Rintisan Billha dalam pena. Banyak yang berlalu lalang ditengah keramaian. Berjalan ikuti pijak tujuan yang menjadi niatan. Ada yang sendiri ditengah hiruk pikuknya alur perjalanan. Ada yang terasing ditengah keramaian. Seseorang membisikkan kata digaduh semesta.
Ada yang dihujani suara tikaman digaduh remuknya tabir jalan yang tak sejalan berselimut. Ada yang menepi dibanjiri ironis lara yang tak bertepi. Ia sedang berkata, bertanya tentang arti sebuah makna tentang jalan pada waktu sang pemberi nafas kehidupan menuliskan tentang labirin sebuah alur perjalanan.
Jalan yang kerap dilaluinya, merupakan sebuah teka-teki yang singgah silih berganti, tak berjeda di penghujung jalan yang dilaluinya. Hingga denyut nadi berhenti pada tiupan hari.
Sekantung harap kepada semesta tak berjeda, tak hentinya berdoa. Billha dalam tanya. Billha tanpa sebuah tanya. Billha hanya membutuhkan sebuah jawaban yang nyata, bukan sekedar angan semata. Jawaban yang belum juga diberikan kepada sang pencetak pencipta waktu yang mengalir didalam alur kisah Billha dan Arsya..
**
“Aku nggak ngerti kenapa sebutir ungkap rasa menjadi sebuah jeda dalam kata jarak.” Ungkap Billha.
“Karena kamu belum mengerti, apa arti dari segaris makna yang tersimpan dan berselimut bersembunyi di tiap alur yang sedang semesta ciptakan dan hadiahkan untukmu.” Ucap seorang kawannya.
Begitu banyak pertanyaan yang menggelayuti nalar. Begitulah alur kehidupan yang penuh teka-teki dari Ilahi di tiap genangannya. Andai saja dari setiap raga yang berjalan mampu sedikit saja menelaah.
Ketika dirimu menanam bibit gandum, kelak apa yang kau rawat sedemikian rupa, kau sirami dengan hati dan kau jaga dengan penuh kasih dan sayang dari hati, kau pupuk dengan kandungan murni yang semestinya. Sejatinya, yang kan dipetik ialah sebuah hasil dari segi proses gandum yang membutuhkan waktu dengan sebagaimana mestinya. Dengan sisi kebaikannya.
Cintai dirimu bersama Ilahi.. cintai apa yang menjadi minat dari kecondongan kata hati, usah hiraukan penghakiman dari lingkup yang kemungkinan mampu mematahkan sejatinya dirimu, tangkap menjadi pembelajaran dan motivasi. Hempaskan ke langit bersama Ilahi.
**
“Sanggup berjalan sejauh ini dengan bias yang berpolemik disimpang jalan.. sungguhlah, Kau patut berterima kasih Arsya tuk dirimu sendiri. Bersyukur kepada Allah yang masih memberimu waktu dan nafas." Papar Billha.
Arsya hanya menanggapi dengan senyuman kecil dilekuk lesung bibirnya.
Takdir dan qadha. Mempunyai arti yang tidak serupa. Semuanya yang sudah menjadi ketetapan Yang Maha Esa tak mampu dirubah. Dari rahim mana terlahir, kelahiran dan juga kematian. Namun takdir masih bisa dirubah dengan keyakinan dan kekuatan doa. Senjata ampuh terdahsyat dengan keajaiban yang dihantar Ilahi ialah pupuk doa yang tiada padam dan tak berjeda.
Arsya dengan background broken home. Sebuah kisah pasir putih Billha dan Arsya. Billha seorang putri angkat yang tumbuh dalam pengasuhan dan dibesarkan oleh salah satu seorang perempuan senja yang sederhana dan taat agama. Di pondok pesantren daerah Sleman, Jawa Tengah.
