[Cerpen Part 1] Berhenti Mencari untuk Menemukan

Karena biasanya semakin kamu cari, semakin tidak kamu temukan apa yang kamu cari

Adzan subuh berkumandang dengan merdu, membuatku membuka mata dan bergegas menyalakan lampu. Hari ini adalah hari bersejarah bagiku setelah 4 tahun mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Hari ini resmi sudah menyandang gelar Sarjana Psikologi.  Seharusnya aku bahagia dengan pencapaianku saat ini, tetapi aku merasa ada yang kurang. Aku merayakan momen wisuda ini hanya bersama kakak kandungku dan teman-temanku, tanpa didampingi kedua orang tuaku.

Advertisement

Ibuku saat ini sedang menjalani proses rehabilitasi di tempat pemulihan jiwa. Semenjak ditinggalkan ayahku yang memilih bersama dengan wanita lain, ibuku seperti kehilangan separuh jiwanya. Meski ayah sudah meninggalkanku dan ibuku, tetapi aku tidak membencinya. Bagaimanapun juga dia adalah ayah kandungku, meski rasa kecewa masih ada. Aku sudah memberitahu ayah tentang hari wisudaku, tetapi beliau tidak bisa hadir dikarenakan sedang sibuk dengan pekerjaan.

Selain ditinggalkan ayah, ada hal lain yang mengusik hatiku. Enam bulan berlalu sejak dia yang kucinta mengakhiri hubungan kami yang sudah berjalan 3 tahun dan harus kandas begitu saja. Lebih parahnya lagi dia jujur padaku bahwa dia menyukai perempuan lain. Hati siapa yang tidak patah mendengar pengakuan seperti itu. Tiba-tiba Rania, teman kosku datang ke kamarku membuyarkan lamunanku.

Hei Alma, pagi-pagi udah melamun aja, sapa Rania.

Advertisement

Eh kamu Ran, bikin kaget aja, kataku.

Habisnya kamu melamun dari tadi, lagi inget mantan ya?, tebaknya.

Advertisement

Apaan sih, inget sedikit. Tahu nggak hari ini wisudaku tepat hari ulang tahunnya, harus seneng apa sedih nih?, kataku bimbang.

Apa? kok bisa pas banget gitu ya. Harus seneng dong kan mau wisuda, mantan buang ke laut aja, katanya dengan tertawa.

Aku sedih juga Ran, ayah sama ibu nggak bisa nemenin aku wisuda, kataku dengan muka sedih.

Cup cup cup, jangan sedih ya, Ma. Ibu kamu pasti seneng banget lihat kamu pakai toga. Aku juga selalu mendoakan agar Ibu kamu cepet pulih dan bisa kumpul lagi sama kamu, hiburnya sambil memeluk tubuhku.

Iya Ran, makasih ya, kataku.

Ya udah yuk siap-siap, katanya.

Oke siap, kataku sambil bergegas kemudian.

Selang beberapa bulan setelah wisuda, aku diterima di salah satu perusahaan di luar kota. Berbagai kesibukan di dunia kerja berhasil menyembuhkan lukaku di masa lalu. Di tempatku bekerja, aku dekat dengan seorang laki-laki dari divisi lain bernama Dino. Dia sangat humoris dan ramah. Setiap berbincang dengannya pasti selalu ada tawa yang tercipta. Kami sering makan bersama dan jalan-jalan berdua. Pernah suatu waktu kuberanikan bertanya padanya tentang perasaan dan arah hubungan kami. Namun dia tak memberikan penjelasan, malah mencari topik pembicaraan lain. Mungkin terlalu cepat untuk membahas soal ini.

Tiba-tiba ada hal tak terduga mengejutkanku dari teman kerjaku, Linda sejak 6 bulan kedekatanku dengan Dino.

Alma, ada hal penting yang pengen aku omongin nih, kata Linda serius.

Ada apa Lin?, tanyaku.

Ini tentang Dino, Ma jawabnya pelan-pelan.

Dino? Emang dia kenapa?, tanyaku semakin penasaran.

