Entah sudah berapa kali aku jatuh bangun demi sebuah pencapain. Keinginan memenuhi standar kecantikan yang tercipta di sekitarku; tubuh tinggi langsing, kulit putih, dan rambut yang panjang nan lurus. Namun, beribu pujian rasanya tidak pernah cukup untuk aku bisa berdiri tegak – menghargai diri sendiri.
Sebaliknya, sepenggal kritik atas tubuh ini mampu menjatuhkanku begitu dalam. Aku ingin percaya padamu yang menyatakan aku cantik adanya. Aku ingin percaya padamu yang mengatakan bahwa tubuh ini ideal adanya. Sayangnya, aku tidak bisa.
Tapi kenapa kata-kata itu terdengar begitu palsu bagiku? Kenapa rasanya semua itu hanyalah formalitas semu dan basa-basi semata. Karena aku tahu kamu adalah ibuku, kamu pasti menganggap anakmu adalah yang paling cantik. Karena aku tahu kamu adalah temanku, yang segan aku terluka jikalau kamu mengatakan tubuh ini tidak ideal adanya.
Katanya wanita itu sulit dimengerti. Dibilang cantik, katanya bohong. Dibilang jelek, ngambek. Tapi bukankah kita memang hanya manusia, yang rentan akan kepercayaan?
Aku sudah biasa mendengar berbagai ceramah dan khotbah tentang bagaimana seharusnya mencintai diri sendiri. Agar aku mampu dengan lantang mengatakan aku tidak lagi peduli dengan semua ini. Tidak perlu lagi khawatir setiap kali melihat timbangan sebelum tidur.
Aku berharap tidak perlu lagi takut ketika harus berpanas-panas hingga wajah atau kulitku terbakar. Tidak perlu lagi panik ketika wajah ini tidak terlihat putih dan mulus. Tapi lagi-lagi, aku sadar. Aku sedang membohongi diriku sendiri ketika aku bertingkah tidak peduli terhadap berbagai opini orang. Aku peduli, bahkan teramat peduli.
Fisik itu bukan segalanya. Dia memang bukan yang utama, tapi dialah yang meninggalkan kesan pertama.
Kamu mungkin akan memandangku sedemikian menyedihkan. Seolah menjadi cantik dan menarik adalah obsesi, namun lagi-lagi kukatakan padamu bahwa hal ini memang begitu sulit untuk diabaikan. Tidak peduli berapa ceramah yang kudengan atau berapa banyak tulisan motivasi yang kubaca – pikiran itu akan tetap ada di sana.
Ya, karena bagiku menjadi cantik adalah sebuah tuntutan. Semata-mata agar aku diperhatikan, tidak terabaikan, dan diterima. Aku percaya bahwa dengan menjadi cantik segalanya akan terasa lebih mudah untuk dijalani. Aku merasa terjebak dalam asumsiku sendiri.
Tapi memang aku salah. Aku sadar sepenuhnya – tidak seharusnya aku jatuh dan terpuruk, mengeluh dan merutuk. Tidak bisakah aku mensyukuri apa yang kumiliki saat ini?
Pada akhirnya semua kembali ke diri ini sendiri. Sejauh mana dan sebesar apa usahaku untuk membangun tembok kepercayaan diri itu. Ribuan pujian takkan pernah membangkitkanku, apalagi ketika aku tetap menolak untuk bangkit dan berdiri.
Begitu pula dengan ribuan celaan yang takkan pernah menjatuhkanku, apabila aku memilih untuk fokus pada diriku sendiri. Cantik dan menarik hanya akan diwujudkan apabila aku meletakkan kepercayaan diri di atas diriku sendiri.
Bukankah cantik itu relatif? Bukankah menarik itu tergantung dari bagaimana kita melihatnya? Sekalipun aku tak cukup cantik menurut orang lain, bukankah aku berhak memuji diriku sendiri? Toh yang terpenting aku tetap memiliki mereka yang aku cintai.
"Ini bukan tentang seberapa keras aku berusaha, tapi bagiku cantik adalah perkara kepercayaan pada apa yang sudah aku punya."
cantik itu milik mereka yang bersyukur, yang tak selalu membandingkan diri dengan orang lain, yang selalu menghargai dan mencintai dirinya sendiri. kalau bukan kita yang paling mencintai diri sendiri, siapa lagi. 🙂