**
Arsya putra sulung dari dua bersaudara. Adik laki-lakinya berusia 12 tahun. Sebab perselisihan, alhasil Arsya harus tinggal terpisah dengan adiknya. Keluarga yang awalnya utuh, dipisahkan oleh kata takdir. Keluarga mereka mengalami broken home. Arsya tinggal bersama Ibunya dan adiknya, Arsyil bersama ayahnya. Sesekali mereka mendapat giliran jatah waktu bergulir untuk saling berkunjung. Memang kerap agak kurang efektif bagi mereka, Arsya dan Arsyil bergantian bergiliran untuk saling gantian menginap dikediaman ayah dan ibunya. Sejatinya untuk tetap dekat dengan kedua orang tuanya.
Terbentuk karakter mereka dalam menemukan jati dirinya. Hal-hal diluar dugaan dan nalar harus mereka lalui. Sampai pada suatu peristiwa terjadi.
Perjalanan Sleman ke Banda Aceh.
Kriing…
Telepon seluler Arsya berdering.
“Hallo”
“Kami dari pihak rumah sakit ingin mengabarkan berita duka,”
Arsya dengan raut kaget dan menangkap ucapan via telepon selulernya dengan nada terbata-bata.
“Bapak Ramon saat perjalanan menuju kota Banda diketemukan dalam keadaan kecelakaan dan saat hendak dilarikan ke rumah sakit terdekat, nyawa beliau tak tertolong.”
“A,,a,,apa ?”
Arsya masih belum percaya dengan kabar tersebut.
“Dimohon dari pihak keluarga untuk datang ke rumah sakit pak.” Tutur petugas bagian rumah sakit.
Arsya dengan tergesa-gesa lalu bergegas pergi. Sontak sepanjang jalan ia menahan tangisnya.
Setibanya di rumah sakit ia langsung menyeka dan menatap raut almarhum ayahnya.
**
3 tahun kemudian
Arsyil akhirnya kembali berkumpul bersama ibu dan kakaknya. Ibunya begitu sangat penyabar dan penuh cinta kasih sayang keikhlasan dan ketulusan kepada buah hati tercintanya. Ibunya senantiasa mendukung anak-anaknya. Menjaga dan mendampingi penuh cinta kasih.
Arsya tipekal yang tak mudah terbuka. Cenderung menutup diri. Semenjak sikon broken home bertubi-tubi, hal yang tak sinkron hingga ketidak adilan yang kerap ia rasa dan melandanya, hingga kejadian tragis yang merenggut nyawa ayahnya. Arsya mungkin menjadi agak pemurung. Ia kerap menumpahkan segala penatnya di pantai yang lepas. Memetik senar gitar, mendengar kicauan burung bersama sepoi angin dilepas pantai yang teduh. Ia mencipta bait demi bait menentramkan jiwanya bersama petikkan lagu.
Arsya akhirnya memutuskan untuk singgah dan menetap di Sleman. Ia bekerja di Sleman. Jauh dari hingar bingar deru rapatan jejak ibu kota. Disana benar-benar memulai kehidupannya yang baru. Tempat itu juga menjadi jejak kisahnya.
**
Billha wanita yang ceria dan tegas. Billha mampu merubah dan menghibur kawannya tersebut. Suatu ketika mereka berpapasan di sebuah halte. Arsya yang memang notabene sikapnya sangat dingin. Saat hendak ke sebuah lembaga pendidikan yang letaknya tak begitu jauh dari pondok pesantren tempat Billha menetap. Ia seperti biasanya sembari memegang buku ditangannya, sembari menunggu waktu bus yang melaju. Arsya tertegun. Berpapasan tak sengaja buku yang dipegang oleh Billha jatuh dihadapan Arsya. Arsya dengan gamang dan masih tetap cuek dingin.
Beberapa hari kemudian
Untuk kesekian kalinya mereka berada pada satu bus. Arsya dengan pena dan selembar kertas buram yang meliuk dijemarinya. Billha berkawan dengan earphone dan buku bacaannya.
