Beberapa hari belakangan, konsumsi kafein ku meningkat. Dalam sehari aku bisa menghabiskan empat sampai lima mug kopi hitam. Iya, aku tahu, ini tidak baik untuk kesehatan terlebih aku memiliki masalah lambung. Tapi, siapa yang bisa mengontrol kalau hati dan otakku saja hampir menyerah menghadapi ego ku sendiri?
Minggu sore Adnan datang kerumahku. Setelah mencaci maki ku di telfon, akhirnya ia memilih untuk langsung datang kerumah. Mungkin ia belum puas mencaci maki karena aku mendadak sulit di hubungi beberapa hari belakangan ini.
Mungkin alasan lain karena ia tahu, aku sedang tidak baik-baik saja. Maklum, hubungan persahabatan aku dan Adnan sudah terjalin lebih dari delapan tahun. Segala gerak-gerik ku sudah terlalu mudah terbaca olehnya.
Tanpa banyak berkata, aku persilahkan Adnan untuk masuk. Masih tidak bersuara, aku langsung membuat dua mug kopi. Satu untukku dan satu untuk Adnan yang ternyata berdiri di sebelahku.
‘Ngopi lagi?’ sambil melirik tumpukan mug di wastafel. Aku belum sempat mencucinya, ‘Mau mati?’
‘Nggak minum kopi juga bakalan mati, Nan,’ jawabku acuh.
‘Lo lagi kenapa sih?’
Aku menghela nafas, ‘Harusnya lo tau, Nan.’
Adnan ikut menghela nafas, ‘Kenapa nggak coba lo hubungin?’
‘Lo tau kan alasan gue buat nggak ngehubungin dia?’ Aku meletakan sendok bekas mengaduk kopi di wastafel, memberikan salah satu mug berisi kopi panas pada Adnan, ‘Dan lo tau kan gimana susahnya gue buat nahan diri nggak ngehubungin dia balik?’
‘Lo nggak bisa terus-terusan nyiksa diri lo sendiri,’ kata Adnan sambil mengikuti aku yang berjalan ke ruang tengah. Aku menduduki sofa panjang, Adnan duduk di sofa lainnya.
‘Apa bedanya, Nan? Gue juga bakal tersiksa kalau harus ngehubungin dia apalagi sampai harus ketemu, Nan,’ kepala menggeleng dengan sendirinya. Mencoba mengenyahkan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, ‘Gue nggak mau semuanya semakin rumit. Gue nggak mau ada drama-drama. Lo tau gue, kan, Nan? Gue nggak bisa kontrol tiap kali ngehubungin dia.’
Adnan meletakan mug kopi diatas meja, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, ‘Terus sekarang mau lo gimana?’
Aku diam sesaat. Aku sendiri tidak tahu harus gimana. Semuanya terlalu rumit.
‘Kalau udah kayak gini, gue beneran setuju sama dia. Lo itu rumit, Tania. Rumit serumit-rumitnya orang rumit.’
Pernyataan Adnan berhasil menggetarkan tubuh ku, membuat jantungku berdebar tidak karuan, membuat sepasang mata ku memanas. Aku ingin menangis sekaligus membenci pernyataan itu.
‘Iya. Dia benar dan lo juga benar, Nan. Gue ini adalah perempuan rumit serumit-rumitnya orang rumit,’ aku menelan ludah, ‘Harusnya ini nggak serumit ini, kan? Tapi, apa lo pernah tau kenapa gue serumit ini?’
Adnan diam. Air mata ku meleleh jatuh, ‘Ini karena gue terus bertanya-tanya, kenapa harus Tian orangnya?’
KENAPA HARUS TIAN ORANGNYA?
Sampai saat ini aku sendiri belum menemukan jawabannya. Kenapa harus Tian orang yang berhasil membuat aku jatuh cinta. Kenapa harus Tian orang yang berhasil membawa seluruh hatiku pergi bersamanya. Kenapa harus Tian orang yang selalu menjadi sosok paling mengerti apa yang aku mau dan apa yang aku butuhkan.
Kenapa harus Tian orang yang selalu menjadi sosok sempurna dalam hidup ku. Apapun yang Tian lakukan dan apapun yang sudah kami berdua lakukan terasa menggigit.
Rumitnya, kenapa harus Tian orangnya?
Semua tidak rumit kalau saja aku sadar bahwa aku dan Tian memang tidak bisa bersama selamanya. Sekalinya pun aku mencoba sadar, hati dan semua isi kepala ku menolak untuk ikut sadar.
‘Hampir setahun, Nan. Nggak kehitung udah berapa banyak hal yang gue dan Tian lakukan. Nggak kehitung udah berapa kali gue ngelakuin drama. Nggak kehitung udah berapa kali gue sadar bahwa diri gue memang rumit,’ aku menjeda, ‘Dan nggak kehitung udah berapa kali gue berusaha buat ngelupain dia, tapi nggak bisa.’
Aku mengolah nafas, ‘Nggak kehitung gimana cintanya gue sama Tian, Nan.’
Tangis ku pecah dengan sendirinya. Apa yang selama ini aku tahan terkuak sudah. Aku tidak bisa menghentikan tangis ku sendiri, bahkan aku tidak bisa mengontrol gimana sakitnya hati ku saat ini.
‘Karena gue terlalu cinta, gue nggak mau ngehubungin dia. Gue nggak mau, gue dan Tian sama-sama tersiksa lagi.’
Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana rumitnya aku. Aku mencintai Tian yang juga mencintaiku, tapi ini semua seolah tidak lagi mudah ketika pertanyaan itu kembali muncul: kenapa harus Tian orangnya?
Aku dan Tian punya alasan untuk saling jatuh cinta. Punya alasan untuk saling memilih. Punya alasan untuk saling menghabiskan banyak hal bersama.
Aku dan Tian juga punya alasan mengapa kami berdua memilih untuk menarik diri. Mencoba mengubur rasa dan sama-sama terluka.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”