Aku benci Ibu.
Sejak ayah meninggal secara mendadak sepuluh tahun lalu, aku benci ibu. Ingat sekali saat tubuh ayah diturunkan, semua orang yang hadir di sana menangis, tak terkecuali aku yang bahkan masih belum mengerti apa-apa. Namun tidak dengan ibu. Aku melihat ibu hanya bisu. Matanya kering, tatapannya lurus ke depan, enggan sekali melepas kepergian ayah untuk terakhir kalinya meski oleh mata.
Setelah pusara semakin sepi, aku masih histeris, bertanya ada apa dengan ayah? Dan ibu memelukku erat, menepuk-nepuk bahuku menguatkan. Ia tersenyum. Kala itu aku masih tidak mengerti mengapa tidak setetes pun kesedihan menyambangi wajahnya? Bahkan ibu tetap tersenyum di saat semua orang menghiburnya sambil terisak-isak.
Hingga akhirnya aku meluapkan kekecewaan itu begitu tiba di rumah.
"Kalau saja kemarin ayah masih bermain denganku!"
"kalau saja ayah tidak masuk kamar lebih cepat!"
"kalau saja ibu tidak menyiapkan minum untuk ayah!"
"DAN MENGAPA IBU BISA TIDAK MENANGISI AYAH?"Â teriakku keras.
Ibu sangat terkejut melihat amarahku yang meluap-luap. Ya, aku marah sekali pada ibu. Mengapa ibu bisa begitu mudah menghadapi kepergian ayah? Padahal, mulai daripada hari itu aku resmi menyandang sebagai anak yatim, tanpa orang tua yang lengkap!
Ibu tidak menjawab. Ia hanya menatapku. Ada irisan senyum tipis di bibirnya. Ekspresi wajahnya sangat tenang. Aku benar-benar marah.
***
Aku sempat berpikir bahwa semua itu merupakan rencana besar ibu. Aku sempat berpikir bahwa ibu lah yang merencanakan kematian ayah, entah bagaimana caranya. Dan semua dugaanku semakin jelas dengan keadaan rumah yang kian hari tampak seperti biasa, tampak tidak pernah terjadi apa-apa.
Ibu tetap melakukan rutinitas hariannya sebagai ibu rumah tangga, yang kini bertambah tugas lagi sebagai single parent – bekerja lebih keras, lembur sana-sini, bahkan sampai tertidur di sofa hampir setiap harinya. Semua itu demi tetap menjalankan roda kehidupannya, roda kehidupanku.
Aku selalu bertanya kepada ibu, apa yang terjadi dan mengapa ayah pergi dengan cepat, padahal belum lama kami bercanda, berdiskusi, tertawa bersama? Namun ibu tidak pernah memberikan alasannya. Ibu tidak pernah menjawab semua pertanyaanku.
Ya, sejak kembali dari makam ayah, aku membenci ibu!
Sejak itu pula aku sudah jarang bercerita kepadanya, bahkan membatasi interaksi terhadapnya. Apabila ditanya aku hanya menjawab sekadarnya. Selepas pulang sekolah aku lebih sering bermain bersama teman-temanku di luar rumah. Saat malam setelah makan, aku tidak banyak lagi menghabiskan waktu di ruang keluarga, tetapi langsung mengurung diri di dalam kamar.
Kurasa ibu menyadari perubahan sikapku yang kian hari semakin tidak ramah kepadanya, terkesan menghindar layaknya orang asing. Namun ibu tidak banyak bertanya, tidak juga berubah. Ibu tetap seperti biasanya: membangunkanku dengan tangan hangatnya, menyiapkan sarapan lengkap dengan senyumnya, bertanya kepadaku pertanyaan-pertanyaan dasar sebagai sikap pedulinya terhadapku, semuanya.
Sama sepertinya, aku juga tidak berubah, tetap membenci ibu. Sampai hari ini, saat-saat terakhir aku akan pergi meninggalkannya sendiri guna melanjutkan pendidikan dan meraih impian-impianku. Ibu memang tidak pernah memaksakan keinginanku. Ia membebaskanku tumbuh dengan keyakinan dan usahaku yang kuat, termasuk usaha untuk selalu menghindarinya.
***
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”