Mereka bergumam dalam hati. Kerap bertemu tanpa disengaja. Arsya memberanikan diri untuk menyapa Billha terlebih dahulu. Dari sana sapa pertama mereka sharing dan berteman. Kerap mengunjungi ibu dan ayah angkat Billha, Arsya merasa menemukan figur mendiang ayahnya kembali.
Billha teman Arsya yang sangat peduli dan selalu to the point’ dari semenjak mereka bertemu, pertemuan yang tak pernah disengaja. Berpapasan yang rasanya berbaur cerita didalamnya yang mengarungi situasi berbalur kisahnya yang geming. Berkali semesta mempertemukan mereka ditempat yang sama. Hingga perkenalan dan menjadi sebuah teman sejati sekaligus sejalan dan sepemahaman.
Arsya sangat menghormati dan menghargai Billha serta mendukungnya. Pertemuan dan perkenalan mereka begitu sangat berkesan. Pasalnya Arsya sangat bersyukur, hatinya mampu terenyuh dan harinya seakan kembali dipulihkan oleh pihak tabir Ilahi, yang membawa menghantarkan kisahnya disentuh sapa peluk hangat sebuah keluarga penuh kasih dalam dekap hangat ayah Billha. Seperti sudah kenal lama. Arsya sudah menganggap ayah Billha layaknya ayahnya sendiri.
**
Lepas ba’da ashar.
Arsya kembali ke pantai yang biasa ia kunjungi. Kali itu dengan perasaan yang berbeda dari biasanya.
Bersama sepoi angin menyentuh Sukma. Menatap mendung pada gumpalan awan-awan dilangit biru yang melukis semestanya. Ada bias kisah yang terselami. Berseluncur bersama raga-raga yang berdesir. Kala hati bergaduh, kala waktu tak mampu berkompromi, kala impian tinggalah menjadi sebuah perjuangan dan pengorbanan pada jiwa-jiwa yang sedang meniti hari. Bersama gemuruh ombak aku menggema lantang dan lepas. Singgah ke tepian seorang diri menanti keajaiban berdamai pada liku Titian belalak takdir yang mendesir perlahan. Oh Ilahi… Tiada yang mampu memahami, selain pada jalur langit yang bersaksi. Pada hembus angin yang menyisir. Elegi hari menjadi sebuah tanya yang bergelayut menerpa seujung hari dipenghujung hari. Hingga kini dan akhir nanti. Pada elegi Pasir putih yang rapuh menegarkah duhai hari-hari.
**
Impian Arsya yang dipendamnya. Impiannya yang menurut kebanyakan silsilah keluarganya hanya sebongkah ilusi yang berdesir dan harus diakhirinya.
Kala sebuah asa tinggal sebuah cerca harapan. Manakala jalan takdirnya harus diredam dan didaki tanpa kata sejalan. Terkadang sebuah takdir sangatlah bijak bagi sekawanan orang. Kata siapa takdir hanya tinggallah sepotong garis takdir yang kerap stak tak mampu dirubah?
Hanya Billha satu-satunya orang yang mampu memahami gundah polemik sekaligus tetap mendukungnya apapun rintangan yang kerap dilalui dan disapa silih berganti. Kehadiran kawannya itu, nyata membuat Arsya jauh lebih percaya diri.
Sampai suatu ketika,
Dengan adanya sebuah batasan didalam waktu yang berjalan bersama sendu syahdu menerpa diri.
“Setiap dari kita dibekali akal dan hati. Untuk mencerna dan merasakan. Kalau kamu diberi kesempatan untuk menerka dan memilih waktu,. Apa yang mau kau utarakan ?” Tanya Billha.
“Terlalu misteri jejak waktu yang Allah tunjukkan. Terlalu cepat ia memanggil ayah kembali. Inginnya dari setiap anak, tumbuh pada utuh.”
“Namun takdir berbelok. Membawa mu kepada pilihan yang tak sejalan. Hingga kau berada ditempat ini.”