Dino tuh sebenernya udah punya cewek Ma. Aku tahu dari temennya, si Rio. Kemarin aku sama dia kebetulan makan bareng di kantin. Terus aku iseng tanya tentang keseriusan Dino ke kamu. Eh dia malah bilang kalau Dino udah punya cewek. Mereka pacaran sejak kuliah, jelas Linda.

Serius kamu Lin? Kalau dia udah punya cewek, kenapa dia deketin aku?, bantahku dengan kesal.

Aku serius Ma. Makanya aku kasih tahu kamu. Sebaiknya kamu tanya ke Dino dulu deh untuk tahu kebenarannya, saran Linda.

Oke deh Lin, nanti aku tanyain ke Dino, makasih ya, ucapku.

Iya Ma, sama-sama. Karena aku nggak mau kamu dibohongin Dino, katanya.

Keesokan harinya aku menanyakan informasi dari Linda pada Dino.

Dino, aku mau tanya sesuatu, tapi jawab jujur ya, kataku.

Mau tanya apa Ma?, tanya Dino.

Kamu sebenernya udah punya cewek kan?, tanyaku.

Dino terlihat kaget dan ada aura kekhawatiran terpancar dari wajahnya.

Jawab jujur Dino, tambahku.

Kamu tahu dari mana Ma?, Dino malah balik tanya.

Itu nggak penting. Kamu cukup jawab jujur aja, desakku dengan sinis.

Oke. Jujur aku emang udah punya cewek, tapi hubunganku sama dia udah nggak sehat, aku pengen putus dari dia, jelasnya.

Tega banget ya kamu Dino, kamu jahat banget udah bohongin aku, buat apa kamu deketin aku? Cuma buat senang – senang? Atau buat cadangan sebelum kamu putus sama cewekmu ?, tanyaku penuh amarah.

Aku minta maaf Alma, aku suka sama kamu, apa aku salah?, katanya enteng.

Jelas salah Dino. Kamu deketin aku di saat kamu masih ada hubungan dengan perempuan lain. Harusnya kamu selesaikan dulu masalahmu sama cewekmu, kataku.

Aku emang udah nggak cinta sama cewekku. Tapi aku nggak bisa putus sama dia. Aku nggak bisa lepas dari dia, jelasnya.

Itu bukan urusanku. Sebaiknya kita nggak usah jalan bareng lagi, anggep aja kita nggak pernah kenal, kataku sambil berjalan pergi.

Enam bulan sejak kejadian itu, aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku. Bukan karena Dino semata, melainkan kondisi perusahaan yang sudah tidak kondusif. Aku kembali ke kotaku untuk mengunjungi Ibuku. Kondisi Ibu sudah semakin membaik, emosinya sudah relatif stabil. Aku juga bertemu dengan Rania, sahabat baikku sejak kuliah. Kuceritakan semuanya padanya. Kutumpahkan segala hal yang begitu menyesakkan dada.

Kenapa aku nggak diijinkan buat bahagia ya Ran?, tanyaku padanya.

Maksudnya ? Definisi bahagia itu nggak ada tolok ukurnya Ma, kata Rania.

Aku ditinggalkan ayah, aku dikhianati mantan, aku dibohongi Dino. Salah aku apa Ran? Kenapa aku selalu disakiti? Aku nggak pernah jahatin mereka. Aku selalu baik sama mereka. Kenapa aku nggak boleh bahagia sama orang yang aku cinta?, tanyaku bertubi-tubi dengan berlinangan air mata.

Alma, nggak ada yang salah sama kamu. Jangan merasa kamu selalu disakiti. Mereka yang menyakitimu dihadirkan dalam hidupmu untuk menguji kesabaran dan keikhlasanmu. Bagaimana ketulusan hatimu untuk memaafkan, perjuanganmu untuk bangkit dari keterpurukan, dan tetap melangkah tanpa beban. Ibarat sebuah bola bekel, semakin keras dihentakkan ke lantai, maka ia akan melambung semakin tinggi. Kamu juga harus yakin bahwa suatu saat nanti kamu akan menemukan atau ditemukan seseorang yang tepat. Percaya sama aku, Ma. Yang terpenting jangan lupa bersyukur dan tetep semangat ya, peluk Rania padaku.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Perempuan berzodiak Taurus. Penyuka buku fiksi, walau kadang - kadang juga membaca buku non fiksi.