“Jadi apakah cinta bersalah?”
“Jika cinta adalah tentang keikhlasan, perlindungan, kasih, sayang, dan cinta tanpa pamrih atau tanpa berharap untuk dibalas. Dan harapan yang timbul dari keinginan atau bahkan itu nafsu. Maka cinta tidak pernah bersalah.” Nata malah memberikan logika berpikir.
“Eh sebentar dulu jangan menyimpulkan seperti itu dong. Ada lanjutannya nih.”
“Apa?” Nata menatap tajam.
“Kalau salah mencintai orang bisa tidak?”
“Ah tidak tahu Mang kamu membuatku pusing tujuh ribu keliling.”
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”