Mentari belum menari. Hari masih terlalu pagi. Embun pagi sedari tadi menyapa dedaunan. Burung-burung terbang dari pohon ke pohon, menyapa penghuni bumi agar lekas terbangun dari tidur lelap. Melanjutkan perjalanan menuju hari-hari dengan sejuta harap terus menjadi baik. Ayam peliharaan kami turut bersahut-sahutan di pucuk pohon alpukat, seolah-olah membangunkan seisi rumah untuk lekas melanjutkan hidup.
Ia akhirnya bangun lebih awal. Naluri memaksanya untuk bangun lebih pagi. Beban menumpuk di pundaknya menjadi alasan untuk terus melanjutkan ayunan langkah. Ia tak banyak alasan untuk terus-menerus memangku tangan. Di bola matanya yang sayu, tersimpan beban pengabdian yang harus ia kerjakan dari waktu demi waktu.Â
Terkadang ia bangun kesiangan, bila di malam hari menuntaskan kerajinan tangan yang ia biasanya kerjakan semenjak gadis dulu. Ia lihai membuat tikar, anyaman tradisional dari daun pandan. Tangannya yang mulai keriput kelampau cekatan dalam membentuk motif demi motif dalam sehelai tikar yang ia hasilkan. Bila malamnya ia mengerjakan sehelai tikar, jangan heran kalau ia bangun kesiangan.
Saban hari ia bangun dari tidurnya, lalu menyalakan tungku api di dapur. Majunya peradaban tak memaksanya untuk lekas memakai kompor gas. Ia kelampau nyaman dengan tungku api, tak ada niat sekalipun untuk beralih dari warisan mertuanya dulu.Â
Alasan itu ia terus ajukan di depan kami kala berkumpul di meja makan. Dalih dari lidahnya mungkin sederhana, tak masuk di akal sehat, tetapi sejujurnya ada cinta di balik itu semua. Ia tak mau merepotkan seisi rumah hanya demi memenuhi keinginannya semata. Ia masih kuat.Â
Seusai masakan disiapkan, ia mengundang seisi rumah untuk menyantap makanan yang disajikan. Cita rasa dari masakannya begitu menguat. Walau tampilannya ala kadar, namun rasanya menggoyangkan lidah, menempel dalam memori dari orang-orang yang menikmatinya. Penghuni rumah kadang dibuatnya heran. Ia menyuguhkan segalanya penuh cinta.Â
Di sela cerita-cerita di meja makan, ia lebih banyak diam. Ia sadar kalau saja buah hatinya sebagian besar telah menjadi anak dewasa. Namun di matanya, anak-anak yang telah dewasa tadi masih dipandang sebagai anak kecil yang membutuhkan dorongan dan tuntunannya.Â
Ia lalui hari tak hanya di rumah saja. Hari-harinya ia pergi ke ladang. Di situ ia tanam banyak hal untuk dikonsumsi oleh keluarga, sebagiannya ia jual untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Baginya lebih baik membahagiakan buah hatinya daripada berpangku tangan tanpa mempersembahkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Di situ kadang saya kagum dengan pengabdiannya.Â
Wanita itu, ia selalu membuatku kagum. Kesetiaannya untuk mendampingi hidup dari lelaki yang tidak dikenalnya sama sekali membuatnya istimewa. Ia memang satu di antara beribu orang hebat di atas muka bumi ini.Â
Saat hari ia merayakan kebahagiaannya, merayakan hari di tanggal 22 Desember setiap tahunnya, ia hanya diam membeku, tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya. Pikirannya terus berputar untuk memuliakan buah hatinya. Ia belum bisa menafsirkan dengan sempurna, apalagi untuk mencerap setiap kata, mencerna setiap makna. Ia hanya punya cinta yang kokoh.Â
Bermodalkan cinta yang tulus, ia selalu konsisten untuk berdoa dalam khusyuk.
Tuntunlah mereka Tuhan, hingga mereka dapat melangkah menuju tangga yang lebih baik setiap harinya.
Demikianlah ia yang selalu punya cara sederhana untuk memanjatkan harapan. Wanita itu. Ia ialah ibu kita tercinta.
Selamat Hari Ibu untuk seluruh ibu di muka bumi. Hormat!
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”