Kita hidup di era di mana kecantikan adalah segala-galanya. Banyak orang berusaha keras untuk mendapat pengakuan ‘cantik’ dari orang-orang di sekitarnya. Berbagai cara pun dilakukan untuk mengikuti standar kecantikan yang bak sudah melekat di masyarakat banyak. Memutihkan kulit misalnya, banyak orang tergiur mengenakan produk pemutih kulit dengan iming-iming menjadi cantik dengan kulit putih. Kata-kata seperti “wajah cantik dan putih,” “memutihkan kulit dengan cepat,” “tidak ada cowok yang menyukaimu? Coba putihkan kulit dengan ini,” dan semacamnya merupakan kata yang lazim menjadi naskah iklan produk kecantikan.
Produk-produk tersebut memanfaatkan stereotip 'kulit putih adalah standar kecantikan' sebagai pangsa pasar mereka. Tak heran produk pemutih kulit merupakan salah satu jenis produk yang paling banyak beredar di Indonesia. Mereka menganggap kulit putih sebagai sesuatu yang diagung-agungkan, sedangkan kulit hitam sebaliknya. Standar kecantikan ini lah yang terkadang menjadi salah satu penyebab perilaku bullying di mana orang yang tak bisa mengikuti standar tersebut sering kali direndahkan.
Stereotip kulit putih ini sebenarnya sudah berkembang sejak zaman sebelum dimulainya perang dunia, di mana kulit putih merupakan ras superior yang berhak menindas kaum kulit hitam. Media massa pun tak dapat dipungkiri mempunyai andil besar dalam pembentukan stereotip dan standar kecantikan tidak baku ini. Padahal, kulit putih dan kulit hitam merupakan bagian dari keberagaman yang ada di dunia.
Bangsa Eropa mungkin lazim dengan kulit putihnya, namun sebaliknya, kulit hitam merupakan hal yang lazim bagi orang Afrika. Setiap manusia tidak bisa meminta ingin dilahirkan dengan kulit seperti apa, karena semua itu merupakan sifat alamiah, dan kita semua berhak nyaman dengan itu, berkulit putih, hitam, maupun sawo matang berhak untuk merasa cantik dan diperlakukan dengan baik.
Kecantikan pun sebenarnya jika kita lihat dalam kacamata yang lebih luas, bukanlah terbentuk dari persepsi dan padangan orang lain, namun bagaimana kita menerima diri kita seutuhnya. Kita tidak harus mengikuti standar kecantikan di mana cantik itu harus putih, tinggi, dan langsing, karena sejatinya, kita-lah yang seharusnya membentuk standar kecantikan untuk diri kita sendiri. Jika kita merasa nyaman dan senang dengan bagaimana pun diri kita, maka kita akan merasa puas dengan diri kita sendiri. Tidak usaha takut orang lain akan berpikiran seperti apa terhadap diri kita, apalagi merasa tidak akan ‘laku’ mendapatkan pasangan.
Merasa cantik itu sah-sah saja, namun berusaha keras mendapat pengakuan cantik dari orang lain bukanlah hal yang seharusnya kita lakukan. Standar kecantikan itu tidak harus putih, tinggi, langsing, namun kitalah yang seharusnya menentukan standar kecantikan kita sendiri. Selama kita nyaman dan senang dengan diri kita, mengapa tidak?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”