“Ya. Nyatanya alur Allah telah ada dalam suratan. Kita tak mampu mendiktenya dan berkata tunggu aku belum siap akan itu.”
“Ikhlaskan. Suatu saat kau akan tersenyum lebih lega dan lebih manis ketimbang hari lalu yang tinggal angan dan kenangan.” Ungkap Billha.
“Billha, usiamu lebih muda dari pada diriku. Kau seusia dengan adikku. Tapi kau lebih mampu berpikir dengan bijak dan dewasa.”
“Terkadang adakalanya sebuah hantaman dan ujian mampu membentuk pola pikir kita. Dewasa tak nampak terlihat dari setinggi apa usia, tetapi dari sudut pandang cara kita mencermati dan merespon semua yang terjadi.”
“Hantaman?” Tanya Arsya.
“Enggaak… sebuah kiasan untuk mu mencerna, Aku hanya bergurau soal pribahasa itu.” Jawab Billha dengan senyum cerianya.
Selang beberapa bulan dikabarkan ibu Arsya koma dan beliau menghembuskan nafas terakhirnya.
Kali kedua Arsya kehilangan orang yang teramat dikasihinya. Ia menjalani harinya bersama adiknya. Mereka saling bahu membahu.
Sampai pada suatu ketika.
“Billha, aku ingin menjadi teman hidupmu.”
Tanpa basa-basi Arsya menuturkan kata demikian kepada Billha.
Jelas Billha sangat kaget.
“Arsya, bukannya aku menolak. Tetapi,”
“Aku mau kau menjadi ibu dari anak-anakku kelak.”
Billha bergumam dalam hati. “Arsya, kau patutnya mendapatkan calon istri yang jauh lebih sempurna dari pada aku.” Billha hanya tertunduk diam.
Walaupun silsilah ayah dan ibu yang merawatnya ialah orang tua angkat, dan Billha pun hingga detik ini belum mengetahui siapa dan dimana orang tua kandungnya berada. Namun ayah dan ibu angkat Billha melebihi apapun. Ia segalanya bagi Billha. Namun dibalik kisahnya,
“Arsya, aku mau bicara.”
“Iya.” Jawab Arsya.
“A..a..” Billha merasa ragu untuk mengungkapkannya.
“Kenapa Billha?”
Raut muka Billha terlihat nampak pucat.
“Arsya, kenapa kau memilih aku?”
“Saat hati mengalir getaran dengan suara yang menuntunnya. Kala nalar menampik hal yang tak semestinya. Aku berusaha meluruskan semua agar tetap sejalan dan sesuai dengan kata hati.”
“Tapi, aku..”
“Billha, aku mau membahagiakan kamu. Aku menerima mu dengan apa adanya.”
Beberapa hari kemudian.
Seperti biasa di tepi pantai..
Billha duduk menemani disamping Arsya dengan pena di jemarinya.
“Billha, besok aku mau berkunjung menemui ayah.” Ungkap Arsya dengan sapaan akrab kepada ayah Billha.
“Kamu yakin?” Tanya Billha.
“Iya.” Jawab Arsya dengan tegas tanpa basa-basi.
“Ada yang perlu kamu tau Arsya. Aku..”
Belum sudah Billha melanjutkan perkataannya, telepon selulernya berdering.
“Arsya, aku pergi dulu. Baiklah kalau kamu mau bertemu ayah esok.”
Keesokkan harinya Arsya pun berkunjung menemui ayah Arsya dengan maksud hendak meminang putrinya.
Perkenalan yang tak disengaja, pertemuan pun demikian tanpa diduga dan bahkan tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Semua mengalir begitu saja. Arsya melabuhkan hatinya kepada Billha. Semua terasa begitu sangat cepat. Arsya pun mengutarakan niatan baiknya kepada ayah angkat Arsya.
