Cerita Tentang Mama

Hari ini aku pulang menimba ilmu dari tanah rantau. Membawa gelar sarjana yang telah lama menjadi impianku, terlebih Mama. Maklum, Mama hanya lulusan SMA. Mama pernah bercerita, dulu ia ingin lanjut kuliah, tapi ekonomi keluarganya sangat tidak memadai. Kakek hanya bekerja sebagai buruh kasar bangunan dan Nenek hanya pedagang kecil. Karena itu, Mama dengan berat hati mengubur impiannya menggapai cita yang lebih tinggi. Ia memutuskan untuk menikah dengan Papa. Kala itu usianya baru 21 tahun, usia yang masih sangat muda. Melihat diriku yang kini berdiri di tangga usia 23 dengan segala tingkah ababilku, tak bisa kubayangkan entah bagaimana waktu itu Mama menjalani hari-harinya sebagai seorang ibu muda.

Advertisement

Teman-teman dan ibu-ibu sebelah datang ke rumah, mampir mengucapkan selamat untukku, sekaligus rumpi tentang hal-hal ‘itu’, apalagi kalau bukan soal suntuk kepala mereka menghadapi tingkah anak-anak di rumah. Tetapi Mama dengan bangga mengatakan, “Saya punya anak yang hebat!” Wuhhh!! Merah pipiku mendengar Mama membanggakanku di depan ibu-ibu. Mereka hanya menjawab Mama dengan gampang, “Yah, Buk, emang anaknya yang udah baik dari sononya. Ibuk beruntung ya, punya anak-anak yang baik.” Ibu yang lain ikut bersuara, “Liat rumahnya sebagus ini, dulu pasti udah hidup senang juga ya. Kalau ekonomi udah mapan, pasti lebih enak ngurus anak-anak. Gak perlu tiap hari kerja lembur. Anak-anak juga dapat perhatian. Ya, pantes anaknya baik-baik semua.” Hahahahaha! Aku tertawa dalam hati, berusaha keras agar bibirku tak memunculkan senyum apa pun, kutahan sekuat mungkin sampai telingaku terasa panas.

SALAH! Kehidupan keluarga kami berawal dari sebuah rumah kontrakan sempit, dengan atap bocor, dan dapur yang rajin kedatangan kecoa, lipan, berbagai jenis serangga dan non serangga lainnya. Ditambah lagi caci hina dari mertua Mama. Dulu ketika umurku masih enam tahun, Mama sering curhat padaku, soal mertuanya yang memandang dia dan keluarganya sebelah mata. Yah, bisa dikata keluarga dari Papa cukup berada, namun apa daya, cinta selalu pulang ke hati mereka berdua. Alhasil, mereka nikah tanpa restu alias kawin lari. Dan dimulailah hari-hari berat kehidupan keluarga kami. Dengan wajah sejuta rasa sedih, Mama berkata, “Sakit hati mendengar omelan Nenekmu yang sangat menyepelekan Mama. Apalagi, tatapan Kakekmu yang terlihat sangat merendahkan. Tapi kita gak boleh benci ya, Nak. Harus hormat pada orang tua. Dan kamu.. Kamu adalah kado yang diberikan Tuhan untuk Mama. Kamu harus bisa berkuliah, jangan mau hanya tamat SMA seperti Mama. Susah nyari kerja. Kamu harus jadi anak yang membanggakan. Dengan begitu, orang-orang tidak akan menyepelekan kita lagi. Janji ya, Nak.” Aku ingat Mama mencium dahiku waktu itu. Meski tubuhku kecil, aku punya hati yang besar untuk memahami perasaan Mama. Diam-diam kutorehkan janji polos dalam diri, aku akan jadi anak yang baik.

Kehidupan keluarga kami mengalami jatuh bangun, bahkan sering sangat jatuh. Penghasilan Papa dari pekerjaannya sebagai supir angkutan umum sangat tidak menentu. Terkadang ia hanya membawa setoran bersih (hasil dari pembagian gini gitu dengan mandor) sebesar seribu rupiah, terkadang lima ratus, kadang juga seribu lima ratus, dan sering pula nol ratus. Pernah sekali, Mama hanya memasak tiga telur cepluk, cukup untuk aku, Mama, dan Papa. Tapi saat akan makan malam, ketiga telur berharga itu lenyap digondol makhluk non serangga, apalagi kalau bukan kucing. Miris sekali waktu itu. Tapi dengan lapang dada, Mama menyiapkan nasi dan mengganti lauk dengan kerupuk dan kecap. Aku ingat dia berkata, “Ya sudahlah gak apa-apa. Mungkin kucingnya juga punya anak yang lagi kelaparan. Besok pasti ada rejeki lain. Hari ini disyukuri saja kita masih bisa makan nasi, pake kecap ada kerupuknya lagi. Hahaha!” Hahh.. Mendengar tawanya yang memberi semangat, makanan di hari itu berubah rasa; kerupuk bagaikan ayam goreng, dan kecap laksana sup kaldu. Nikmat betul jika segala hal dilakoni dengan penuh syukur.

