[CERPEN] Aku yang Terlalu Berharap dan Berakhir Penyesalan

Berharap pada seseorang

Aku duduk terdiam di kursi kayu depan rumahku. Tak terasa sudah 2 jam aku melamun. Setiap hari selalu terpikirkan Fany gadis pujaanku. Sudah dua tahun lebih aku mengenalnya sejak kelas 2 SMA. Dia cantik, baik, ramah, dan juga cerdas. Walaupun dia anak orang kaya namun tak pernah membeda-bedakan teman yang ada di sekolahnya.

Advertisement

Setelah lulus SMA aku bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik kayu di desaku. Sedangkan Fany melanjutkan kuliah di jurusan Tata Boga. Keinginanku untuk melamar Fany pun membuatku giat bekerja di pabrik itu.

Aku sedikit pun tak pernah mengeluh dengan rasa lelahku. Apapun pekerjaanku akan ku jalani asalkan itu halal bagiku. Namun, terkadang aku juga pesimis apakah aku yang miskin ini pastas bersanding dengan Fany yang kaya raya itu?

Mungkin kebanyakan orang berpikir kalau aku menikahi Fany agar aku bisa cepat kaya dan menguasai hartanya keluarga Fany. Sungguh itu pemikiran yang tidak benar. Tak sedikit pun terbesit niatku untuk melakukan hal senista itu.

Advertisement

Aku tulus mencintai Fany dan ingin bersama-sama berjuang dalam kebaikan dan ketaatan kepada Tuhan. Karena sejatinya hidup ini adalah untuk beribadah kepada Tuhan dan berbuat baik kepada sesama manusia. Aku sangat paham akan hal itu. Aku yakin Fany juga memiliki pemikiran yang sama denganku karena Fany juga gadis yang baik hati.

Hari berganti bulan hingga berganti tahun. Kini Fany telah lulus kuliah dan mulai merintis usaha barunya yaitu mendirikan restoran kecil. Fany berharap suatu hari restorannya berkembang besar dan mampu menyediakan makanan yang nikmat, sehat dan halal.

Advertisement

Aku pernah sekali membeli makanan di restorannya Fany. Aku mencicipi nasi goreng yang di masak oleh Fany. Hmm, rasanya sungguh nikmat sekali. Sungguh idaman sekali seorang istri yang pandai memasak makanan yang sehat dan halal. Batinku kala itu.

Secara perlahan-lahan restoran kecil itu pun mulai berkembang menjadi restoran yang besar. Jumlah pelanggan restoran semakin bertambah. Fany juga sering memberikan makan gratis kepada pembeli yang berbuka puasa di hari senin dan kamis.

Tak jarang pula ia berbagi makanan kepada para pengemis di jalanan. Sungguh idaman sekali, sudah cantik, cerdas, pandai mengelola keuangan dan baik hati lagi. Betapa bahagianya jika aku menikah dengan Fany. Pasti Fany juga akan mendidik anak-anaknya kelak agar selalu berbagi dengan sesama manusia.

Tanpa sadar aku berkhayal begitu jauh. Sebuah khayalan yang tanpa ku sadari akan menjatuhkanku ke jurang terdalam di kemudian hari.

Sebenarnya banyak laki-laki yang mendekati Fany dan mengajak Fany untuk berpacaran. Namun, Fany menolaknya karena baginya itu hanya akan membuang banyak waktu, tenaga dan pikiran. Fany menginginkan suatu hubungan serius yang terikat oleh akad pernikahan. Bukan hubungan yang bermain-main seperti berpacaran.

Akhirnya satu persatu laki-laki yang mendekati Fany pun mundur perlahan-lahan karena merasa belum siap untuk menikah. Aku senang melihat hal itu. Berarti masih terbuka lebar kesempatanku untuk menikahi Fany.

Setelah bertahun-tahun aku bekerja dan menabung akhirnya aku memiliki cukup banyak uang untuk menikahi dan menafkahi Fany. Sudah lama aku menanti saat-saat seperti ini tiba. Dan kini penantianku selama  pasti akan berakhir indah. Aku sungguh senang sekali karena akhirnya aku akan menjalani kehidupan yang bahagia bersama Fany.

Pagi ini aku mengutarakan kepada ayah dan ibuku tentang keinginanku menikahi Fany. Namun, kedua orang tuaku tidak menyetujuinya karena secara harta sangat berbeda jauh dengan Fany yang kaya raya. Sedangkan aku hanya orang biasa. Aku pun berusaha membujuk kedua orang tuaku, aku menjelaskan kepada mereka kalau Fany bukan tipe orang yang menilai orang lain dari derajat kekayaannya. Setelah cukup lama aku mencoba melobby ayah dan ibuku akhirnya mereka menyepakatinya.

