Pagi tadi, kira-kira pukul 04.00, kubangun dengan cahaya lampu yang menembus kaca jendela kamar. Suara gesekan piring dan perkakas terdengar dari dapur. Ada pula suara air yang terkucur. Mamak habis nyuci piring, benakku dengan keadaan mata terkantuk.
"Pan, bangun! Sahur!", ucap mamakku dengan nada khasnya.
"Iya." , balasku dari balik selimut.
Mataku masih sayup-sayup ngantuk. Kupaksakan untuk bangun. Kuturuni anak tangga dengan pelan. Nyawa belum terkumpul. Tak lupa kubawa handuk yang menggantung di dekat kamarku untuk mengelap sehabis cuci muka nanti. Agar tidak turun naik anak tangga. Capek.
Kubasuh mukaku dengan air. Berharap ngantuk hilang. Kuambil piring di rak penyimpanan. Nasi putih yang dimasak di rice cooker sejak semalam kini sudah selesai. Matang. Pulennya tiada tara. Kuambil tidak terlalu banyak. Perut sudah cukup buncit tampak seperti om-om. Tidak ingin kutambah. Kuambil dua centong, tapi kukurangi. Dengan lauk pedas manis ikan kembung sate. Sudah lama aku tak makan ikat laut. Biasanya lele, lele, dan lele.
Kusantap dengan porsi yang tidak terlalu banyak tadi. Mata masih cukup terkantuk. Sayup-sayup. Tapi lama-kelamaan hilang seiring aku memakan kepala ikan dengan sausnya yang meresap ke tulang-belulang. Menyelinap masuk dengan rasa yang aduhai. Terlena aku dibuatnya. Irisan bawang bombai berkolaborasi dengan saus asam manis, kepala ikan, dan nasi putih. Enggak ada lawan, Boss!Â
Sudah, ah, bilangku dengan hati agak berat. Sebab, ingin kutambah porsinya. Kepala ikan yang aduhai masih menggoda di atas wajan. Enggak, ah! Lawanku terhadap godaan kepala ikan itu. Segera kucuci piring. Kenyang perutku meskipun hanya dua centong nasi yang kukurangi. Kujalan mondar-mandir di ruang tengah. Berharap cepat turun agar tidak begah.
"Ngapain sih, Mas, bolak-balik?", tanya adikku yang masih menyantap sahur. Heran dia.
"Supaya cepet turun nasinya," celetuk mamaku yang berada di sebelahnya.
Tak lama kemudian suara murotal terdengar dari pengeras suara masjid. Tanda azan subuh segera berkumandang.Â
Allahuakbar, allahuakbar, suara azan terdengar dari masjid yang jauh dan lama-kelamaan masjid di dekat rumah juga azan. Kupakai baju jubah, bersiap-siap. Tertawanya aku ketika sadar baju yang kukenakan terbalik. Seselesainya sholat subuh, seperti biasa waktu di pagi hari yaitu, menulis. Sebuah rutinitas yang cukup sering kulakukan apabila tidak ngantuk di pagi hari. Sebab, di waktu-waktu pagi isi kepala masih fresh.Â
Kubuka aplikasi blog di handphone. Kulanjutkan tulisanku yang masih dalam proses penyelesaian. Sudah sekitar 4000 kata dan 9 halaman panjangnya. Kucicil, kuselesaikan. Sesekali kulihat lini masa di media sosial. Kulihat, kubaca dengan seksama. Turun naik tangan menggeser layar handphone.
Kutemukan satu cuitan dari penulis ternama. Kabar duka isinya. Kulihat. Orang yang berarti sepertinya, benakku. Kulihat trending topic ada nama itu di sana. Kubuka, lagi-lagi kubaca dengan seksama. Masih terheran, bingung, bertanya-tanya aku di benak, siapa orang ini?Â
Kubuka trending topic banyak penulis yang mengungkapkan rasa duka cita. Kutelusuri lebih dalam, tahu juga aku akhirnya. Ternyata adalah seorang pemred penerbit ternama. Pantas saja banyak penulis yang kehilangan, pikirku. Setelah penelusuran mendalam kutahu siapa dia. Mas Agus namanya, pemered dari penerbit ternama. Banyak penulis yang karyanya diangkat olehnya.
