Suami saya ini gimana ya, Dok? Bahaya tidak ya, Dok, tanya ibu paruh baya sambil terus menangis.
Ya, gimana, ya. Susah menjelaskan sekarang, Bu, jawab tenaga medis yang sedang memeriksa pasien.
Percakapan itu terjadi pada 15 Juli 2021 pukul 12.30 WIB di sebuah rumah sakit, tepatnya di ruang IGD nomor 12, sebelah ruang simbah yang ada di ruang 13. Seorang ibu sedang menunggu suaminya yang sedang sakit parah. Terdengar suara suaminya meraung kesakitan, ibu yang mengenakan kaus biru itu mondar-mandir mencari pertolongan.
Kondisi pasien laki-laki itu semakin memburuk, dua tenaga medis datang menghampiri dan mencoba menenangkan sang istri yang terlihat sudah sangat cemas. Setelah beberapa upaya dilakukan, pasien di kamar sebelah kanan simbah saya itu, akhirnya meninggal dunia.
Melihat itu, tidak banyak yang bisa saya perbuat. Saya hanya berdoa dan terus berdoa. Saya ingin bergerak dan mencoba menenangkan ibu itu, tetapi di sisi lain saya juga harus menenangkan simbah saya yang shock mendengar jerit tangis ibu tersebut. Situasi ini semakin getir saat seorang anak perempuan usia belasan tahun teriak histeris memeluk pasien yang sudah meninggal dunia.
Kamu bunuh Bapak saya, ya! Ujar anak itu menunjuk dua tenaga medis di depannya.
Saya hanya menjalankan tugas. Tolong segera keluar dari ruangan ini. Pasien yang mengantri di luar masih banyak, Kata Nakes yang terlihat sudah sangat lelah.
Saya yang tidak kuat melihat situasi itu, langsung keluar dari IGD dan memanggil adik ponakan untuk gantian menunggu simbah. Di luar, terlihat banyak pasien yang sudah mengantri untuk mendapatkan perawatan. Sementara itu, tidak sedikit juga para pasien yang ditolak pihak Rumah Sakit karena hanya diutamakan para penderita Covid-19.
Simbah saya sendiri dilarikan ke RSUD pada 14 Juli 2021 sekitar pukul 22.00 WIB. Sebelumnya, pihak keluarga saya sudah merawat simbah di rumah selama 13 hari. Selama 13 hari di rumah, awalnya simbah hanya mengeluhkan sakit perut dan kepala, namun pada 13 dan 14 Juli, simbah mulai mengalami sesak napas.
Melihat simbah sesak napas, saya dan keluarga pada 14 Juli sekitar pukul 21.00 WIB berusaha mencari oksigen. Hampir semua agen oksigen yang ada di Gunungkidul sudah saya hubungi, namun tidak satu pun oksigen yang saya dapatkan. Hingga akhirnya, saya mendapatkan dua oksigen kaleng yang saya dapatkan dari seorang teman yang kebetulan kerja di apotek.
Kemudian pada 15 Juli, persediaan oksigen kaleng sudah habis. Sementara itu, kondisi simbah semakin memburuk, hal ini ditandai dengan saturasi-nya menurun, yakni 89. Saya berusaha mencari oksigen kembali, namun lagi-lagi semua agen oksigen telah habis.
Pukul 22.00 WIB, saturasi simbah semakin menurun, yaitu 80. Tidak ada pilihan lain kecuali membawanya ke Rumah Sakit. Sampai di ruang IGD, simbah langsung diperiksa dan mendapatkan oksigen.
Saya merasakan betul bagaimana dilema yang tengah dihadapi para tenaga medis. Menolak para pasien yang ingin mencari kesembuhan tentu saja bukan pekerjaan mudah. Tetapi, situasi memang benar-benar sulit dan cukup membingungkan. Di mana persediaan tempat, oksigen, dan peralatan medis lainnya khusus untuk penderita Covid-19.
Dilema yang dihadapi para tenaga medis juga  sempat saya rasakan ketika ingin membawa simbah ke Rumah Sakit. Hampir setiap hari saya mendengar banyak saran dari tetangga yang peduli dengan kondisi simbah.
Ada beberapa tetangga yang menyarankan agar simbah dibawa ke klinik dan cukup dirawat di rumah. Tetapi, juga tidak sedikit yang menyuruh agar simbah segera dilarikan ke Rumah Sakit untuk opname. Dengan banyak pertimbangan, akhirnya saya memutuskan untuk merawat simbah di rumah sekitar tujuh hari, sebelum akhirnya saya bawa ke Rumah Sakit.
Saya akui sangat tidak mudah merawat orang sakit selama beberapa hari di rumah. Selain harus terus memberinya obat, makanan, dan memantu kondisinya selama 24 jam, saya juga harus memastikan keadaan tubuh saya dan keluarga tetap dalam keadaan sehat. Maka dari itu, agar kesehatan kami tetap terjaga, keluarga memutuskan untuk bergantian menunggu simbah.
Hal inilah yang kemudian membuat saya menaruh rasa hormat setinggi-tingginya kepada para tenaga medis yang bekerja siang dan malam. Sungguh bukan suatu pekerjaan yang mudah merawat orang sakit dengan situasi seperti ini. Tidak hanya harus kuat secara fisik, tetapi mental juga sangat dibutuhkan.
Di balik kerja keras para Nakes yang bertaruh nyawa melawan Covid-19, masih aja ada kabar bahwa insentif Nakes beberapa kali tak kunjung cair. Jika hal ini benar-benar terjadi, tentu saja sangat memprihatinkan. Orang-orang yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus, justru nasibnya tidak jelas dan semakin terabaikan.
Terlepas dari itu semua, para tenaga medis tetap memperlakukan simbah saya dengan sangat baik. Meski akhirnya nyawa simbah tidak tertolong, tetapi selama simbah dirawat sehari semalam di Rumah Sakit, mereka sudah bekerja secara maksimal dan sebaik mungkin.
Setelah dimandikan, dikafani, dan disalatkan, simbah saya langsung diantar menggunakan mobil ambulance dari Rumah Sakit hingga ke pemakaman. Sepanjang perjalanan pulang, saya hanya bisa berdoa agar orang-orang yang berpapasan dan mendengar suara sirene ambulan itu, mau mendoakan simbah agar khusnul kotimah dan mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT.
Di balik peristiwa itu, saya belajar bahwa menjalani hidup memang harus siap dengan segala sesuatu yang mungkin bisa terjadi. Harus selalu siap kehilangan orang-orang yang kita cintai. Biarkan ini menjadi catatan sejarah yang akan menjadi bekal bagi hidup saya dan keluaraga di masa mendatang.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”