Satu minggu kemudian aku pun membulatkan tekadku untuk mendatangi rumah Fany dan melamarnya. Degup hatiku tak karuan. Tanganku gemetaran dan lidahku mendadak kelu. Mungkin aku terlalu grogi menghadapi calon mertuaku nanti. Ah, aku harus menenangkan diri . jangan sampai aku hanya diam saja dan bertingkah konyol saat berada di depan calon mertuaku nanti. Itu sungguh hal yang tak boleh terjadi.

Ku buka pintu rumahku. Ku langkahkan kaki dengan semangat pagi. Ku hirup udara yang begitu segar. Namun,langkahku terhenti ketika melihat manusia yang berhati bidadari. Fany telah berdiri tepat berada di depanku. Jatungku berdegup semakin tak terkontrol. Tanganku gemetaran. Handphone yang ku pegang pun langsung jatuh. Aku jadi merasa salah tingkah di depan Fany. Segera ku ambil Handphoneku dan berusaha bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Dalam hatiku membatin 'memang, kalau jodoh tak kan kemana!'

Namun, tiba-tiba Fany menyodorkan sebuah undangan berwarna merah jambu. Sebuah undangan pernikahan Fany dan Dimas. Rasanya tanganku seperti memegang bara api. Panas. Namun, masih lebih panas hatiku. Kenapa semua harus berakhir seperti ini? Kenapa aku di berikan sebuah harapan bila akhirnya aku di jatuhkan sedalam-dalamnya? Kenapa? aku salah apa? Padahal selama ini aku selalu berusaha berbuat baik kepada siapa pun. Tapi kenapa balasan yang ku dapatkan malah seperti ini. Rasanya sangat tidak adil bagiku.

Dengan mata melotot,telinga memerah, wajah tegang aku sobek undangan itu di depan Fany.  Seketika fany merasa ketakutan padaku. Ia terdiam.

“Kenapa kamu tega melakukan ini semua Fan?” bentakku

“Apa maksudmu? Aku tidak paham?” tanya Fany kebingungan

“Selama ini aku selalu berusaha bekerja keras agar mampu menabung untuk modal menikahimu tapi kau malah menikah dengan orang lain!” jawabku kesal

“Ja.. jadi selama ini kamu diam-diam menyukaiku?” tanya Fany

“Iya, aku menyukaimu. Aku selalu mendo’akanmu siang dan malam. Dan aku sangat sabar menunggu waktu yang tepat untuk melamarmu. Tapi ternyata semuanya berakhir kekecewaan!” jawabku bertambah kesal

“Maaf, selama ini aku tidak pernah tahu tentang perasaanmu. Dan aku tidak pernah memiliki perasaan apapun kepadamu!” ucap Fany

“Kenapa Fan? Karena dulu aku miskin? Kau lebih memilih Dimas karena dia kaya raya kan? Semua wanita sama saja!” tuduhku kepada Fany. Aku tak menyangka kalau Fany yang ku kira sebagai gadis sholehah ternyata sama saja materialistis seperti kebanyakan gadis lainnya.

“Cukup Ran. Kamu jahat sekali menuduhku seperti itu. Aku tidak pernah sedikit pun menilai seseorang berdasarkan hartanya. Aku mencintai Dimas murni dari hati terdalam. Bukan karena harta!” ucap Fany bersedih. Terdengar suaranya sesenggukan menahan tangisnya.

“Semoga kamu mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada aku!” lanjut ucap Fany sambil menahan tangisnya lagi. Namun, tetap saja air matanya tak terbendung. Ia tak menyangka kalau aku tega menuduhnya materialistis.

Fany beranjak pergi meninggalkanku. Ia berjalan semakin menjauh bersama air mata yang tak kunjung habis. Semakin jauh, jauh dan akhirnya Fany menghilang dari pandanganku. Menghilang pula dari kehidupanku.

Aku terdiam menyesal. Menyesali kebodohanku yang begitu jahat membuat orang yang aku cintai menangis karena tuduhan kejamku. Ah, andai saja aku aku dapat menarik kembali perkataanku. Fany tidak bersalah. Selama ini ia tak pernah memberikan harapan apapun kepada orang lain termasuk aku.

Aku yang terlalu gede rasa kepada Fany. Sehingga aku salah paham dan mengira kalau Fany juga merasakan hal yang sama seperti yang ku rasakan. Aku terlalu menyandarkan harapan-harapanku kepada Fany sehingga aku terluka oleh harapanku sendiri. Aku menyesal.

Namun, kini semuanya sudah terlanjur terjadi. Penyesalan hanya akan mengukir luka yang abadi. Kini yang bisa ku lakukan adalah belajar dari semua kesalahan ini agar tidak mengulang keslahan yang sama di masa depanku.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang pemuda sederhana, penyuka Nasi pecel dan suka menulis apapun yang ada di pikirannya.