Di sebuah restoran masakan lokal pinggir kota.Â
Rejeki. Sebuah kata yang tiba-tiba jadi misteri. Bagaimana ia bisa muncul dalam kehidupan kita sehari-hari? Bagaimana ia bisa menjelma jadi apapun yang dia mau? Bagaimana bisa manusia kufur dan semaunya sendiri meminta lebih tanpa tahu diri?Â
"…dan aku baru menyadari, Dan. Diberi kamu pun sebenarnya rejeki, tinggal bagaimana aku memanfaatkan secara positif."
" Loh, Ri… kamu selama ini hanya memanfaatkanku?."
" Sebentar, Dan jangan naik pitam dulu. Cerna lagi kata-kataku, garis bawahi ada kata positif di dalam kebermanfaatan itu."
" Tapi selama ini kan kita pun melakukan hal negatif, bukan begitu dan kamu setuju?."
" Memang, kau dan aku melakukannya tapi kau kuanggap rejeki bukan karena perilaku yang telah kita lakukan, bukan?. Aku bermaksud memberi tahumu, berperilaku memang ada baik dan buruknya, tapi dalam konteks rejeki ini kamu harus tahu memiliki teman berbagi sepertimu yang memberikan amanat positif juga sudah cukup kuanggap rejeki. Kamu hadir, Dan."
Semesta ikut terdiam, merenung dengan pikiran Faidan dan Sari.Â
" Hufft… selama ini aku menganggap diriku tidak ada gunanya, Ri. Selalu, hampir tiap saat kalau sudah diri disergap anxiety. Semuanya jadi menakutkan. Aku jadi tiba-tiba murung dan sedih, menyembunyikan sakit yang memang orang lain tak bisa menjangkau dan miliki akses kesakitan itu. Kamu juga rejeki bagiku, Ri. Terima kasih sudah memberitahu, datang, dan mengatakannya di jam makan siang ini. Apa ini hal penting yang kamu janjikan tadi malam sebelum sinyal buruk menghampiri?"
Â
Sari tersenyum, sambil berkaca-kaca matanya mengiyakan pertanyaan dari Faidan. Tak bisa dipungkiri memang. Bagi Sari, kehadiran Faidan adalah rejeki yang melimpah dalam urusan  mendengarkannya pada tiap canda dari keremehan dunia, keluh kesah tak berujung dari dunia yang patriarki dan tak berpihak banyak pada perempuan, bahkan dari urusan mendesak seperti kerjaan. Meski tak selalu, Faidan tetap hadir. Memberikan perspektifnya yang kadang menyebalkan tapi tetap bijaksana dan didukung toleransi dalam suasana dan kondisi orang yang sedang ingin didengarkan.Â
" Aku sedang mensyukuri momen ini, Dan. Aku tidak ingin membuang waktu jika aku sempat melihatmu. Lebih-lebih kamu dalam keadaan sehat begini, walau gak ada duit. Hehe."
" Iya sih gak ada duit, ini kan juga sedang mengusahakannya, toh rejeki gak bisa datang sendiri kan? Kita yang harus ambil bola."
" Eh, setelah ini balik yuk, Ri. Udah dichat suruh balik nih, mau ketemu rejeki."
" Wahhhh…. dapat klien nih?."Â
" Iya," Faidan tersenyum sambil mengembalikan ponsel ke saku celananya.Â
" Iya sih iya, tapi habisin dulu makanannya. Makan gado-gado ini juga termasuk rejeki, kan? Apalagi aku yang traktir!"Â
" Hahaha betul! bikin hariku yang suram sejak pagi jadi sedikit, eh banyak dialiri rejeki.Makasih ya, Ri".Â
" Eh, kembali kasih dong! Agaknya kalau dipikir obrolan kita ini gak begitu ada faedahnya ya"
" Ha, gimana Ri?"Â
" Ya, kan aku ngajak ketemuan. Kubilang ada urusan serius, ternyata cuma mau berbincang padamu tentang rejeki"
" Oi! Bagiku sejumput kalimat jujur akan lebih baik dinikmati, Ri. Jadi ada ataupun tidak ada faedahnya menurut orang yang sedang kuajak bicara, selagi ia jujur aku bisa menghormati pembicaraan itu. Kamu harus ngerti, bagi sebagian orang kejujuran mungkin juga bagian dari rejeki lo, sebab ada beberapa orang yang hidupnya terus saja dibohongi," ucap Faidan dan memasukkan suapan sendok terakhir sayur dan lontong dari gado-gado yang dipesannya.Â
" Ah, masa'?"Â
Faidan mengode piringnya telah bersih dari gado-gado yang ia pesan, mengisyaratkan untuk segera pergi dari restoran kecil yang cukup sepi di waktu makan siang, dan membiarkan pertanyaan yang bernada retoris dari Sari tak terjawab. Toh, pertanyaan retoris, bukan?.
Â
Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”