Advertisement

Kehidupan kami mulai berubah ketika Kakek memberi ijin kami untuk menempati rumahnya di komplek perumahan tentara pensiunan. Dan Nenek meminjami Mama satu kios baju miliknya. Dari sana, Mama mulai putar pikiran untuk mengelola kios itu dengan pinjaman modal dari Nenek yang sebenarnya tidak seberapa. Mama mulai mengisi kios itu dengan helai-helai baju yang jumlahnya dapat dihitung jari-jari. Perih hatiku ketika melihat para pembeli menolak baju yang disodorkan Mama karena modelnya yang kalah saing dari kios tetangga. Ah ya, belum lagi upeti yang harus disetorkan Mama setiap bulan pada Nenek sebagai ganti modal dan kios yang telah dipinjamkannya. Alhasil, ia sering pulang dengan tangan kosong. Tapi Mama selalu berkata, “Tuhan pasti akan membuka tingkap-tingkap rejeki bagi hamba-Nya yang setia.” Sungguh tangguh iman Mama menghadapi kesusahan kala itu. Lagi-lagi, kecap dan kerupuk menjadi teman butir-butir nasi kami. Tak sekali pun kami, anak-anaknya, menyimpan sungut-sungut dalam hati. Sumpah, kami tak berani. Sungguh tak tahu diri jika kami bermanja lagi di saat hidup seperti ini. Hanya syukur yang setia terucap dalam hati. Meski aroma rendang rumah sebelah tercium lezat, tapi makan nasi bertemankan krupuk dan kecap di dalam keluarga ini jauh lebih nikmat.

Bukan hanya perkara kecap dan kerupuk yang selalu menjadi teman makan kami, kesulitan ekonomi waktu itu pun menjalar sampai ke pakaian dalam kami. Aku ingat pernah melihat di jemuran belakang tergantung dalaman Mama yang sudah bertambah ukurannya -molor- dan tambah kolongannya -robek-, hal ini berlaku pula untuk dalaman Papa, juga aku. Mengatasinya cukup mudah. Tinggal jahit kedua sisi pinggangnya untuk mengecilkan ukuran, atau cara yang lebih ekspres; ikat dengan karet gelang. Hahahaha! Lucu memang, jika diingat saat ini. Aku ingat ucapan Mama waktu itu, “Asal kalian bisa sekolah, pakai karung pun Mama rela.” Ia berkata dengan sungguh-sungguh. Dan satu lagi janji yang kuikat dalam hati, aku akan menjadi orang berhasil.

Advertisement

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, usaha dagang Mama memperoleh titik terang. Karena kejujuran dan kegigihannya, banyak pemasok yang mempercayakan pakaian-pakaian mereka untuk dijual Mama, dan itu semua dengan pelunasan di belakang. Alhasil, sedikit demi sedikit, kios kering itu mulai disesaki dengan lusinan dan pajangan baju yang tak kalah model dengan tetangga. Untung yang sedikit-sedikit dikelola Mama dengan baik hingga ia mampu melunasi hutang modal dari Nenek dan mengumpulkan biaya membeli kios itu dari Nenek. Dari sanalah kehidupan kami terus berjalan. Aku tak mengerti istilah roda kehidupan. Aku hanya paham tangga-tangga hidup. Kadang naik, kadang harus turun. Turun bukan untuk terpuruk, tapi untuk mempersiapkan langkah, berlari menuju tangga puncak.

Dari usaha dagang Mama, kami dapat bersekolah. Dari sana, Mama dapat merenovasi rumah tua pemberian Kakek. Dan dari sana pula, Mama menghantarku sampai ke bangku kuliah. Dan hari ini aku pulang. Kembali dari tanah rantau, menggali ilmu serta makna hidup. Membawa gelar sarjana yang telah lama menjadi impianku, terlebih impian Mama yang tak berkesempatan duduk di bangku kuliah. Padaku ia titipkan mimpi yang pernah ia kubur, mengenai angan dan cita. Teman-teman dan ibu-ibu sebelah datang ke rumah, mengucapkan selamat, sekaligus numpang rumpi ini itu. Mama hanya menanggapi dengan senyum dan sedikit kata. Tak begitu menanggapi dugaan ibu-ibu tentang hidupnya yang seperti tanpa susah. Kulihat senyum di wajahnya yang kini penuh sejuta bahagia. Hanya aku yang paham bagaimana kala itu Mama berjuang melawan kerasnya hidup. Sungguh. Ia sosok yang hebat. Satu janji terakhirku dengan harga mati, Ma, aku akan membahagiakanmu.

Terima kasih, Ma.

P. Sandra D.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penulis biasa yang menikmati hening dan mencintai tetes hujan.