Ibumu sedang berada di dapur. Ia bergerutu seorang diri. Dari ruang tengah kamu mendengar keluhannya. Ia mengeluh soal persediaan kayu bakar yang menipis. Ia memang tidak mengeluarkan pernyataan untuk memerintahmu agar lekas mencari kayu bakar. Tapi itu sebenarnya sebagai salah satu isyarat agar kau lekas mencari kayu bakar. Kau harus peka, tidak boleh apatis dengannya.Â
Kau pun angkat kaki, tak lupa mengambil parang yang digantung di tempat ayahmu biasa menyimpan. Ibumu melihat dari pintu rumah. Ia tersenyum saat melihat kau pergi untuk mewujudkan keluhannya. Tanpa mengajak teman-teman kecil yang lain, kau malah pergi seorang diri menuju ke hutan untuk mencari kayu bakar.
Belakangan ini, kau sering berujar pada orang-orang yang ada di sekitarmu, jika sekarang kau telah tumbuh menjadi jagoan, tak takut kalau jalan tengah malam seorang diri. Padahal kau hanya bersilat lidah, nyatanya kau masih meminta bantuan dari saudaramu yang lebih tua saat ingin membuang air kecil  di tengah malam. Mentalmu memang tak segarang omonganmu, kau hanya belum menyadari jika nyalimu tidak seberapa. Â
Di dalam perjalanan, kau berhenti tepat di lapangan sepak bola yang terletak di ujung dusun. Di sana teman-teman sepermainanmu sedang berkumpul. Jumlahnya sebelas orang, kurang satu orang untuk genap duabelas orang untuk dibagi ke dalam dua tim sepak bola mini. Kau terkesima melihat keberadaan mereka. Seketika muncul keinginan untuk bergabung di dalam salah satu tim.
Mereka pun memberi tawaran agar kau bergabung di dalam salah satu tim. Konon mereka tak membutuhkan performamu di dalam tim tersebut, asalkan bisa menggenapi angka ganjil di dalam pertandingan yang tidak bisa berlangsung itu. Kau terpaku sejenak. Tatapanmu kosong. Merasa dilema antara mencari kayu bakar atau memilih bergabung ke dalam salah satu tim.
Kau masih berdiri di dekat tiang gawang. Kalau saja tidak pergi mencari kayu bakar, kau merasa bersalah dengan ibumu di rumah, orang baik yang menunggu dengan sejuta harap. Namun kuatnya godaan dari teman-temanmu membuyarkan niatmu untuk mencari kayu bakar. Kau malah bergabung dalam salah satu tim.
Pertandingan segera dimulai. Jumlah pemain pas, berkat keputusanmu untuk bergabung ke dalam salah satu tim. Parang yang kau bawa diletakkan begitu saja di pinggir lapangan. Walau kondisi lapangannya berlumpur, pertandingannya kelampau seru. Sampai-sampai kau dibuatnya lupa waktu, kayu bakar tidak jadi dicari.
Sore pun pergi menjemput malam. Pertandingan bubar. Teman sepermainanmu kembali ke rumah mereka masing-masing. Kau pun turut pulang ke rumah. Di kejauhan, kau melihat ibumu menunggu di halaman rumah. Tangan kanannya menggenggam sebatang kayu kecil. Ia seperti monster yang hendak memangsa buruannya.
Raut wajahmu menampilkan ekspresi penuh sesal. Kau dirundung perasaan bersalah dan dilema, antara pergi menghadap ibu atau putar haluan demi menyelamatkan diri. Namun kau ingat pelajaran di sekolah tentang berani mengakui kesalahan yang telah dilakukan, satu di antara sikap penuh tanggung jawab yang selalu dikampanyekan oleh kepala sekolahmu.
Kau pun berjalan penuh sesal ke hadapannya. Tepat di depannya, kau dijemput oleh sebuah pukulan yang mendarat di betis kirimu. Rasanya memang perih. Tapi kau menyadari kalau saja itu tak sebanding dengan rasa sakit yang dialaminya. Seketika kau diam membisu, bibirmu bergetar, kau memilih untuk tidak berkata apa-apa.
Perasaan bersalah atas tingkahmu yang penuh angkuh menghiasi lamunanmu. Sesal memang selalu datang terlambat. Ia muncul kala nasi menjadi bubur. Bahkan untuk tidak mengecewakan hati dari malaikat terbaik sejagat raya, acap kali kita absen melakukannya. Manusia macam apa kita ini. Semoga pembaca Hipwee tidak begitu. Â Baik-baiklah dengan orang baik di rumah kita masing-masing.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”