Beberapa Minggu berlalu
Billha hening dalam hati duduk menatap ombak di tepi pantai seorang diri. Rentang waktu itu juga ia berdoa meminta petunjuk. Namun karena sebuah takdir yang membawa kondisi kesehatannya yang selama ini dipendamnya kepada Arsya dan juga orang tua angkatnya, Billha terpaku.
Hari itu Arsya mencari-cari Billha dengan hati yang tak seperti biasanya. Entah firasat apa yang dirasakannya. Arsya melihat Billha di tepi seberang pantai.
“Aku mencarimu sejak tadi Billha.” Dengan nada tenang dan tatapan teduh.
Mereka dua jiwa yang bisa dibilang sehati, sepemahaman dan sejalan. Intuisi mereka tanpa diungkap oleh lisan pun, mungkin diantara keduanya sudah sangat tajam membaca satu sama lain tanpa diungkap.
“Arsya, kita tidak pernah akan tau tentang jalannya sebuah arah takdir akan membawa kita kearah mana.”
“Ada yang kamu sembunyikan, Billha.”
“Aku sangat bersyukur Allah masih menjaga dan menguatkan diriku lewati hari-hari yang berwarna.”
“Terkadang takdir berbelok dari apa yang menjadi niatan.”
“Iyah, karena skenario semesta cukup unik. Allah sebaik-baiknya sang pemilik dan perancang kisah terbaik. Tanpa kita duga sebelumnya. Namun apa yang tersirat dipendam benak do’a,, Allah jua lah yang memahami dan menghendaki semua dengan nyata terjadi dengan keajaibannya.”
Kala itu mendung awan mengabu bersama langit yang menatap sayu di sendu hati Billha. Dan hujan seketika menderu mengguyur bumi. Mereka bergegas untuk kembali pulang. Mereka berteduh di aula masjid yang letaknya tak jauh dari pantai. Ba’da ashar..
Arsya dan Billha selesai berjamaah. Setelah reda, mereka melanjutkan perjalanan. Billha yang waktu itu dibonceng dengan Arsya, seperti biasa.. sepanjang jalan mereka berbincang.
“Arsya, nanti kita mampir ke kedai yang biasanya dulu ya. Kita beli martabak cokelat kesukaan ayah dan bunda..”
Setelah mereka selesai. Dan kemudian dibungkus martabak legit idaman ayah dan bundanya. Ditengah perjalanan,,
Arsya yang tak seperti biasanya, Kala itu Billha lebih banyak diam. Arsya pun sebaliknya. Billha bersandar dipunggung Arsya. Lama sekali matanya terpejam. Terdengar bisik syahdu yang diutarakan dari lisan Arsya. Arsya tetap berusaha menenangkan dirinya, mencoba mencoba membendung dugaan kepada Billha yang terpulasnya.
“Hmm mungkin dek Billha kelelahan.” Gumamnya. Pelan-pelan sekali Arsya membangunkan lirih Billha.
“Assalamualaikum.. dek.. kita udah sampai rumah.”
Namun Billha tetap tidak beranjak dari pejaman kelopak matanya nan sayu.
Sontak Arsya sangat kaget. Ia menggendong Billha bergegas ke rumah sakit terdekat. Sampainya di rumah sakit Billha belum juga sadarkan diri.
Dua hari kemudian.
Dokter yang menanganinya pun berbicara kepada keluarga Billha.
“Pak, Bu, Billha em apa selama ini ia tidak pernah bicara perihal sakit yang memvonisnya?”
“Memang Billha sakit apa dok?”
“Billha seharusnya tetap berobat.”
“Maaf dok.. selama ini anak kami tidak pernah menceritakannya kepada kami. Dan dari yang kami lihat keseharian Billha cukup baik.”
“Billha divonis cancer endometriosis stad.III.”
Mendengar keadaan Billha, tetap tak mengurungkan niat Arsya untuk tetap menikahi Billha.
Beberapa bulan kemudian
Arsya dan Billha akhirnya melangsungkan akad. Mereka sangat bahagia. Satu tahun perjalanan pernikahan keduanya,,
“Mas, seandainya Billha pergi apa nanti kamu akan tetap selalu menjaga dek Billha, sampai kapanpun?”
