Apa sebenarnya korelasi antara hujan dan perasaan?
Sudah banyak puisi, novel, film, atau tulisan lain yang menggambarkan tentang hujan dan perasaan. Kebayakan orang menjadi lebih melankolis ketika langit mulai mendung dan mulai menjatuhkan titik-titik air yang sebenarnya adalah bagian dari suatu siklus: air di daratan menguap, menjelma uap air, berkumpul menjadi awan dan kemudian jatuh sebagai hujan. Ya, sebuah perputaran air, di mana air yang berada di bumi akan kembali ke langit, kembali lagi ke bumi, kembali lagi ke langit, dan seterusnya.
Lalu mengapa kebanyakan orang menjadi banyak mengenang ketika turun hujan, apalagi jika sedang sendirian?
Bahkan aku pun tak luput dari perasaan aneh itu.
Langit mulai menghitam. Angin terasa semakin dingin. Aku menatap hujan yang mulai turun dari balik jendela kaca di tempatku berada. Kemudian perasaan-perasaan itu menyerbu masuk tanpa diundang. Rindu. Ada begitu banyak rindu. Aku merindukan rumah, kampung halaman yang jauhnya ratusan kilometer dari tempatku berada. Ketika hujan turun di sana, aku bisa melihat pelataran yang luas dan seluruh pohon-pohon menjadi basah. Ada sawah di samping rumah yang ketika hujan deras reda akan menjelma lautan tempatku dulu bermain perahu dari pelepah pisang. Hujan juga mengingatkanku pada segelas kopi hitam buatan ibu, yang akan menemani kami selagi bercerita tentang apa saja sambil menunggu hujan mereda. Hujan, kopi dan ibu: perpaduan sempurna yang tidak akan bisa kudapatkan penggantinya di manapun di seluruh dunia.
Hujan di luar jendela makin deras dan mendadak aku ingin pulang.
Bukankah kata “pulang” menjadi semakin bermakna jika kita telah mengerti artinya “rindu”?
Hujan terus tumpah dan menyerangku dengan butiran-butiran kenangan yang lain.
Kamu. Iya, kamu.
Kamu yang pernah terpisah jarak dua kota denganku, tapi terasa begitu dekat. Kamu yang akhirnya pernah duduk hanya terpisah sebuah meja denganku, tapi terasa jauh, begitu jauh.
Pada suatu malam yang hujan, aku pulang ke kota kita dan menunggumu di tempat biasa. Tapi hujan terus saja turun dan turun semakin deras. Kau terjebak di kampusmu, tidak bisa pulang karena tidak membawa jas hujan. Kau bilang agar aku tidak usah menunggu. Sebab, menanti hujan mereda adalah sebuah ketidakpastian yang tidak bisa kau janjikan. Aku pun pulang, terpaksa menelan kembali rindu yang sudah terlanjur pekat seperti mendung sebelum hujan itu turun.
Pada suatu malam yang hujan, kau marah padaku dan memacu motormu seperti orang kesetanan. Aku menahan air mata diam-diam, menunggu kita terpisah dan hanya berani meminta maaf lewat pesan pendek yang kukirimkan. Kau bilang kau memang marah, karena tidak suka aku hanya diam dan menyobek-nyobek kertas tisu di depanmu. Aku mencatat hal itu baik-baik agar tidak mengulanginya lagi di kemudian hari.
Tapi ternyata tidak ada lagi kemudian hari itu.
Ketika aku pulang lagi pada hari mendung yang selanjutnya, kau tidak akan pernah lagi ada di sana. Kau bilang kita tidak bisa lagi diselamatkan. Aku dihujani berbagai macam kesedihan selagi menapaki jalan pulang yang dulu pernah kulewati bersamamu. Hidup kita terus berjalan dan kita berubah menjadi dua orang teman yang kesulitan untuk sekedar saling bertegur sapa.
Hujan masih saja jatuh. Aku memperhatikan air yang turun membasahi daun-daun.
Barangkali kenangan-kenangan itu akan terus saja jatuh menyerbuku seperti hujan, untuk kemudian kembali lagi pada muara bersama aliran air, kemudian berkumpul lagi menjadi awan dan jatuh lagi mencariku ketika hujan turun. Maka aku masih saja tidak mengerti, apakah yang jatuh dari langit itu air, atau memang kenangan-kenangan yang tersimpan?
Aku tidak peduli lagi.
Bukankah hidup ini sejatinya memang bertujuan untuk membikin kenangan? Asalkan aku terus berjalan maju dan tidak lagi kembali ke belakang, aku rasa aku akan tetap baik-baik saja.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Hujan memang begitu.
Disinipun sama.