Kutuliskan untuknya dalam #Bercerita8 di Instagram dengan judul Terima Kasih dan kutulis di blog dalam judul 2020, Kok Begini? sebagai rasa duka, terima kasih, dan respect.Â
Kulanjutkan tulisanku di blog yang belum selesai setelah menulis sedikit di Instagram dan blog untuk Mas Agus. Kembali pikiranku mencari kata-kata dan alur cerita. Mataku terkantuk di tengah-tengah menulis. Wajar saja, semalam aku begadang. Kusudahi menulisku, lalu kututup blog dan kutidur dengan lelap. Terbangunku di siang hari di saat mimpi aneh berakhir. Lemas badanku terbawa mimpi. Kukumpulkan nyawa seiring meleknya mataku. Kuambil handphone yang ada di sampingku guna mengecek situasi lini masa.
"Ipan, sholat!" perintah mamakku terdengar dari lantai bawah.
"Iya, sebentar." Sautku sambil mengumpulkan nyawa.
Lalu kuturun dengan bayang-bayang mimpi tadi. Masih lemas pula badanku. Mataku berkunang-kunang tiba-tiba. Kujongkok seketika untung meredakan. Kutempelkan kepala ke tembok. Kuturun dengan pegang yang erat. Sebab, aku pernah terjatuh karena terburu-buru dan mataku meleng tiba-tiba. Dengan bayang-bayang tidur dan masih proses pengumpulan nyawa, suatu perintah terdengar,Â
"Ke Indomaret, Pan. Beli spageti," kata mamakku.Â
Dengan wajah dan tangan masih basah sisa basuhan air wudhu kuiyakan saja perintah itu. Meski kuiyakan saat itu juga, tapi aku tak juga langsung pergi. Setelah beberapakali diperintahkan, akhirnya kulaksanakan perintah itu. Cuaca mendung memayungiku di perjalanan. Seharian ini langit gelap, mendung. Seakan langit menahan tangis yang akan pecah kapan saja.
Kuambil apa saja yang ingin kubeli. Mondar-mandir di rak yang berjejer makanan hingga bahan masakan. Kuambil, sesekali ada yang kukembalikan ke raknya, kuambil yang lain lagi. Cuaca mendung makin parah. Gelap. Sedang asik memasukkan ke keranjang, kulihat luar dari kaca bening yang menembus. Hujan mengguyur, deras membasahi jalanan.
Kutunggu reda sambil kubelanja. Hingga belanja selesai, namun hujan tak kunjung reda. Kutunggu sambil menulis lagi. Kali ini kutulis di note. Sebab, handphone-ku tak ada jaringan internet alias tidak ada kuota. Duh. Berdiri, berjalan, hingga bersandar dengan kepala menunduk ke arah handphone. Sesekali melihat hujan untuk memastikan sudah reda atau belum.
Hujan reda ketika tulisanku berada di paragraf keenam. Kusudahi menulisku, kututup note. Bergegas kupulang ke rumah. Sudah pukul 15.20 kulihat jam di handphone sebelum kutaruh kantong. Rintik hujan masih membasahi. Tak apa, daripada makin deres kalau ditunggu, benakku. Kuberikan hasil belanjaan di Indomaret tadi dengan setruk dan uang kembalian yang tersisa.
Tangan kucuci, begitu pun kaki. Langsung kutuju kamar sebagai tempat untuk melanjutkan menulis. Wifi tersambung otomatis. Kupindahkan tulisan yang ada di note tadi ke tulisan yang sudah kubuat di blog. Menyatukan menjadi alur cerita yang berarti. Cukup lama otakku mencari kata-kata yang pas dengan cerita yang sedang kubuat. Mikir, tapi asik. Begitulah kira-kira. Azan magrib hampir berkumandang. Seperti biasa, murotal sudah diperdengarkan melalui pengeras suara. Cuaca masih mendung. Hujan turun, lalu reda, turun lagi kemudian. Begitu terus dengan mendung seharian ini.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”