Di kalangan anak muda atau bagi pengguna aktif internet, istilah childfree bukan lagi merupakan sesuatu yang asing dan banyak dibahas di platform media sosial. Childfree merupakan sebuah keputusan untuk tidak memiliki anak dalam sebuah hubungan pernikahan. Jelas ini merupakan sebuah keputusan yang anti-mainstream dan menentang kebiasaan khususnya di Budaya Indonesia. Childfree bukan hanya sekedar frasa my body my choice atau ikut – ikutan trend yang sedang hype. Keputusan ini idealnya melewati banyak pertimbangan dari berbagai aspek seperti dari sisi budaya, keluarga, agama, finansial, dan kematangan psikologis dari tiap pasangan.
Sebagai salah satu pengguna aktif media sosial, saya sempat melemparkan pertanyaan terkait fenomena ini di media sosial saya. Beberapa teman menyatakan bahwa mereka sebenarnya setuju dengan menunda untuk memiliki anak sampai matang secara finansial dan tidak ingin anak merasakan kehidupan yang susah karena orang tua yang belum siap. 'Punya anak tapi belum siap itu egois!' ujar Febri seorang wanita berusia 33 tahun. Joel seorang pria berusia 27 tahun tidak ingin personal space-nya terganggu dengan hadirnya anak. Dari diskusi singkat ini, saya menjadi lebih memahami bahwa sebenarnya keputusan itu tidak ada yang salah dan benar. Setiap keputusan punya kelebihan dan kekurangan serta harus siap dengan segala konsekuensi yang mengikutinya.
Masih validkah ungkapan sumber kebahagiaan dalam pernikahan adalah dengan kehadiran anak?
Menurut saya semuanya tergantung dari perspektif masing – masing orang. Tidak ada yang salah dengan keputusan memiliki anak. Hidup pernikahan bisa saja menjadi lebih lengkap dan bahagia dengan kehadiran anak bagi pasangan yang mengharapkannya. Ada konsekuensi juga yang pasti akan mengikuti keputusan ini. Berkurangnya waktu me time karena pasti dialokasikan lebih besar untuk mengurus anak dan keluarga, adanya budget yang harus disiapkan untuk keperluan anak, dan parenting is a roller coaster ride dengan kata lain harus menyiapkan diri untuk menghadapi masalah – masalah yang mungkin tidak pernah terpikirkan.
Berikutnya yang menjadi perhatian saya adalah tidak ada sebuah rumusan pasti bahwa pasangan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak menjadi berkurang kebahagiaannya. Tanpa harus mengkhawatirkan anak, mereka bisa melakukan kegiatan favorit atau tidur sepanjang hari di hari libur. Bebas melakukan travelling dan eksplorasi tempat baru yang belum tentu bisa dilakukan jika harus mengajak anak.
Ikatan yang kuat antara pasangan suami istri juga terbentuk untuk menemukan satu strategi coping dalam menghadapi tantangan yang ada karena tidak adanya kehadiran anak dalam kehidupan mereka. Sama halnya dengan keputusan untuk memiliki anak, pilihan childfree juga menurut saya bukan sesuatu yang salah, tapi saya setuju bahwa pilihan ini tidak mudah untuk diterima di budaya Indonesia.
Adanya stigma bahwa keputusan ini menentang agama, menentang orang tua, dan keluarga besar. Seperti yang kita sama – sama tahu, budaya patriarki masih kuat di Indonesia. Selain itu, masih ada keluarga besar yang punya peranan dan pengaruh untuk pengambilan keputusan yang harusnya jadi tanggung jawab pasangan, salah satunya mengenai keturunan. Mendapatkan penerimaan dari keluarga besar mungkin merupakan sesuatu yang paling menantang dari keputusan ini. Adanya concern mengenai garis keturunan keluarga yang tidak dapat dilanjutkan, mengenai pewaris harta atau bisnis yang sudah dibangun dengan ketidakhadiran anak, hingga dilema siapa yang mengurus saat sudah sampai di usia senja juga mengikuti dibalik itu semua.
Belum lagi ratusan pertanyaan kapan punya anak? yang dilontarkan oleh teman atau tetangga. Apalagi jika mereka tahu akan keputusan childfree yang diambil, maka pertanyaan bisa dipastikan berubah menjadi sindiran yang mungkin menyakitkan hati bagi sebagian orang. Mungkin di satu titik akan muncul perasaan lelah dan marah karena dicap sebagai pasangan yang egois karena ingin mementingkan dirinya sendiri dan dianggap tidak bersyukur karena realitanya banyak pasangan yang juga berusaha dengan beragam upaya demi hadirnya seorang anak. Dari sisi istri juga akan dicap sebagai orang yang melawan kodratnya sebagai seorang wanita karena menolak menjadi seorang ibu.
Padahal tidak adil rasanya jika mereka berkomentar tanpa mengetahui cerita di baliknya. Dalam buku Childfree & Happy karya Victoria Tunggono, keputusan childfree dilakukan karena alasan keuangan, keluarga, kesehatan, genetika, dan kesiapan psikologis. Mungkin orang lain lupa atau tidak tahu kalau masih ada pasangan yang berjuang untuk memiliki parenting self-efficacy. Parenting self-efficacy sendiri dapat diartikan sebagai penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri terkait kemampuan menjadi orang tua. Biaya sekolah, kesehatan, dan kebutuhan anak yang tiap tahun semakin meningkat membuat pasangan makin mempertimbangkan keputusan untuk memiliki anak karena punya anak itu gampang tapi membesarkannya sulit dan mahal. Intinya butuh kesiapan dan komitmen.
Punya anak juga tidak melulu bicara masalah finansial saja, tapi juga kesiapan mental sebagai orang tua. Masih ada juga pasangan yang masih belum siap mental untuk jadi orang tua salah satunya karena ada trauma masa di masa lalu semisal diabaikan oleh orang tua, mengalami kekerasan pada masa kanak – kanak, dan pengalaman hidup yang pahit karena keterbatasan finansial. Ada lagi pasangan memutuskan tidak memiliki anak karena salah satu diantara mereka memiliki permasalahan genetik atau penyakit keturunan yang tidak ingin diturunkan ke anak mereka.
Menjadi pasangan yang memiliki anak ataupun childfree ternyata sama – sama memiliki konsekuensinya. Tidak perlu mencari jawaban keputusan siapa yang paling benar atau bahkan siapa yang paling berhak bahagia. Boleh saja mendengar masukan dari orang lain sebagai bahan pertimbangan, tapi keputusan tetap ada ditangan anda sendiri sebagai tokoh utama dalam kehidupan anda. Yang paling penting, it takes two to tango. Pastikan anda dan pasangan telah sepakat dalam mengambil keputusan dan komitmen bersama ini.
The choice is yours and it takes two to tango
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”