“Kalau kamu pergi,, Aku ikut sama kamu.” Jawab Arsya sambil tertawa berkaca-kaca menghibur Billha.
“Billha nggak pernah membayangkan dulu bisa ketemu dan sampai menikah dengan kamu mas.”
“Coba liat mata mas, kamu nggak usah jawab, tanya pada hatimu.”
“Seuntai kata-kata mungkin mampu menembus hingga ke sendi rusuknya bagi para pecinta. Namun tetaplah jua, takdir semesta yang sungguh nyata mengalir dengan rapi dan begitu indah. Namun suara hati akan jauh lebih menuntun dan terisi. Menuai kisahnya.”
“Dek,, kamu saat ini dan selamanya sampai malaikat menjemputku, kamu tetap yang teristimewa dan terindah di sepanjang perjalanan ku. Kamu memberikan warna dan makna diliku kehidupanku. Kamu menyadarkan mas akan satu hal, bahwa kuasa dan takdir Allah.. adalah selalu yang terbaik dan terindah. Kamu membuka mata hatiku dengan perlahan. Akan semua harapan yang kelak nyata, saat mereka tak pernah mendukung dan penghakiman yang merajai, kamu tetap tak pernah meninggalkan aku. Kamu selalu mendukung mas akan semua hal dari yang terpahit sampai termanis tentang sebuah pencapaian dan mimpi yang tetap harus diwujudkan dan diperjuangkan.”
“Aku bersyukur Allah mempertemukan dan menyatukan kita, meskipun dengan segala keterbatasan diriku.” Ucap Billha lirih menggenggam tangan imamnya.
**
Tetap fokus pada prinsip jalan. Jadikan cacian hujatan ataupun mungkin penghakiman dari yang tak sepaham, tak sehati, dan mungkin kerap tak sejalan sebagai motivasi terus maju pada prinsip tujuan dan minat yang terpendam. Takdir dari setiap insan beragam dan unik. Setiap insan memiliki labirin yang berwarna. Usah hiraukan sebuah hujat yang mungkin menghujan sanubari. Atau uji yang mematahkan karakter. Apa yang diniatkan Lillaah tuk Ilahi tetap fokus dan jalani turuti suara hatimu. Tetapkan pada prinsip tuk berkmbang dan tak lelah mempelajari tuk bekal diri. Pasrah tawakal penuh pada Ilahi yang maha mengerti segalanya. Biar Ilahi yang beri jalan sesuai takaran dan kehendaknya yang terbaik serta bijaksana dan maha adil diatas segalanya. Jangan ubah diri tuk insan. Niat Lillaah tuk Allaah tuk menggapai ridha-NYA. Jangan mau dibuat lukisan oleh insan dari tiap diri. Kita yang menggerakkan dan membentuk diri kita. Berdamai, bersahabat, berkompromi kepada hati dan diri kita. Setiap insan memiliki takdirnya dan itu tak serupa.
**
Adakalanya sebuah hantaman dapat membentuk pola pikir serta karakter. Tanpa mengubah sejatinya sudut pandang pribadi dan proses dari bentuk prinsip diri. Pada lakon kehidupan nyata, kita berjalan dan berproses bukan tanpa sebuah alasan dan makna dari Ilahi. Resapi dan tetap taff. Karena sejatinya setiap dari kita mempunyai letak keunikannya sendiri.
**
Berkat kuasa Allah.. Alhamdulillah Billha dikabarkan akhirnya mengandung. Usia kandungannya 67 hari. Hari demi hari Billha merawat kandungannya bersamaan berjuang melawan sakitnya, didampingi Arsya suami tercintanya yang sangat tulus dan setia mendampinginya.
9 bulan 10 hari
Billha dilarikan ke rumah sakit. Billha mengalami pendarahan.
