Aku dalam masa penantian hal baik sebelum berakhirnya ramadan tahun 2021 ini, meski aku juga tahu aku telah menghadapi hal buruk karena tak bisa pulang merayakan dengan keluarga hari raya Idul Fitri. Aku melakukan kegiatan terakhirku di 2 ramadan terakhir dengan sungguh-sungguh. Mengerjakan tiap soal yang berkedok 'final test' itu sebagai pertempuran terakhir bagiku. Secara tidak langsung, aku menggantungkan nasibku pada final test pagi hari itu.Â
Tekanan yang sama tak hanya tertuju di hati dan pikiranku, sebab aku bersama dengan 23 orang lain yang dinyatakan lolos dalam tahap on job training sampai hari itu. Sampai pada pertengahan siang yang dingin dalam ruangan, berubah suasananya jadi hangat bahkan mendidih dalam hati dan pikiran kami sampai sore yang akan lewat, hari itu.Â
Aku mengenang hari itu sebagai bad news saja, ketika si pembicara mengatakan akan ada good news di antaranya. Aku menyebutnya sebagai pengusiran secara halus ketika si pembicara selalu mengatakan 'mungkin saja' ketika menyebutkan kesempatan tanpa memperlihatkan peluang nyata pada kami. Jaket yang kukenakan tak lagi menghangatkan, mendengar si pembicara menjawab pertanyaan dengan ragu, meski telah memiliki template jawaban yang seolah pasti. Sekali lagi, jaket itu bahkan ingin aku lepas karena bahkan tubuhku panas mendengar si pembicara membual tanpa merasa resah dan bersalah.Â
Kami sama-sama dalam tanya: Bagaimana bisa? Status kami ini apa? Organisasi sebesar itu kenapa memiliki cara yang tak terkelola sama sekali? Apa mereka tak berpikir bahwa kami telah menghabiskan banyak waktu dan energi mengurusi hal ini? Siapa sebenarnya mereka yang memindahkan kami seenaknya, seperti pion-pion pada bidak catur yang ditinggalkan pemainnya? Lalu, berapa banyak mereka menyakiti orang lain seperti mereka menyakiti kami, tak tahukah mereka kami menahan amarah selain karena "bingung mau bagaimana", juga karena hari itu masih ramadan?
Kami pulang dalam keadaan limbung, bahkan sebagian kami tak bisa pulang dengan berita yang kami sambung buat cerita lebaran gara-gara hari itu. Aku mencoba sadar dan sabar di antara ketidakadilan yang sedang menghujam kami. Masih dengan senyum dan tawa yang sama, kusuguhkan senyata mungkin di lebaran hari pertama kemarin lewat panggilan video dengan keluarga dan saudara-saudaraku di rumah. Iya, di rantau cuma pura-pura tabah. Masih di rantau dan jadi tak tahu harus melakukan apa?.Â
Aku jadi menyesali ditinggal ramadan tahun ini. Ramadan jadi waktu yang kubuang sia-sia rasanya hanya karena 'hari itu'. Aku merasa sangat berdosa pada Allah SWT dan semesta atas segala waktu yang kucurahkan tapi jadi meringsak pelan di akhir ramadan dengan penyesalan. Rasanya, ramadan sungguh singkat, kesempatanku buat mengumpulkan niat mengambil keputusan juga belum cukup kuat. Aku rapuh, belum terjadi tapi sudah ditinggal saja ramadan tahun ini. Sejujurnya, aku juga takut menghadapi hari setelah ramadan ini oleh karena itu, aku menangisi kepergian ramadan tahun ini.Â
Setelah menangis sepuasnya, aku kembali rasional. Di lebaran hari kedua, ketika kutulis cerita menyakitkan yang tak hanya bagiku ini, aku setuju pada ungkapan,
"Jangan sedih dengan berlarut, jangan terus merasa kamu paling rendah, padahal kamu masih punya daya untuk melakukan hal yang kamu bisa. Mungkin saat ini memang bukan waktu yang tepat bagimu, sekarang kamu masih harus berjuang lagi, jadi bangkitlah."
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”