Aku hanya melihat bagian terakhir dari 4 babak yang ditawarkan dalam tragedi malam ini. Pintu rumah menjadi saksi rasa cinta yang disalaharti. Dia setengah dipukuli. Bilang dengan sesenggukan dia cinta dan tak ingin pisah. Si Pemukul menginginkan hal lain, dia harus pisah dengan kekasihnya malam ini juga.Â
Kalau tidak aku saja yang memisah kalian
Si Pemukul berkata demikian, dengan tatapan tajam pada anak putrinya yang tak pernah mengangguk salah karena rasa yang dibuatnya. Sekelebat kulihat kondisinya tidak begitu menyeramkan. Aku berjalan tenang melewati keduanya yang di depan pintu sambil tetap beradu argumen, namun tiba-tiba yang satu tersulut api menyatakan perang.
Tak tahan lagi, Si Pemukul melihat pernyataan Sang Putri yang dianggapnya masih kekanakan dan tidak masuk akal. Ia layaknya 'Bapak' yang cemburu Sang Putri mengenal laki-laki lain dengan emosi yang tak bisa dipadamkan.
Si Pemukul melihat kayu-kayu dalam gelap malam, di depan rumah tetangganya yang berjualan kayu bakar. Ia tak sadar berhambur lari mengambil kayu tersebut. Sepersekian detik melemparkan pada Sang Putri, hingga kayu yang diikat jadi berantakan. Aku hampir mati lemas melihat kejadian itu. Sang Putri berlari menjauhi rumah ke arah Timur di pertigaan jalan, sambil menangis keras, meraung dan ia berkata :
Aku mencintainya
Dalam malam yang akan turun hujan, aku bimbang akan berani pulang melewatinya atau tidak. Kalau diraba-raba, Sang Putri menjaga kekasihnya dengan berlari menjauhi rumah. Tapi sia-sia juga. Tetangga yang tidak tutup mata dan telinga keluar. Mengarah ke sumber suara. Mencoba melerai, mencoba memberi harapan lain pada Sang Putri. Ia sadar cintanya dilarang. Setelah jatuh karena berlari tapi dibuntuti dengan kasar, ia jatuh dipelukan Ibu yang dibutuhkannya.
Bagai berjalan di atas red carpet namun bukan aku aktornya. Begitulah aku ketika semua orang berjajar di kanan-kiri rumahnya di gang yang kecil, menyaksikan apa yang terjadi pada Sang Putri, Si Pemukul, dan Ibu, bukan ke arahku yang sedang berjalan meninggalkan fenomena yang hadir. Â
Aku gemetaran sesampainya di tempat yang kusebut rumah. Aku menangis dalam perjalanan kembali ke sana. Rasanya hatiku yang dicabik-cabik. Aku tak kuat melawan ketakutanku sendiri, menjadi saksi lagi pada peristiwa yang tak kuingini. Aku sesak nafas, lemah, lemas, terluka oleh 'keadaan'.
Aku sadar yang tadi bukan lagi ada di drama, sinetron, atau film yang biasa aku tonton. Mereka secara langsung, membuka luka yang kukubur, belum juga sampai setahun. Aku berani cerita, tapi aku juga tersiksa, kujadi lagi-lagi tersadar, obat yang kuracik sendiri belum sempat mengobati sepenuhnya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”