“Pak Arsya, Ibu Billha melahirkan putra kembar.” Kata dokter.
“Subhanallah ya Allaah… Alhamdulillah.. lalu bagaimana keadaan istri saya dok, Ia baik-baik kan dok?”
“Ibu Billha alhamdulilah selamat namun beliau mengalami pendarahan hebat.”
Dokter pun mempersilahkan suami Billha untuk menemui dan menemani usai dari R.ICU.
Arsya menggenggam erat tangan istrinya.
“Anak kita kembar dek.”
“Iya alhamdulilah mas,, Ia mirip seperti ayahnya.” Jawab Billha lirih sambil tersenyum.
“Mas kamu masih ingat awal kita bertemu?”
Mereka berbincang hangat mengulang nostalgia yang penuh makna.
“Mas kalau nanti aku pergi,,”
“Kamu nggak akan pergi kemana-mana deek. Kita tetap sama-sama hingga usia senja nanti untuk anak kita.”
“Aku sudah mencatat semua pada agendamu mas. Nanti pada setiap harinya kamu baca ya.”
Arsya tak tahan menahan air matanya.
“Mas, kamu baik dan unik. Tetap semangat menggapai impianmu. Niatkan semua tuk menggapai Ridha Allah insyaallah berkah selalu dengan keyakinan dan penyertaan janji dan takdir dari Allah merestui.”
“Kita terlahir satu kali. Dan aku mencintaimu penuh hingga menutup usiaku. Aku janji akan menjaga cinta suci dan sejati yang menjadi rahmatan anugerah dari Allaah ini. Mencintai istriku cukup satu kali selamanya hingga nafas terakhir menemuiku.”
“Makasih mas. Kamu sudah tulus ikhlas membimbing dan menjagaku serta mencintai dan menjadi pelengkap ku.”
Arsya melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an disamping Billha hingga Billha tertidur.
“Dek Billha..?” Arsya membangunkan Billha.
“Iya mas,, aku masih disini mendengarkan merdunya lantunan ayat suci Al-Quran yang dibacakan oleh suamiku.” Sambil memegang tangan Arsya.
Arsya melanjutkan bacaannya.
Tepat kumandang adzan maghrib, Arsya membangunkan istrinya tuk yang kedua kalinya, hendak jamaah bersama istri tercintanya. Billha pun terbangun dan shalat dengan keadaan berbaring bersama Arsya suaminya yang menjadi imamnya.
Usai berdoa ia beranjak dari tempatnya.
“Assalamualaikum dek,,”
Billha tak bangun dan menjawab panggilan Arsya. Billha menghembuskan nafas terakhirnya setelah shalat berjamaah dan berdoa dengan suaminya.
Cinta sejati dan abadi yang benar-benar nyata ialah cinta yang berdasar dan berjalan pada ikatan suci yang halal yang direstui dikandung berkat Ridha Ilahi yang menggenggam dan menyertainya. Hingga menutup usia. Billha senantiasa hidup dihati Arsya untuk selamanya.
Karena sejatinya cinta yang berjalan karena Allah, tak kan pernah memandang apapun kecuali karena mengharap Ridha dari Allaah saja dan iman yang menjalankannya sejalan dengan ungkap suara hati yang menuntunnya bersama harapan kepada Allah. Cinta karena Allah yang menjadi karunia pelengkap penyempurna imannya. Dan ia tak pernah memandang dan mengukur dari segi apa atau siapa yang paling banyak berjuang dan berkorban. Karena semua yang dilakukannya semata semuanya hanya untuk mengharap keridhaan Allah tuk satu tujuan bersama menuju syurgaNya Allah.. Allah yang maha membuka jalan, Allah yang maha menghendaki semua terjadi dan Allah jugalah yang menggerakkan semuanya.
***
Note : Cerpen "Elegi Pasir Dini Hari" sebagaimana telah post via https://anggungerardini.wordpress.com
Terima Kasih Salam Hipwee Community
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”